Bukan Sekedar Toleransi, tetapi Kesetaraan: Tujuan Moderasi Beragama

Pada 29 Agustus 2023, saya diundang untuk berbicara tentang toleransi pada acara Jakarta Plurilateral Dialogue 2023. Pada acara yang dihadiri oleh para duta besar, pejabat pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat tersebut, saya menyampaikan makalah berjudul Silaturahmi towards Tolerance. Acara yang diseleggarakan oleh Kepala Staf Kepresidenan RI, Menteri Luar Negeri RI, dan Menteri Agama RI ini bertema “Strenthening the Culture of Tolerance by mainstreaming UN Human Rights Council Resolution 16/18.”

Pada ceramah tersebut, saya menekankan keluhuran martabat manusia Indonesia sebagai bangsa berbudi luhur. “Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beriman dan berbudi-luhur dengan semangat gotong-rotong, yaitu kerjasama dalam kekeluargaan. Bahkan, bagi saya gotong royong adalah darah yang mengalir dalam tubuh bangsa Indonesia. Maka komitmen hidup berbangsa dan bermasyarakat adalah wujud dari iman kepada Tuhan yang mahaesa.” Keluhuran ini tampak dalam Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Walau kita berbeda-beda, kita tetaplah satu bangsa Indonesia yang diungkapkan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Seharusnya kita tidak mengalami intoleransi. Namun, pada kenyataan kita masih berjuang mewujudkan toleransi.

Kita patut bersyukur kepada Allah bahwa Menteri Agama Republik Indonesia saat ini, Bapak Yaqut Cholil Qoumas menekankan moderasi kehidupan beragama. Bahkan beliau mencanangkan tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi, di mana program moderasi beragama menjadi salah satu kegiatan unggulan Kementrian Agama. Untuk itulah pemerintah menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu program nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Dalam laman resmi Kementrian Agama Republik Indonesia (https://kemenag.go.id/kolom/mengapa-moderasi-beragama-02MbN), ditulis moderasi beragama secara gamblang. “Dalam konteks aqidah dan hubungan antar umat beragama, moderasi beragama (MB) adalah meyakini kebenaran agama sendiri “secara radikal” dan menghargai, menghormati penganut agama lain yang meyakini agama mereka, tanpa harus membenarkannya. MB sama sekali bukan pendangkalan akidah, sebagaimana dimispersepsi oleh sebagian orang. Dalam konteks sosial budaya (MB), berbuat baik dan adil kepada yang berbeda agama adalah bagian dari ajaran agama (al Mumtahanah ayat 8). Dalam konteks berbangsa dan bernegara atau sebagai warga negara, tidak ada perbedaan hak dan kewajiban berdasar agama. Semua sama di mata negara. Dalam konteks politik, bermitra dengan yang berbeda agama tidak mengapa. Bahkan ada keharusan untuk committed terhadap kesepakatan-kesepakan politik yang sudah dibangun walau dengan yang berbeda agama, sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman empiris nabi di Madina dan sejumlah narasi verbal dari nabi…. Dalam konteks intra umat beragama, MB tidak menambah dan mengurangi ajaran agama, saling menghormati dan menghargai jika terjadi perbedaan (apalagi di ruang publik) dengan tetap mengacu pada kaedah-kaedah ilmiah. Tidak boleh atas nama moderasi beragama, semua boleh berpendapat dan berbicara sebebasnya, tanpa menjaga kaedah-kaedah ilmiah dan tanpa memiliki latar belakang dan pengetahuan yang memadai.”

Moderasi beragama ini mau mengatasi politik identitas dan populisme yang dipandang “bertentangan dengan ajaran dasar dan ide moral atau the ultimate goal beragama, yakni mewujudkan kemaslahatan, juga sangat berbahaya untuk konteks Indonesia yang majemuk.” Moderasi beragama bertujuan menjaga dan meningkatkan kebhinekaan dan keindonesiaan kita.

