“Oleh karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu bilamana tuan rumah itu pulang: menjelang malam atau tengah malam, atau larut malam atau pagi-pagi buta” (Markus 13:35).
Penginjil Markus menampilkan nasihat berjaga-jaga supaya tidak ketiduran dalam teksnya ini sebagai kabar atau warta sukacita. Markus mengajak para pendengar atau pembaca tulisannya itu dalam sudut pandang relasi antara tuan dengan hamba-hambanya yang sudah sedemikian akrab. Dalam relasi yang sudah sedemikian akrab itu tidak mengherankan jika kebaikan tuan rumah sungguh muncul dengan cara yang sangat wajar. Sedemikian akrabnya, sehingga sang tuan memperlakukan hamba-hamba sebagai anggota keluarga sendiri.
Dalam relasi yang sedemikian akrab itu dapat dibayangkan jika tuan tersebut pergi jauh, hamba-hmabanya bisa atau bahkan boleh berharap mendapatkan sesuatu sebagai buah tangan saat si tuan tersebut pulang. Dalam kondisi semacam itu orang dapat membayangkan, adakah sesuatu yang lebih membuat hamba-hamba itu menyesal jika kesempatan memperoleh buah tangan atau oleh-oleh dari sang tuan ini berlalu atau terlewat begitu saja karena ketiduran? Jika tidak berjaga, bisa jadi oleh-oleh yang seharusnya dapat menjadi miliknya, terlanjur diambil oleh hamba-hamba yang lain. Dalam konteks atau kondisi inilah situasi berjaga-jaga menjadi suatu aktivitas yang menggembirakan. Ada suasana harap-harap cemas yang didasari bukan akibat kecemasan yang sesungguhnya, melainkan kecemasan karena takut tidak mengalami anugerah yang bersifat gratis.
Siap sedia
Dalam konteks itu ajakan supaya waspada menjadi suatu dorongan untuk selalu siap sedia. Selain itu ajakan supaya waspada itu juga menjadi ajakan untuk berani mengembangkan semua tanggung jawab yang diberikan kepada para hamba itu. Dengan kata lain, saat sang tuan itu kembali, tentu para hamba seharusnya berlomba-lomba untuk menunjukkan atau memamerkan hasil kerjanya. Harapannya, mereka mendapat imbalan atau oleh-oleh yang lebih baik atau lebih banyak dari yang lain. Ada semacam kompetisi positif yang dilandasi tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan tugas seoptimal mungkin.
Dalam situasi kompetitif semacam itu tentu tidak dibenarkan sikap tak bertanggung jawab. Juga tidak dibenarkan munculnya sikap tak berani ambil inisiatif karena takut, sebagaimana ditunjukkan hamba yang mendapat satu talenta. Akibat ketakutan dan ketidak-mampuan ikut serta dalam kompetisi positif itu, hamba yang mendapat satu talenta itu justru menyembunyikan modalnya. Ia tidak dapat mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Akibatnya, ia kalah bersaing dari rekan-rekannya yang memiliki jiwa kompetisi yang sehat tersebut.
Bagi para hamba yang berjiwa kompetitif, tenggang waktu menunggu pulangnya sang tuan menjadi kesempatan membangun harapan akan masa depan yang lebih cerah. Bagi para hamba yang sanggup mengembangkan talenta yang mereka miliki itu, membangun masa depan dengan sikap percaya menjadi cara atau strategi menerima kebaikan ilahi yang paling bertanggungjawab. Itulah rahmat dalam kehidupan nyata. Itulah pula yang menjadi modal untuk mengembangkan hidup ini menjadi anugerah-anugerah yang berlipat ganda. Sebaliknya bagi hamba yang tidak bertanggung jawab, tenggang waktu menunggu pulangnya sang tuan dapat bermakna kehilangan masa depan.
Saat-saat kritis
Masalahnya adalah, tidak ada yang mengetahui waktu kedatangan sang tuan itu. Akan tetapi, sebenarnya jika mencermati yang disampaikan Yesus, orang beriman dapat mengetahui waktu kedatangan yang dimaksudkan itu. Penginjil Markus membantu para pendengar atau pembaca injilnya dengan menyebut empat waktu kedatangan. Pertama, malam hari. Kedua, tengah malam. Ketiga, larut malam. Keempat, pagi-pagi buta. Dalam kehidupan sehari-hari keempat waktu ini adalah saat-saat kritis di mana petugas ronda malam justru harus menajamkan kewaspadaannya. Pada saat-saat itulah orang seringkali lengah akibat kondisi yang sudah lelah atau memang sudah waktunya untuk beristirahat dari aneka macam aktivitas harian.
Penginjil Markus dalam Injilnya memperjelas keempat waktu itu dengan menggambarkan saat-saat kritis atau akhir hidup Yesus. Pertama, ‘setelah hari malam’ (Markus 14:17), Yesus mengadakan perjamuan terakhir. Kedua, ‘menjelang tengah malam Yesus ditangkap di Getsemani dan langsung disidangkan di Mahkamah Agama’ (Markus 14:53). Ketiga, ‘sebelum ayam berkokok kedua kalinya’ (Markus 14:72), Petrus, orang kepercayaan Yesus, menyangkalnya untuk ketiga kalinya. Keempat, ‘pagi-pagi benar’ (Markus 15:1) Yesus dibawa ke hadapan Pilatus untuk diadili dan akhirnya dihukum mati di salib.
Dengan memahami keempat waktu itu, sikap waspada dan berjaga-jaga itu sebaiknya dilaksanakan dalam ujud ikut menjalani saat-saat kritis yang dialami Yesus di akhir hidup-Nya di dunia. Dengan menyertai-Nya di saat-saat Kritis hidup-Nya orang beriman kepada Kristus dapat berharap memperoleh hikmat dan kebijaksanaan menghadapi saat-saat paling sulit dan kritis dalam hidup kita. Pada keempat waktu itu para pengikut Kristus dapat belajar dari Yesus dalam menentukan sikap yang paling tepat ketika menghadapi kesulitan-kesulitan hidup yang tampaknya tak tertanggungkan. Dengan belajar dari Yesus saat menghadapi saat-saat kritis itu, para pengikutnya dapat berharap dimampukan untuk keluar dari keraguan, bahkan ketakutan akan masuk ke dalam cobaan yang lebih berat. Dengan belajar dari Yesus menghadapi saat-saat kritis itu, para pengikutnya dapat berharap dimampukan untuk mendapatkan solusi yang menyelamatkan hidupnya.
Dengan demikian, kehidupan di dunia adalah kesempatan berjaga-jaga supaya dapat menyertai Yesus dalam empat waktu tadi. Dengan menyertai Yess dalam empat waktu kritis itu, para pengikut Kristus dapat belajar dari-Nya keluar dari keraguan, menghindari kecemasan, sekaligus mendapatkan solusi-solusi demi masa depan yang lebih cerah baginya. Warta sabda yang disampaikan penginjil Markus ini menyampaikan pesan kewaspadaan supaya tidak kehilangan arah ke masa depan sebagai pengikut Kristus.