SURAT GEMBALA USKUP 2008

SURAT GEMBALA USKUP
PADA AWAL TUGAS PENGGEMBALAAN
Hari Minggu Biasa XVI
19/20 Juli 2008

Menaburkan Benih yang Baik

(Mat. 13: 24)


Saudari-saudara terkasih dalam Tuhan,

Pada awal tugas penggembalaan sebagai Uskup Keuskupan Bandung melalui Surat Gembala ini saya ingin memperkenalkan diri saya kepada seluruh umat Katolik Keuskupan Bandung, karena tentu tidak semua umat dapat menghadiri perayaan Ekaristi Tahbisan Uskup pada hari Rabu, 16 Juli 2008, atau Misa Agung Perdana Minggu, 20 Juli 2008 di Gereja Katedral Santo Petrus Keuskupan Bandung.

Nama saya Johannes Pujasumarta. Saya berasal dari Surakarta Jawa Tengah, diutus oleh Pemimpin Gereja Katolik, Bapa Suci Benediktus XVI  datang di Jawa Barat ini untuk menggembalakan umat Katolik Keuskupan Bandung. Dalam terang firman Tuhan pada hari Minggu Biasa XVI penggembalaan tersebut saya maknai sebagai tugas perutusan untuk menaburkan benih yang baik di Tatar Sunda, yang telah dirintis oleh para misionaris awal dalam sejarah Gereja Keuskupan Bandung, dan dilanjutkan sampai sekarang oleh seluruh umat.

Beberapa butir gagasan yang saya sampaikan dalam sambutan pada perayaan Ekaristi Tahbisan Uskup,  saya sampaikan lagi pada kesempatan ini. Tugas perutusan menabur benih yang baik di Tatar Sunda merupakan kelanjutan dari perintah Tuhan kita Yesus Kristus kepada murid-murid-Nya di pantai danau Galilea,  “Bertolaklah ke tempat yang dalam....!” (“Duc in altum....!”, Lh. Luk 5:4) seperti  terlukis dalam lambang Uskup.

Duc in altum...!” Sabda Tuhan kepada murid-murid-Nya di pantai danau Galilea 2.000 tahun yang lalu, terdengar nyaring sekarang ini pula, “Bertolaklah ke tempat yang dalam....!”. Dengan kata-kata tersebut kita diajak untuk memberi makna mendalam pada peristiwa kebersamaan kita, ketika kita merayakan Tahbisan Uskup sebagai peristiwa iman Gereja.

Ke tempat yang dalam itu kita diutus untuk masuk, agar mampu mendengarkan suara keheningan. Hari ini tanggal 20 Juli 2008 kita merayakan juga Hari Raya Santo Elia, Bapak dan Pemimpin Tarekat Karmel. Bersama para rubiah Carmelit Tak Berkasut di Pertapaan Lembang yang berdoa bersama kita di sana, kita mohon pula agar dapat masuk ke dalam misteri keheningan, sehingga  mampu mendengarkan  Firman Allah, daya kekuatan untuk hidup bersama pada zaman sekarang dalam iman, harapan dan kasih.

Kita percaya bahwa tempat yang dalam itu dapat kita temukan setiap kali kita masuk dalam mysteri persatuan Allah dengan umat-Nya, yang kita alami setiap kali kita merayakan Ekaristi. Dari tempat yang dalam itu kita dapat memandang Allah yang bersemayam di tempat yang tinggi. Antara kedalaman dan ketinggian itu ada salib, tempat tubuh Tuhan kita Yesus Kristus tergantung, dan merentangkan kedua tangan-Nya untuk merangkul kita semua dalam kasih-Nya yang tanpa batas, dengan kepala bermahkotakan duri.

Di tempat yang dalam itu pula kita ditenggelamkan dalam pluralitas budaya setempat, yang mengandung nilai-nilai kemanusian, yang baik dan benar, yang indah dan mulia, yang sesuai dan terbuka pada nilai-nilai Injili. Di tempat yang dalam itu pula kita perlu mengadakan perjumpaan-perjumpaan antar pribadi, agar hati manusia terbuka, mengarah ke tempat yang tinggi, sehingga dapat memandang pula Yesus Kristus Sang Manusia Sejati. Dalam terang Kristus itu pulalah kita kembangkan dialog kemanusiaan dengan umat beragama lain, agar kita bersama-sama menjadi mampu untuk melihat “langit yang baru dan bumi yang baru” (Wahyu 21: 1).

 “Langit baru dan bumi baru” terjadi kalau kita bangun sejak sekarang ini dengan kesediaan kita untuk berbagi. Kesediaan berbagi menjadi jiwa solidaritas kita kepada saudari-saudara kita terutama mereka yang hina, dina, lemah, miskin tersingkir, seperti telah dilakukan sendiri oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Kita semua tahu, yang ada pada kita tidaklah banyak, sekedar lima roti dan dua ikan (bdk. Yoh 6: 1-15). “Ya, lima roti dan dua ikan tidaklah banyak tetapi semua itu mencukupi! Rahmat Allah membuat kelemahan kita menjadi Persekutuan yang memuaskan umat” (Congregatio Pro Clericis, Hari Doa Sedunia untuk Pengudusan Para Imam, 30 Mei 2008).

Ladang tempat ditaburkan benih digambarkan dalam gunungan, gambaran alam semesta dalam budaya Sunda, lambang dunia sebagai medan pelayanan dan pengabdian. Pada zaman sekarang ini kita menyadari betul ada musuh yang menaburkan benih lalang di antara gandum itu, bahkan didukung dengan alat-alat komunikasi modern, dengan cara-cara yang tak kita sadari merusak pola kehidupan manusia dewasa ini.  Benih-benih lalang itu antara lain keserakahan  yang menjadi biang korupsi, kekerasan yang telah merasuk dalam kehidupan keluarga-keluarga kita, serta kerusakan lingkungan hidup yang mengancam keutuhan ciptaan. Karena itu, saya berharap, semoga orangtua melaksanakan peran sebagai penabur benih yang baik dalam hati anak-anak, mendampingi mereka sehingga dalam diri anak-anak tumbuh kemampuan untuk menimbang perkara serta mengambil keputusan-keputusan menurut hati nurani yang benar, dalam terang Firman Tuhan. Agar kita setia menaburkan benih yang baik, marilah kita membuka hati kita pada karya Roh, sehingga kita mampu berdoa menurut bimbingan Roh, karena “Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” (Rom. 8:26)

Mengakhiri Surat Gembala ini saya mengucapkan terimakasih kepada Anda semua, khususnya teman-teman Panitia Tahbisan, yang dengan berbagai macam cara yang sangat mengesankan, telah menjadikan peristiwa tahbisan Uskup sebagai peristiwa iman Gereja, agar Gereja semakin bermakna dalam kehidupan bermasyarakat.  Marilah kita bangun Gereja Keuskupan ini - sesuai dengan semangat Peristiwa Pentekosta Baru di Lembang Bandung 1990 -  agar Gereja menjadi persekutuan umat beriman yang hidup ( “a dynamic communion of communities, FABC 1990 di Lembang Bandung).

Marilah kita haturkan seluruh syukur dan terimakasih kita ini kepada Allah, Tuhan sejarah dan penyelenggara hidup kita, kepada Tuhan Yesus yang telah mempersatukan kita sebagai saudari dan saudara-Nya,  kepada Roh Kudus penghibur kita.

Semoga berkat Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus melimpah pada hidup saudari-saudara bersama keluarga dan/atau komunitas Anda. Syukur dan terimakasih! Mugi-mugi pidoana Gusti Allah dumugi nyarengan sadayana umat anu aya di Tatar Sunda.  Hatur nuhun pisan!

 

Bandung, 20 Juli 2008


+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Bandung