Dialog Empat Tahap - Ulangan 6:5 dan Matius 7:24-25

Dalam relasi antara Allah dengan manusia selalu terjadi dialog. Dinamika relasi itu mewujud dalam aneka macam bentuk komunikasi. Pada gilirannya, dinamika komunikasi antara Allah dengan orang-orang beriman itu membentuk sejumlah ungkapan atau ekspresi. Ungkapan tersebut dapat berupa tanggapan-tanggapan negatif. Misalnya, keraguan, krisis, atau penolakan. Ekspresi itu juga dapat berupa aneka macam tanggapan positif. Misalnya, syukur, kata-kata optimis, dan pujian.


Proposal perjanjian 

Kitab Suci sebagai salah satu khazanah dokumentasi relasi-komunikasi Allah dengan manusia memuat sejumlah bentuk ungkapan itu. Salah satunya adalah Mazmur. Mazmur merupakan bagian istimewa tanggapan manusia atas wahyu Allah. Bagi manusia dalam  diri Bangsa Israel, lirik-lirik Mazmur merupakan tanggapan religius mereka atas kesediaan Allah yang hadir di dalam dinamika kehidupan mereka. Ekspresi itu lantas mewujud secara komunal maupun personal, dukacita atau sukacita, serta ragu atau percaya. Aneka macam ekspresi itu semakin meriah berkat adanya aneka macam situasi sosial-politik tertentu yang disertai kondisi batin manusia yang unik. Secara khusus, segera setelah menapakkan kakinya di Tanah Terjanji, Bangsa Israel memperoleh semacam proposal perjanjian dari Allah sebagai Pewahyu keselamatan.

Proposal itu berawal dari tindakan Allah menyelamatkan Bangsa Israel, yaitu pembebasan dari perbudakan Mesir. Dalam hal ini, bagian akhir Kitab Yosua menggambarkan terselenggaranya proposal yang berwujud dinamika dialog yang ketat antara Allah dengan Bangsa Israel. Dialog itu terlaksana dalam empat tahap. Keempat tahap itu mengungkapkan dinamika iman Bangsa Israel kepada Allah sebagai satu-satunya Pelindung dan Penyelamat mereka. 

Pertama, ajakan atau anjuran untuk beribadah kepada Allah. Kedua, bukti atau alasan sejarah bahwa Allahlah yang menyelamatkan dan melindungi Bangsa Israel. Ketiga, pernyataan terkait ciri-ciri Allah yang harus mendapat perhatian Bangsa Israel jika memilih-Nya. Keempat, penegasan atau pernyataan Bangsa Israel bahwa mereka menerima Allah sebagai Pelindung dan Penyelamat mereka dengan segala konsekuensinya. Tahap keempat ini sesungguhnya mengulang ungkapan  pengakuan iman Bangsa Israel atas inisiatif penyelamatan Allah terhadap diri mereka yang muncul pada teks sebelumnya. Pernyataan pertama pada pengakuan iman itu adalah tentang Allah yang menjelma dalam gerakan dinamis historis kasih dan pembebasan yang diselenggarakan-Nya untuk Bangsa Israel. Dalam dialog empat tahap antara Bangsa Israel itu, Yosua bertindak sebagai pemimpin karismatis sekaligus penyambung lidah antara Allah dan Bangsa Israel. 


Beribadah kepada-Nya

Kata kerja yang digunakan sering muncul dalam rumusan dalam dialog empat tahap itu adalah 'beribadah kepada-Nya' dengan sejumlah variasinya. Sebagai catatan, kata kerja 'beribadah' itu muncul empatbelas kali sepanjang dialog empat tahap itu. Sebagaimana diketahui, angka empatbelas merupakan simbol kepenuhan dan kesempurnaan. Dalam konteks ini, ungkapan 'beribadah kepada Allah' bermakna 'hanya berpegang kepada Allah yang benar'. Sekaligus dengan pernyataan imannya itu, Bangsa Israel menggarisbawahi bahwa mereka akan meninggalkan berhala-berhala yang keji. Secara praksis, dengan pernyataan imannya itu Bangsa Israel hanya akan melalui jalan yang ditunjukkan Alah. Caranya, menerima dengan sukacita dan penuh semangat semua kehendak-Nya, sekaligus berupaya mengasihi-Nya dengan sepenuh hati, jiwa, dan kekuatan mereka. Ungkapan yang terakhir ini menjadi repetisi dari perintah yang muncul di Kitab Ulangan.


“Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:5).


Pada Perjanjian Baru penginjil Matius mengajukan alasan atas penegasan Bangsa Israel berpegang kepada kehendak Allah dengan segenap jiwa dan kekuatannya. Dalam ungkapannya, penginjil Matius menyatakan bahwa yang menjadi pondasi dasarnya adalah bahwa Allah merupakan batu alas konstruksi bangunan iman Bangsa Israel kepada Allah. Pernyataan itu juga sekaligus menempatkan Allah sebagai keberadaan 'lain' yang bersifat transenden sehingga sanggup memberikan jaminan bagi mereka.


“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu” (Matius 7:24-25).


Berlandaskan dialog empat tahap yang diawali pengungkapan iman Bangsa Israel bahwa Allah adalah Penyelamat dan Pelindung mereka, Mazmur menjadi ungkapan yang berfungsi tidak sekadar sebagai tindakan ibadat kepada Allah. Lebih dari itu, Mazmur merupakan ungkapan iman eksistensial kepada Allah. Alasan lain yang memperkuat Mazmur sebagai ungkapan iman eksistensial ini adalah bahwa sapaan Allah yang tertuju kepada Bangsa Israel saat menyampaikan pewahyuan Diri-Nya bersifat sangat personal dan eksistensial. Sapaan itu mengungkapkan bahwa Allah senantiasa memberikan perhatian penuh kepada Bangsa Israel dalam segala kondisi diri mereka. Sapaan personal itu membuat Bangsa Israel tidak dapat bersembunyi atau melarikan dirinya dari Allah.***