Cinta untuk Rumah Bersama

“Komunitas Sant’Egidio bukan sekedar membawa kegembiraan sesaat, melainkan membawa sukacita yang bersumber pada Allah. Sukacita ini bukan sesaat, tetapi berlangsung terus.”

Demikian diungkapkan Mgr. Sutrisnaatmaka, Uskup Keuskupan Palangkaraya, dalam sesi pembuka acara perjumpaan persaudaraan Komunitas Sant’Egidio (4-6/7). Pertemuan Persudaraan ini adalah acara rutin dua tahunan ketiga yang kali ini digelar di Bandung. Bertempat di Bumi Silih Asih, Jl. Moch. Ramdhan 18 Bandung pertemuan ini mengangkat tema “Laudato Si : Cinta Kasih untuk Rumah Bersama, Mendengar Jeritan Bumi dan Orang Miskin”, dihadiri sebagian besar rohaniwan dan biarawan-biarawati.

Mgr. Trisna yang disebut sebagai sahabat dan pendiri persahabatan Komunitas ini, mendasarkan sharingnya pada Mazmur 133:1-3, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (ay. 1). Persaudaraan dalam konteks Sant’Egidio mengandaikan hidup rukun, damai, saling perhatian, membantu yang miskin, menghibur yang menderita. Persaudaraan yang dimaksud bukan hanya tahu soal nama, alamat, nomor kontak dan lain-lain, tetapi persaudaraan yang sejati, lebih mendalam, dijiwai oleh Roh Kudus.


Banyak sekali spiritualitas persaudaraan disampaikan Monsinyur yang selalu hadir dalam setiap pertemuan persaudaraan ini.  Bahwa persahabatan mengandaikan sikap dan tindakan rela berkorban, mengangkat martabat manusia serta menghargai perbedaan. Maka persaudaraan seperti ini relevan dengan Sant’Egidio yang mengarahkan persaudaraan kepada yang lemah, miskin, tertindas, terpinggirkan.

Hadir juga dalam pertemuan tiga hari ini Mgr. Ambrogio Spreafico dari Roma didampingi Dr. Valeria Martano, Penganggung Jawab Komunitas Sant’Egidio wilayah Asia. Mgr. Ambrogio menyampaikan dalam bahasa Italia pembahasan tentang “Demi sebuah ekologi yang menyeluruh : menghadapi krisis sosial – lingkungan”. Salah satu menurutnya, harmoni alam semesta yang diciptakan Tuhan (kisah penciptaan) hendaklah dijaga terus. Adanya perbedaan, laki-laki dan perempuan atau perbedaan seperti dalam kisah Kain dan Habel, semua ditujukan agar keduanya saling melengkapi sehingga terjadi harmoni. Namun demikian sekarang terjadi ketidakteraturan di mana-mana, bumi sebagai tempat tinggal bersama mengalami krisis. Persoalan lingkungan hidup dan krisis sosial saat ini sedang melanda dan mempengaruhi kehidupan bersama baik manusia maupun ciptaan lainnya.

Pertemuan ini juga mengagendakan sharing dari para aktivis pendampingan. Mgr. Nicolaus Adi Saputra menyampaikan situasi Merauke, yang dikenal sebagai dataran rendah dan subur, berlimpah sumber alam. Menurut Mgr. Nico saat ini Merauke mengalami krisis ekologi. Paling serius krisis akibat pembukaan lahan untuk perekebunan kelapa sawit dan persawahan. Situasi ini berdampak pada banyak hal, bencana, pencemaran, penyakit, di samping itu juga muncul krisis sosial lain seperti migrasi, pendidikan, kesehatan. Di Merauke segi ekonomi ditingkatkan tetapi banyak segi lain ditinggalkan, dikesampingkan. Sekarang ini Merauke menjerit, meminta tolong.

Kemudian diawali cerita dari Dr. Valeria dan tayangan video tentang migran di Eropa,  Pastor Adrianus Suyadi, SJ, dari JRS (Jesuit Refugee Service) memaparkan tentang migrasi penduduk. Ia menggambarkan bagaimana migran atau para pengungsi mengalami penderitaan hidup. Situasi Rohingya dan para pengungsi dari timur tengah ditampilkan, sebagai salah satu upaya pendampingan yang dilakukan JRS.  Menemani, melayani dan membela adalah semacam moto JRS dalam pendampingan para migran. Ditegaskannya bahwa masalah kemanusiaan (migran) adalah masalah universal yang melampaui batas-batas regional, nasional, agama dsb. Sementara itu ada empat aksi bisa dilakukan bagi kaum migran ini, yaitu advokasi perlindungan, penyadaran publik bagi msayarakat Indonesia, pemenuhan kebutuhan dasar, dan memperjuangkan mereka untuk mendapatkan pelayanan publik (pendidikan, kerja, Kesehatan).

Sharing Pastor Adrian dilengkapi dan diperdalam oleh Sr. Irene Handayani dari Jaringan Peduli Migran (JPM) yang mengungkapkan pengalamannya mendampingi para migran di Jakarta. Suster yang berpartisipasi pada Komisi KKP KAJ ini terlibat juga dalam JPM,  membentuk jaringan dalam opsi bersama, yaitu pendampingan migran. Saat ini JPM bekerja sama dengan Kementrian Sosial, konggregasi-konggregasi yang ada di KAJ dan juga para awam psikolog.

Pada bagian penutup pertemuan ini, Mgr. Antonius mengajak peserta mendalami Laudato Si, ensiklik Paus Fransiskus tentang lingkungan hidup. Salah satu tekanan disampaikannya bahwa krisis global, multidimensi atau lebih khusus kemanusiaan dan alam ini terjadi karena ketidakpedulian global. Salah satu keprihatinan dunia saat ini adalah berkembangnya ketidakpedulian global. Orang cenderung memikirkan kepentingannya sendiri; tidak peduli pada hidup sesama. Untuk itulah tidak heran terjadi gap sosial yang amat tinggi.                                                      ***deBritto