Gereja dan Ormas Katolik

Meskipun ada ormas (organisasi masyarakat) Katolik, yaitu yang berjiwa dan memiliki spiritualitas iman katolik, tetapi Gereja tidak memiliki kewenangan untuk mengatur mereka dan Gereja pun tidak dapat dianggap sebagai induk tempat ormas-ormas tersebut bernaung. Disebut sebagai ormas katolik, mereka juga tidak berada di bawah garis komando yang sama dengan hierarki Gereja. Demikian salah satu ungkapan RD Aloysius Endro Wahyu Suseno, Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Bandung dalam wawancara dengan tim redaksi Komunikasi beberapa waktu lalu. Dalam wawancara ini, ia memaparkan beberapa pemahaman tentang deskripsi, eksistensi dan legalitas organisasi kemasyarakatan (Ormas) Katolik, serta terbangunnya relasi yang semakin baik antara ormas Katolik dengan Gereja Katolik. Berikut ia menyampaikan konsep selengkapnya tentang Ormas Katolik. 

Lisensi dan Eksistensi Ormas Katolik 

Keberadaan ormas merupakan sebentuk implementasi dari peran negara dalam menjamin hak warga negara untuk berorganisasi. Hak tersebut diatur dalam konstitusi sehingga pencederaan terhadapnya akan mendapatkan sanksi. Setiap ormas berdiri di atas suatu keyakinan tertentu, yang lantas menjadi koridor bagi mereka untuk beraktivitas. Dalam konteks negara Indonesia, nilai-nilai yang diyakini oleh ormas tidak boleh bertentangan dengan ideologi Pancasila. Hal ini berguna agar kesempatan untuk berorganisasi tidak menjadi sebuah gerakan makar terhadap pemerintah. Di lain sisi, beberapa ormas juga berdiri di atas nilai-nilai religius. Atribut-atribut keagamaan bahkan digunakan sebagai nama dari ormas yang bersangkutan. 

Pastor Aloy menyampaikan bahwa izin atau lisensi ormas harus memenuhi kriteria yang dibuat oleh Pemerintah, yaitu: tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kesbangpol (Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri. Ormas yang tercatat tersebut sepadan dengan ormas lainnya. Misalnya: PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia) sepadan dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Penyematan kata Katolik pada Ormas Katolik berarti mempunyai kaitannya dengan Gereja Katolik. Dalam keanggotannya mungkin saja RD Aloysius Endro Wahyu Suseno 5 anggotanya tidak harus Katolik. Dalam pandangan ini, mereka itu menjadi rasul. Ia mencontohkan bahwa dokter itu rasul, merasul dengan karya kesehatannya. Umat awam memiliki ruang gerak yang lebih besar di masyarakat dibandingkan para pastor yang lebih terbatas. Demikian pula para pegiat ormas, mereka merasul mewartakan Kerajaan Allah melalui kegiatan di organisasi mereka. 

Sejumlah ormas berdiri di atas nilai-nilai kristiani. Sekurang-kurangnya ada lima ormas berbasis nilai-nilai kekatolikan, yaitu Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Pemuda Katolik, Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), dan Vox Point Indonesia di Keuskupan Bandung. Ormas-ormas tersebut menjalin kerja sama dengan gereja-gereja lokal, karena menganut nilai dan paham yang ada di Gereja Katolik. Kerja sama tersebut terjalin secara unik. Di satu sisi, ormas-ormas tersebut tidak berada di bawah garis komando yang sama dengan hierarki Gereja. Artinya, Gereja tidak memiliki wewenang penuh untuk mengatur jalannya setiap ormas katolik. Gereja pun tidak dapat dipandang sebagai organisasi induk tempat ormas-ormas tersebut bernaung. Setiap ormas, baik yang berbasis keagamaan atau tidak, lebih berurusan dengan pemerintah dalam menentukan aktivitasnya. Sebagai bentuk relasi yang dibangun antara ormas dan Gereja Katolik, diutuslah beberapa pastor moderator untuk mendampingi dan menjembatani antara Ormas dan Gereja Katolik (hierarki). Pastor tersebut menjadi representasi dari Gereja di ormas katolik yang bersangkutan. Sebagaimana fungsi dari moderator pada umumnya, pastor moderator di ormas katolik berfungsi sebagai pengarah. Akan tetapi, ditegaskan kembali bahwa partisipasi imam moderator dalam ormas katolik itu terbatas. Dengan demikian, fungsi mengarahkan pertama-tama bertujuan agar sebutan “katolik” pada nama ormas sungguh dihidupi. 

Legitimasi ormas sebagai organisasi di mata Pemerintah sungguh terlihat nyata. Sebagai contoh Pemuda Katolik itu adalah ormas, sedangkan OMK itu bukan ormas. Dalam hal statement isu sosial kemasyarakatan tentu saja legitimasi formal dimiliki Pemuda Katolik daripada OMK. Dalam hal ini, ormas Katolik pun perlu bersinergi dengan Gereja Katolik melalui para moderator. Hal yang menarik adalah bahwa Gereja tetap berkontribusi dalam aktivitas ormas-ormas katolik sekalipun dalam cakupan yang terbatas. Kontribusi tersebut merupakan konsekuensi langsung dari penyematan embelembel katolik ke dalam nama ormas. 

Analogi lain dapat disampaikan seperti ini: DPP (Dewan Pastoral Paroki) merupakan Dewan Gereja yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Uskup dan bersifat internal Gereja. PGAK (Pengurus Gereja dan Amal Katolik) merupakan badan hukum Gereja dan bersifat eksternal. Sebagai contoh: dalam urusan perbankan, pengajuan bukan melalui DPP, melainkan PGAK. 

Pastor Aloy mengutip perkataan RD Yohanes Kurnianto Jeharut (Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawam KWI), “Bentuk kerja sama ormas-ormas dengan Gereja katolik adalah dengan membentuk Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI).” FMKI itu semacam KWI-nya bagi awam. Dalam organisasi ini, tidak ada ketua, melainkan sekretaris bersama. FMKI di Keuskupan Bandung sempat berjalan, namun berhubung salah seorang pegiatnya meninggal dunia, FMKI menjadi tidak eksis. Bapak Vikjen mengamanatkan Komisi Kerawam menjadi “payung” bagi ormas Katolik. Semua ormas pernah dikumpulkan agar mereka bergerak sesuai kharisma masing-masing namun tetap selaras dengan gerak Keuskupan Bandung. Gereja berkontribusi dengan menjadi semacam penuntun agar nilai-nilai kekatolikan yang diyakini tetap “sehati” dengan Gereja universal. 

Bagi orang Katolik yang aktif di ormas bukan Katolik, secara pribadi lepas pribadi, mereka itu pun para rasul awam. Misalnya, para pegiat partai politik (parpol) atau ormas bukan Katolik. Mereka diharapkan mampu menjalankan spiritualitas panggilan tugas kerasulan awam pada umumnya, dengan prinsip menjadi garam dan terang di tengah dunia serta bonnum communae (kesejahteraan 6 bersama). Sebagai pribadi, mereka berada di luar Gereja dengan harapan tetap mewartakan nilai-nilai tadi. Hal ini berbeda dengan ormas Katolik yang berdimensi komunal dan perlu sinergi dengan Gereja Katolik. 

Pastor Aloy memandang bahwa tantangan sinergitas ormas dalam Keuskupan Bandung, yaitu: tidak semua klerus dan awam berpandangan yang sama terhadap semua ormas Katolik. Ormas Katolik diharapkan perlu mengenal gerak Gereja lokal atau mengikuti visi pastoral Bapak Uskup Bandung. Gaung untuk mengingatkan dan menyatukan sesuai dengan gerak Keuskupan Bandung didengungkan terus menerus. Implementasi karya sesuai kekhasan masing-masing ormas Katolik. Semoga dengan saling mengenal dan berkomunikasi tentang gerak semua ormas Katolik, persepsi keliru atau pun negatif dari semua pihak dapat terjembatani. *** 

Fr. Marchelino Joshua