Berawal dari Keluarga


Tim redaksi majalah Komunikasi melakukan wawancara dengan RD. Oktavianus Arianto terkait tema pendidikan iman anak (17/6/2023). Romo Vian, sapaan akrabnya, adalah seorang imam Keuskupan Manokwari-Sorong yang tengah bertugas sebagai formator di Seminari Menengah Peter van Diepen, Sorong. Sewaktu menjadi mahasiswa magister di Fakultas Filsafat Unpar, Romo Vian menyusun sebuah penelitian dalam rupa tesis tentang katekese dalam keluarga. Berikut ini kami sajikan hasil wawancaranya.


Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), yaitu pada kanon 1136, Gereja Katolik menetapkan kewajiban baru untuk pasangan yang telah menikah. Kewajiban tersebut adalah mengusahakan pendidikan anak, baik secara fisik, sosial, kultural, moral, dan religius. Bahkan, pada kanon tersebut, ada keterangan “sangat berat” yang menyertai kewajiban tersebut. Implikasinya adalah bahwa orangtua memang harus dengan sekuat tenaga menjamin perkembangan anak ke taraf yang semakin baik. Pada zaman modern, di mana orang berusaha sekuat dan sekreatif mungkin untuk mencari nafkah, kewajiban untuk menjamin kebaikan anak secara jasmaniah tampaknya dipenuhi oleh para orang tua. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, agaknya kewajiban untuk membimbing anak secara spiritual mulai terlupakan.

Fenomena yang mulai umum di Gereja Katolik adalah bahwa orangtua mempercayakan perkembangan iman anak mereka kepada Gereja seutuhnya. Para anak diikutsertakan ke dalam program-program yang disediakan oleh paroki, seperti Bina Iman Anak (BIA), Bina Iman Remaja (BIR), misdinar, hingga Legio Maria. Praktik seperti ini menjadi salah apabila para orangtua sungguh melupakan kewajiban mereka untuk mendidik anak dalam hal moral dan religius. Artinya, sekalipun para anak mengikuti program-program tersebut, para orangtua juga harus tetap menjamin perkembangan iman anak berdasarkan usaha mereka sendiri. Bahkan, orangtua sendiri adalah pihak yang paling pertama dan utama dalam perkembangan iman anak.

Sementara program-program bina iman umumnya dilakukan di kompleks gereja, pendidikan iman anak yang dilakukan oleh orangtua terjadi di wilayah domestik. Rumah, dengan demikian, adalah tempat pertama di mana para anak belajar mengenali dan mengembangkan iman mereka. Di lain sisi, orangtua sering mengeluhkan bahwa mereka tidak memiliki pemahaman yang mumpuni tentang iman Katolik. Iman Katolik sendiri dipandang sebagai sesuatu yang rigid dan kaku sehingga memunculkan keraguan dalam diri orangtua ketika harus mengajarkannya. Pada tahap ini, apa yang perlu diperhatikan oleh para orangtua sebenarnya adalah metode penyampaian ajaran iman tersebut. Para anak juga cenderung tidak memahami secara pasti ajaran iman apabila dipaparkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan saja.

Sebelum lebih jauh membahas tentang metode, ada baiknya untuk membahas peran orangtua sebagai penanggungjawab perkembangan iman anak. Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan bahwa katekese dalam keluarga adalah bentuk katekese pertama yang tidak tergantikan. Ini terkait erat dengan sakramen pembaptisan yang umumnya diterimakan kepada anak-anak. Keputusan orangtua untuk membaptis anak mereka dapat dilihat sebagai sebentuk kehendak agar anak mereka terselamatkan. Dengan dibaptis, seseorang secara resmi menjadi anggota Gereja dan dibebaskan dari dosa asal. Pada tahap ini, keanggotaan dalam Gereja Katolik yang telah dimulai sejak pembaptisan sebenarnya “baru” memulai peziarahan panjangnya. Menjadi anggota Gereja Katolik berarti sehati dan sejiwa dengan Gereja Katolik sendiri. Dalam hal itu, mereka yang dibaptis hendaknya membangun kesatuan dengan Allah yang melalui kehadirannya di dunia terus menerus menginspirasi Gereja.

Dalam seruan apostoliknya tentang katekese, Catechesi Tradende, Paus Yohanes Paulus II menghendaki agar sejak awal masa hidupnya, para anak diarahkan untuk memiliki relasi yang hidup dengan Allah (art. 36). Itu berarti bahwa segenap daya yang ada pada diri anak perlu dikembangkan sejalan dengan keutamaan-keutamaan Kristiani. Orangtua menjadi penanggungjawab untuk hal tersebut karena mereka adalah rekan Allah dalam proses penciptaan, yaitu meneruskan kehidupan melalui kelahiran baru. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila orangtua menjadi representasi dari Allah yang hadir untuk anak-anak. Relasi yang hidup dengan Allah dengan demikian terwujud dalam relasi dengan orangtua. Paus Yohanes Paulus II lantas menyebutkan bahwa ada dua keutamaan yang perlu dimiliki oleh para orang tua dalam menyelenggarakan pendidikan iman anak, yaitu penuh kasih dan penuh rasa hormat. Diperlukan kasih karena kasih menciptakan suasana yang ideal untuk perkembangan anak. Sementara itu, diperlukan rasa hormat karena para anak memiliki hak yang sama dengan orangtua dalam hal memperoleh penjelasan tentang iman Katolik.

Konten dari pendidikan iman anak lantas perlu disesuaikan kapabilitas mereka untuk menerima ajaran. Dalam seruan apostoliknya, Amoris Laetitia, Paus Fransiskus mengusulkan sejumlah tema yang baik untuk diangkat dalam pendidikan iman anak sekaligus dekat dengan kehidupan dalam keluarga. Tema-tema tersebut adalah memahami kasih, menjadi pribadi yang bermoral, menghargai martabat sesama manusia, seksualitas, kesetaraan gender, membangun relasi yang harmonis dengan alam ciptaan, mengenal dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari, hingga berujung pada mewartakan Injil di luar lingkungan keluarga.

Dalam kaitannya dengan metode pendidikan iman anak, naluri sebagai orangtua merupakan modal yang penting untuk melaksanakan pendidikan iman anak. Dengan demikian, beragam metode dapat dikembangkan berdasarkan naluri sebagai orangtua tersebut. Akan tetapi, ada satu benang merah yang menghubungkan segala jenis metode pendidikan iman anak, yaitu perjumpaan. Perjumpaan inilah yang mesti diutamakan oleh para orangtua. Dalam perjumpaan, setiap orang dapat merasakan kasih. Dalam perjumpaan, orang merasa diteguhkan dan mendapatkan contoh nyata. Pada akhirnya, dalam perjumpaan, keteladanan dapat ditularkan. Bergiat dalam perjumpaan dengan anak dengan demikian menjadi metode paling tepat untuk mendidik iman mereka.***

Fr. Marchelino Joshua