Dalam Jakarta Plurilateral Dialogue, saya mengatakan bahwa: “Bagi Gereja Katolik, toleransi kiranya adalah pengakuan penuh syukur dan perasaan tenggangrasa sebagai buah dari kesadaran akan adanya perbedaan yang merupakan anugerah Tuhan untuk hidup saling melengkapi. Di balik toleransi, kita bukan hanya sekedar bertenggang-rasa, tetapi mengakui kesamaan martabat sebagai manusia Indonesia dengan hak dan kewajiban. Jika kesadaran akan kesamaan martabat ini ada pada setiap orang, kita tak akan mengalami masalah intoleransi beragama. Masalah intoleransi terjadi karena adanya “perasaan” ketidak-samaan yang satu lebih tinggi dari yang lain. Gereja mengupayakan toleransi bukan karena minoritas tetapi karena kesadaran akan kesamaan martabat. Maka, di mana Gereja Katolik menjadi mayoritas di beberapa tempat, Gereja berinisitif agar saudara/i minoritas dapat beribadat dan memilik tempat ibadat yang layak.”

Kita bersyukur bahwa di masing-masing paroki Keuskupan Bandung ada usaha untuk memperkuat toleransi dan kesamaan martabat lewat dialog serta melalui kegiatan persaudaraan dan kebhinekaan. Salah satu contoh paroki yang sangat giat mengupayakan hubungan persaudaraan lintas agama dan budaya adalah Paroki Yohanes Penginjil, Ciamis. Rm. Mikael Adi Siswanto (Rm. Kelly) dibantu oleh Rm. Albertus Gatot Hendrasto terus menerus mengadakan kegiatan kebhinekaan. Salah satu kegiatannya adalah mengadakan kirab lintas iman dan budaya yang diberi nama Kirab Merah Putih se-Priangan Timur pada 25 Agustus 2023. Untuk pertama kalinya, patung Bunda Maria diarak di jalan utama kota Tasikmalaya. Acara yang didukung oleh umat paroki Dekanat Parahyangan ini mendapat sambutan hangat yang membanggakan. Meski demikian, ada punya yang memberi komentar negatif karena kekhawatiran, ketakutan, atau kepikicikan yang tidak mendukung program moderasi agama.

Di paroki Citra Raya, Jakarta, Rm. Felix Supranto SS.CC juga giat mengadakan acara bersama lintas budaya dan agama melalui kegiatan kemanusiaan yang dilaksanakan dalam semangat kebhinekaan, seperti bedah rumah seorang janda miskin, peningkatan gizi masyarakat, dan pengadaan biaya pendidikan. Bersama dengan perjabat TNI, POLRI, tokoh pesantren, kiai, ulama, perangkat pemerintah, dan umat Katolik, Rm. Felix juga mengupayakan usaha tani dan ternak mandiri guna meningkatkan kesejahteraan mereka yang miskin lewat usaha mandiri.

Pada akhir presentasi di Jakarta Plurilateral Dialogue 2023, saya memberi contoh juga suatu gerak monumental moderasi agama, yaitu dengan dibangunnya Terowongan Silaturahmi yang selesai dibangun pada September 2021 yang menghubungkan Masjid Istiqal dan Gereja Katedral Jakarta. Di balik Terowongan Persaudaraaan tersebut, ada niat dan kiat baik dari pihak agama Islam dan Katolik yang didukung pemerintah untuk menjalin persaudaraan kemanusiaan yang bisa diperluas dengan semua agama dan kepercayaan. Kiranya Terowongan ini sejalan dengan apa yang disepakati oleh Sri Paus Fransiskus dan Imam Besar al-Azhar Aḥmad Muḥammad Aḥmad al-Ṭayyib melalui dokumen Persaudaraan Kemanusiaan yang ditanda-tangani pada 4 Februari 2019.

Terimakasih kepada Saudara-Saudari yang telah terlibat dalam moderasi agama Marilah kita turut terlibat dengan cara kita masing-masing yang sesuai dengan fungsi dan posisi untuk meningkatkan kesadaran dan gerakan moderasi beragama yang bertujuan bukan sekedar terciptaan toleransi tetapi terwujudnya pengakuan kesetaraan martabat manusia.


Ut diligatis invicem,

+ Antonius Subianto Bunjamin, OSC