Normalitas Baru: Ajakan Mengendalikan Situasi

NORMALITAS BARU: AJAKAN MENGENDALIKAN SITUASI

Kita berada dalam situasi tertentu yang tidak selalu sama, bahkan bisa berubah-ubah. Apakah kita cukup berkata dengan guyon atau serius: “Yah, terima nasib saja!” atau  “Mau apa lagi, kalau memang nasibnya sudah begini!” Itulah ungkapan bahwa kita bukan hanya dipengaruhi bahkan ditentukan situasi hingga putus asa dengan menerimanya secara terpaksa. Bagi orang beriman kiranya tak ada nasib seperti itu. Situasi boleh mempengaruhi kita dan justru membuat kita berpikir untuk dapat bertindak dengan baik dan benar. Kita seharusnya tidak dikendalikan situasi, tetapi bagaimana kita mengontrol situasi sedemikian rupa sehingga kita dapat hidup lebih baik. Itulah juga yang merupakan bagian dari hukum alam: bahwa yang bisa menyesuaikan diri dan merubah diri sedemikian rupa sesuai tuntutan bisa bertahan hidup dan malah berkembang baik.

Kita sebenarnya sudah biasa berada dalam perubahan. Justru karena perubahan itulah kita bisa hidup. Sayangnya, tidak semua orang bisa bersikap positif terhadap perubahan apalagi kalau orang tersebut sudah menikmati kenyamanan, keamanan, dan ketentraman yang ia anggap keadaan normal. Orang seperti itu tidak senang adanya pembaharuan sekecil apapun walau perubahan tersebut menjanjikan akan adanya relasi, fungsi, lokasi, dan situasi yang jauh lebih baik daripada apa yang dialami saat itu. Rangkaian hidup dari bayi, balita, remaja, dewasa, dan lansia serta dari kehidupan sebagai bujangan, berkeluarga, memiliki anak, kemudian punya mantu, dan akhirnya menimang cucu adalah serangkaian keadaan baru yang harus kita lakukan agar hidup. Itulah proses hidup yang menuntut kita untuk segera beradaptasi dan mengendalikan diri agar dapat hidup dan berkembang baik sesuai situasi baru. Bayangkan kalau seorang bayi yang menikmati bubur atau makanan halus, tak mau mencoba makanan yang lebih keras sesuai usia! Apakah ia akan tumbuh baik? Hidup adalah sebuah proses. Hidup adalah perubahan dan penyesuaian diri teru-menerus terhadap serangkaikan new normal yang harus kita tanggapi secara kreatif dan produktif agar kita dapat hidup lebih baik.

Dalam hidup iman pun ada proses perubahan. Makanan rohani yang diberikan harus berbeda. Itulah yang dikatakan Paulus kepada Jemaat di Korintus. “Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarangpun kamu belum dapat menerimanya. Karena kamu masih manusia duniawi...” (1Kor 3: 2-3) Hal yang sama ditulis dalam Kitab Ibrani: “Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.” (Ibr 5: 13-14)

Kini saya menulis ulang sebagian isi Homili Hari Raya Pentakosta, 31 Mei 2019. “Pentakosta adalah suatu new normal bagi para murid Yesus yang biasa menjadi "anak bawang" yang selalu mengikuti atau "pemain cadangan" yang tampil kalau dibutuhkan kini harus menjadi "bapa bangsa; pemimpin Gereja", "penjaga gawang" pembela Gereja yang ditandai dengan turunnya Roh Kudus. Pantekosta diwujudkan dengan cara hidup baru sebagai Gereja sehati-sejiwa berbagi sukacita dan berpusat pada Ekaristi. Normalitas lama bisa menina-bobokan para murid hingga sulit matang, terus jadi murid; kapan jadi guru/gembala, nabi, dan imam maka dalam Yesus bersabda" Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu." (Yoh 16: 7)

Pentakosta adalah saat dan kesempatan rahmat dalam sejarah keselamatan yang membuat umat Allah memasuki zaman baru, new normal, dengan ciri dan cara baru sesuai dengan kehendak Allah. Dalam sejarahnya, Paskah PL dihayati sebagai pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir oleh Musa dan Pentakosta dihayati sebagai peristiwa bangsa Israel tiba di gurun Sinai dan menerima Perintah Allah yang tertera pada 2 loh batu yang dibawa Musa dari Gunung Sinai yang ditandai peristiwa Allah turun dalam rupa api (Kel 19: 18). Sejak itu bangsa Israel memasuki kehidupan baru sebagai bangsa yang hidup menurut 10 perintah Allah. Itulah normalitas baru yang harus dijalankan bangsa Israel hingga menjadi harta kesayangan Yahwe. Paskah PB dihayani sebagai Penebusan manusia dari dosa oleh Yesus dan Pantekosta diimani sebagai peristiwa Roh Kudus turun atas para rasul dalam rupa api dengan bunyi dan tiupan angin keras. Roh Kudus dicurahkan, hukum Allah dipatrikan tidak lagi pada loh batu, tetapi pada loh hati. Sejak itu, para rasul hidup dalam normalitas baru sebagai kelanjutan penciptaan baru oleh Yesus yang menghembusi dan mengutus mereka: "Terimalah Roh Kudus... Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. Menjadi rasul dan utusan yang hanya mengandalkan Tuhan dan membaktikan diri untuk perkembangan Gereja adalah kehindupan new normal sebagai saat dan kesempatan rahmat (khairos). Orangnya sama, tetapi mind set, heart set, hand set, moral, spiritual set-nya berubah karena hukum cinta telah dipatri Roh Kudus dalam hati hingga mereka hidup dan berkarya dalam bahasa cinta.”

Sekarang kita berada pada masa new normal. Normalitas baru seharusnya menjadi kebiasaan yang kita lakukan sebagai upaya adaptasi yang menuntut kita melakukan cara tertentu agar kita dapat hidup.  “Mari kita sambut new normal sebagai khairos, saat dan kesempatan rahmat untuk menjadikan hidup dan dunia kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pandemi Covid-19 menyadarkan kita bahwa di balik kemajuan dunia yang patut kita syukuri, ternyata ada hal-hal yang harus kita perbaiki. Kita diajak untuk menjadi lebih humanis dan ekologis bagi kesejahteraan bersama serta tahu diri dan tahu batas: dengan hidup lebih rapih, bersih, sehat, dan hemat sebagai cermin kehidupan yang baik, benar, santun, kudus, yaitu hidup dalam hikmat yang membawa berkat dan selamat. New normal: kehidupan dengan perubahan pola pikir, sikap hati, cara kerja, dan semangat moral dan penghayatan spiritual yang diperbaharui; dari perspektif egois menjadi makin altruis; dari orientasi individual menjadi makin solider, dari mengandalkan kehebatan manusia menjadi berserah diri pada kekuasaan Allah.” 


Ut diligatis invicem,

Antonius Subianto B OSC