Tiga Elemen Ritus Damai

Ritus damai di beberapa tempat menjadi perbincangan hangat seiring dengan munculnya berbagai pertanyaan dan kebingungan mengenainya. Persoalan boleh atau tidaknya “bersalam-salaman” rupa-rupanya masih menjadi perhatian utama bagi sebagian besar umat walaupun dalam konteks liturgi, penjelasan atau katakese tentang ritus damai ini sesungguhnya jauh lebih penting. Bolehkah salam damai dipindahkan “tempatnya” yakni sebelum ritus persembahan? Bolehkah salam damai dihilangkan demi mengurangi kegaduhan yang terjadi karenanya? Masih bolehkah salam damai diiringi dengan nyanyian damai? Apakah umat masih boleh mengucapkan doa damai bersama-sama dengan imam selebran utama? Dan ada banyak pertanyaan lain yang muncul dengan berbagai praktik yang sangat bervariasi di paroki masing-masing.

Ritus damai dalam tata cara Roma Katolik terdiri dari 3 elemen yakni oratio pacis (doa damai), salutatio pacis (salam damai), invitatio et motio (ajakan dan tata gerak damai). Ketiga elemen ini adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Akan tetapi, ajakan dan tata gerak damai dalam ritus damai ini tidaklah mutlak diadakan apalagi hanya untuk misa harian (de feriis). Ritus damai termasuk saling bersalaman ditempatkan persis setelah Bapa Kami pada Ritus Komuni dalam Misa sehingga tidak dapat dipindahkan dalam ritus persembahan sebagaimana dalam ritus ambrosian.


Oratio Pacis

Elemen yang pertama adalah doa damai. Terjemahan doa damai edisi Indonesia dalam Tata Perayaan Ekaristi (TPE) tahun 2005 adalah: “Saudara-saudari, Tuhan Yesus Kristus, Engkau bersabda kepada para Rasul, "Damai Kutinggalkan bagimu, damai-Ku Kuberikan kepadamu.” Maka merilah kita mohon damai kepada-Nya. Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu, dan restuilah kami supaya hidup bersatu dengan rukun sesuai dengan kehendak-Mu. Sebab Engkaulah pengantara kami kini dan sepanjang masa”. Lalu umat menjawab:  “Amin”. Doa damai ini pertama kali dipakai pada awal abad ke-11. Doa ini dulunya dianggap sebagai persiapan individual imam sebelum komuni. Akan tetapi, saat ini doa damai tersebut diucapkan dengan suara lantang sambil merentangkan tangan.

Doa damai dalam Misale Romanum 2008 adalah Domine Iesu Christe, qui dixisti Apostolis tuis: Pacem relinquo vobis, pacem meam do vobis: ne respicias peccata nostra, sed fidem Ecclesiae tuae; eamque secundum voluntatem tuam pacificare et coadunare digneris. Qui vivis et regnas in sǽcula sǽculorum. Terjemahan yang kurang lebih mendekati teks asli adalah: “Tuhan Yesus Kristus, Engkau telah bersabda kepada para rasul-Mu: Damai-Ku Kutinggalkan bagimu, damai-Ku Kuberikan kepadamu: janganlah memperhatikan dosa kami, tetapi iman Gereja-Mu; dan berkenanlah mendamaikan serta menyatukannya menurut kehendak-Mu. Engkau yang hidup dan meraja sepanjang segala abad” (terjemahan tidak resmi). Dalam doa damai ini, terdapat anamnesis yang disebut sebagai pewartaan dan janji damai yang berasal dari Kristus. Selain itu, ada juga epiklesis yang memohon kesatuan dan damai bagi Gereja. Hal ini juga berlaku secara khusus untuk mempersatukan umat dalam perayaan Ekaristi.


Salutatio Pacis

Elemen yang kedua adalah salam damai. Salam yang dimaksud bukanlah bersalam-salaman melainkan sapaan atau kata-kata damai yang diucapkan oleh imam selebran kepada umat. Damai yang berasal dari Kristus dibagikan kepada umat yang hadir dalam misa. Pax Domini sit semper vobiscum atau Semoga damai Tuhan selalu bersamamu. Landasan biblisnya dapat dilihat dalam Yoh 20: 19. 21 yakni: “Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!”; Maka kata Yesus sekali lagi: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa megutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”. Ada dua kata yang hilang dalam terjemahan TPE 2005 yakni kata sit (bentuk conjucntivus yang dapat diterjemahkan dengan kata “semoga”) dan semper yang dapat diterjemahkan dengan kata “selalu” atau “senantiasa”.


