Salah satu bagian instrinsik dari kehidupan Gereja adalah kehidupan dan pelayanan para imam. Kita membutuhkan para gembala Gereja yang berintegritas, di mana kualitas pendidkan imam yang meliputi aspek manusiawi, rohani, intelektual, dan pastoral bermutu tinggi. Pendidikan (formasi) para calon imam yang bermutu tentu membutuhkan fasilitas yang memadai, termasuk personel pendidik (formator) yang baik.
Pendidikan calon imam dilakukan di dua tingkat, yaitu seminari menengah untuk mereka yang baru menyelesaikan sekolah menengah pertama dan seminari tinggi untuk mereka yang setidaknya telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas. Di masa lalu, ada juga seminari kecil yang diperuntukkan bagi mereka yang baru lulus sekolah dasar (SD). Maka, pada waktu itu ada tiga tingkat seminari, yaitu seminari kecil yang setara dengan tingkat SMP, seminari menengah yang setara dengan tingkat SMA (SMU), dan seminari tinggi yang setara dengan tingkat perguruan tinggi (PT).
Di Keuskupan Bandung ada dua tingkat seminari, yaitu Seminari Menengah Cadas Hikmat yang berlokasi di Jl. Suryalaya Sari no. 5, Buah Batu, Bandung dan Seminari Tinggi Fermentum yang beralamat di Jl. Citepus III no. 39, Terusan Pasteur, Bandung 40173. Seminari Menengah Cadas Hikmat dibuka untuk umum, yaitu bagi siapapun yang berniat menjadi calon imam baik diosesan (projo) maupun religious (imam biarawan dari suatu tarekat religius baik ordo maupun konggregasi). Seminari Tinggi Fermentum diperuntukan khusus bagi mereka yang ingin menjadi imam diosesan Keuskupan Bandung. Seminari tinggi dibagi menjadi dua, yaitu tingkat tahun rohani (1-2 tahun) dan seminari tinggi (setelah selesai tahun rohani antara 6-8 tahun) Rumah formasi bagi mereka yang menjadi calon imam religius (pastor biarawan) disebut novisiat (selama 1-2 tahun sebelum mengucapkan tiga kaul Injili) dan skolastikat (setelah mengucapkan kaul pertama yang lamanya tergantung kebijakan tarekat religius masing-masing). Rumah formasi para religius, baik novisiat maupun skolastikat ini kadang dikenal juga sebagai biara.
Berdasarkan data laporan Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada November 2023, di Indonesia terdapat 47 seminari menengah, 16 seminari tahun rohani, dan 14 seminari tinggi. Mengapa dari 37 keuskupan teritorial, hanya terdapat 14 seminari tinggi? Tidak semua keuskupan mempunyai seminari tinggi sendiri. Karena siatuasi dan kondisi tertentu, ada beberapa keuskupan yang pendidikan para calon imam diosesannya (frater) dilaksanakan di satu seminari tinggi gabungan. Sebaliknya, ada keuskupan yang mempunyai lebih dari satu seminari menengah.
Fasilitas yang memadai untuk semua rumah formasi calon imam yang bermutu tentu membutuhkan biaya tinggi. Tidak semua keuskupan mempunyai kekuatan sumber dana yang sama. Walau demikian, seminari tetap harus ada untuk menyiapkan tenaga pastoral imam di masa depan. Saya pernah mengunjungi seminari menengah baik di pulau Jawa, Sumatera, Flores, Kalimantan, dan Papua. Jangankan keadaan seminari di luar pulau Jawa, seminari menengah di Jawa pun masih perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitasnya. Salah satu kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan gizi untuk para seminaris. Bagaimana mungkin kita memiliki para calon yang bermutu kalau asupan gizinya saja bermasalah? Jangan sampai karena masalah gizi selama pendidikan di seminari menengah, anak-anak yang berusia rentang 13-17 tahun tidak tumbuh sesuai dengan harapannya. Jangan sampai karena kekurangan gizi para seminaris mengalami “stunting” dalam aspek manusiawi, rohani, intelektual, dan pastoral. Bisa dibayangkan kalau para calonnya mengalami stunting tanda petik, bagaimana nanti saat mereka sudah menjadi imam?
Karena keprihatinan tersebut, lahirlah GOTAUS pada 10 Mei 2001, Gerakan Orang Tua Asuh Untuk Seminari yang berawal dari sekelompok karyawan muda Katolik Bank Indonesia pada pertengahan dekade tahun 1980-an yang dengan rela menyisihkan sebagian gajinya (uang receh yang diterima dalam amplop gaji) dan melakukan saweran yang dikumpulkan menjadi satu dan mengirimkannya melalui pos wesel ke Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Mereka yang peduli pada pendidikan seminaris ini melihat ada banyak hal yang perlu diperbaiki akibat kekurangan dana berkaitan dengan sarana, termasuk yang paling mendasar adalah perbaikan gizi. Keprihatinan akan gizi ini makin meningkat lagi saat mereka yang tergabung pada GOTAUS berkunjung ke seminari di luar pulau Jawa. Untuk itulah, GOTAUS memprioritaskan diri untuk membantu perbaikan gizi para seminaris. Maka GOTAUS dikenal sebagai “GOTAUS adalah organisasi kaum awam Katolik yang peduli akan kualitas asupan gizi di Seminari-seminari Menengah di seluruh Indonesia.”
GOTAUS berada di Keuskupan Agung Jakarta dalam kolaborasi dengan Komisi Seminari KWI. GOTAUS menghipun dana dari siapapun dan berapapun baik secara periodik (misalnya, 10.000, 100.000, 1.000.000 setiap bulan) atau tidak rutin. Hasilnya disumbangkan kepada seminari-seminari menengah di seluruh Indonesia. GOTAUS berharap bahwa setiap keuskupan, terutama yang lebih mapan secara personel dan finansial, juga memiliki GOTAUS masing-masing dan mampu mendanai seminarinya masing-masing.
Sejak beberapa tahun terakhir Keuskupan Bandung memutuskan untuk tidak menerima bantuan dari GOTAUS, bukan karena tidak membutuhkannya, tetapi karena ada seminari di luar pulau Jawa yang lebih membutuhkan. Keuskupan Bandung ingin agar seminari menengah di luar pulau Jawa mendapat manfaat (sumbangan) lebih besar.
Pernah diadakan misa bersama para Uskup KWI dan penggalangan dana GOTAUS pada tahun 2018 (Paroki St. Paulus, Moh. Toha) dan 2019 (Paroki St. Laurentius, Sukajadi) saat Sidang KWI diadakan Bandung. Sementara itu, Keuskupan Bandung membentuk Komunitas Peduli Seminari Keuskupan Bandung (PSKB) mulai tahun 2020 dan diresmikan pada 18 Agustus 2022 dengan metode yang sama seperti GOTAUS, tetapi dengan tujuan yang lebih luas, yaitu membantu pendidikan imam pada umumnya, di manapun dan untuk fasilitas apapun. Bantuan Komunitas PSKB ini tidak terbatas pada seminari menengah dan seminari tinggi saja, tetapi juga pada novisiat dan skolastikat yang dimiliki oleh suatu konggregasi serta tidak terbatas pada seminari di Keuskupan Bandung. Tentu bantuan pada pendidikan imam yang rumah formasinya berlokasi di Keuskupan Bandung menjadi prioritas.
Terimakasih kepada GOTAUS dan Komunitas Peduli Seminari Keuskupan Bandung serta pribadi, institusi, dan komuntias-komunitas lain yang mempunyai komitmen untuk membantu pendidikan calon imam di mana pun. Kepudulian kita dalam formasi para calon imam turut membantu dalam menyiapkan para gembala yang bermutu, sesuai dengan harapan kita semua di masa depan.
Ut diligatis invicem,
Antonius Subianto Bunjamin, OSC