Invitatio et Motio Pacis

Elemen yang ketiga adalah ajakan dan tata gerak damai. Ajakan atau undangan damai yang diucapkan oleh diakon atau imam selebran (kalau tidak ada diakon) dengan kata-kata: offerte vobis pacem  atau “Marilah saling menyatakan salam damai (TPE 2005). Rubrik menuliskan pro opportunitate pada saat ritus ini yakni dilakukan bila perlu atau bila dibutuhkan.

Tata gerak yang dimaksud adalah saling memberikan salam damai sebagai ciri khas tata gerak damai di Indonesia secara umum. Tata gerak damai bisa didasarkan pada kata-kata Santo Yustinus dalam Apologia I, 65; 67 yang pertama kali memakai istilah “tanda damai” dalam Misa, yang juga dikutip oleh Katekismus Gereja Katolik no 1345 yakni “Sesudah kami menyelesaikan doa-doa, kami saling memberi salam dengan ciuman”. Ciuman damai dihubungkan dengan beberapa sumber biblis yang dipakai sebagai dasar dari ritus damai:

  • Rm 16: 16  Bersalam-salamlah kamu dengan cium kudus. Salam kepada kamu dari semua jemaat Kristus.
  • 1 Kor 16: 20  Salam kepadamu dari saudara-saudara semuanya. Sampaikanlah salam seorang kepada yang lain dengan cium kudus.
  • 1 Tes 5: 26  Sampaikanlah salam kami kepada semua saudara dengan cium yang kudus.
  • 1 Pet 5: 14 Berilah salam seorang kepada yang lain dengan cium yang kudus. Damai sejahtera menyertai kamu sekalian yang berada dalam Kristus. Amin.

Selama beberapa abad, tata gerak damai yang dilakukan adalah dengan cara cium damai atau dalam bahasa indonesia cipika-cipiki damai tetapi tidak berlaku untuk para katekumen menurut Tradisi Apostolik. Ordo Romanus I menyatakan bahwa tata gerak damai diberikan secara hirarkis. Sekitar abad ke-9, selebran utama mencium altar sebagai simbol damai yang berasal dari Kristus, lalu disampaikan pada diakon kemudian dilanjutkan oleh subdiakon dan beberapa klerus lain serta umat yang hadir.

Dalam Misale Romawi editio typica tertia 2008, cara saling memberikan salam damai ditetapkan oleh Konferensi Wali Gereja masing-masing sesuai dengan kekhasan dan kebiasaan masing-masing bangsa. penetapan itu membutuhkan recognitio dari Takhta Apostolik. Ritus damai ini dimaksudkan untuk  memohon damai dan kesatuan bagi Gereja sendiri dan bagi seluruh umat manusia, sedangkan umat beriman, menyatakan persekutuan jemaat dan cinta kasih satu sama lain sebelum dipersatukan dalam Tubuh Kristus (bdk. PUMR 82, 390 dan bdk. Redemptionis Sacramentum no. 72). Akan tetapi, perlulah mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai rekonsiliasi atau pengampunan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus (RS no. 71).

Dengan persetujuan Paus Fransiskus, pada tanggal 8 Juni 2014, Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen, yang ditandatangani oleh prefeknya Kardinal. Antonio Canizares Llovera, dan Sekretarisnya, Uskup Arthur Roche, mengirim surat edaran kepada Konferensi para Uskup untuk mengatur beberapa hal berkaitan dengan “salam damai” dalam Misa:

  • Tidak ada pengantar dalam “lagu salam damai” menurut Ritus Romawi.
  • Para umat beriman seyogyanya saling memberikan salam-damai hanya kepada orang-orang yang ada di dekatnya dan dengan cara yang pantas.
  • Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu.
  • Dalam tradisi Romawi, memang tidak ada lagu atau nyanyian “salam damai” karena waktu untuk ritus ini sangat singkat dan saling memberikan salam damai bagi orang yang dekat-dekat saja.


Demikianlah penjelasan ritus damai ini, semoga bisa bermanfaat untuk praktik kita di tempat masing-masing. Bukan saja untuk melarang-larang nyanyian damai tetapi untuk lebih mendekatkan makna simbolis dari ritus damai yang lebih menekankan aspek persiapan untuk menyambut Tubuh Kristus. ***


RP. Riston Situmorang, OSC (Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR)