Dengan menggunakan mulut Nabi Yeremia, Allah memberi janji kepada Bangsa Israel secara khusus, dan umat beriman secara umum. “Gembala-gembala akan Ku-angkat bagimu sesuai dengan hati-Ku” (Yeremia 3:15). Seruan tersebut menegaskan janji Allah kepada umat-Nya bahwa Ia tidak akan meninggalkan mereka seperti kawanan domba tanpa gembala. Alasannya, tanpa gembala, domba-domba tidak boleh disebut kawanan. Tanpa seorang gembala, domba-domba sekadar menjadi gerombolan binatang-binatang liar. Tanpa panduan dan tuntunan seorang gembala baik, gerombolan itu bahkan dapat menjadi buas dan tidak terkendali. Gembala sangat dibutuhkan untuk menghimpun dan membimbing gerombolan sehingga menjadi kawanan yang terawat dan terpelihara. “Aku akan mengangkat atas mereka, gembala-gembala yang akan menggembalakan mereka, sehingga mereka tak takut atau putus asa lagi” (Yeremia 23:4). Sepanjang alur zaman tanpa henti umat Allah atau Gereja mengalami aneka macam peristiwa seturut nubuat tersebut. Menanggapi nubuat tersebut, Gereja mendapat ajakan untuk terus-menerus melambungkan syukur kepada Allah dengan penuh sukacita. Alasannya, Allah sungguh memerhatikan kebutuhan umat-Nya.
Pada era Perjanjian Baru, umat beriman sebagai wujud konkret Gereja mengalami bahwa Yesus Kristus sendirilah pemenuhan nubuat para nabi sekaligus janji Allah yang hidup dan utama. “Akulah Gembala yang baik” (Yohanes 10:11). Sabda-Nya itu sungguh-sungguh memberi peneguhan bahwa Gereja memiliki seorang yang berkualitas unggul, yang akan selalu membimbing mereka ke air yang tenang. Lebih dari itu, Yesus adalah “Gembala agung domba-domba-Nya” (Ibrani 13:20). Setelah naik ke surga pun, Yesus tidak meninggalkan umat. Sebelum naik ke surga, Yesus telah memercayakan kepada Rasul-rasul dan para pengganti mereka, pelayanan menggembalakan kawanan Allah tersebut (Yohanes 21:15ss; 1Petrus 5:2).
Bersuka dan berduka
Peran penggembalaan yang dipercayakan Yesus kepada para murid itu kini mengejawantah dalam reksa pastoral para uskup dan para imam. Merekalah gembala-gembala yang merawat dan melindungi kawanan domba yang disebut sebagai Gereja. Dengan segala kelebihan dan kekurangan personal manusiawi mereka, Allah memanggil dan menguduskan mereka sehingga sungguh-sungguh sanggup menjadi gembala-gembala baik, sebagaimana Kristus. Tidak dapat disangkal bahwa tugas itu menuntut tanggung jawab yang sungguh-sungguh. Dalam satu kesempatan melayani, para gembala dapat mengalami sukacita. Akan tetapi, pada kesempatan lainnya para gembala juga tidak dapat menghindari duka.
Ada suka. Ada duka. Akan tetapi, panggilan Allah yang diterima para imam untuk menggembalakan itu tidak bersifat kausatif. Artinya, panggilan itu tidak diberikan atas dasar kondisi diri para imam tersebut. Potensi positif yang dimiliki para imam akan terus dimaksimalkan dengan bimbingan Roh Kudus. Sementara itu, Allah juga senantiasa mendampingi dan memberi peneguhan kepada para imam. Dengan kasih kerahiman-Nya, Allah yang memanggil itu mendampingi dan meneguhkan para imam, terutama saat kelemahan manusiawi menghalangi pelayanan mereka. Dari kenyataan itu menjadi jelas bahwa panggilan menjadi seorang gembala bersifat orientatif. Maksudnya, panggilan tersebut mengarahkan seseorang yang terpanggil untuk melihat dan mengenali medan pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya bukan semata sebagai karya personal, melainkan karya Allah sendiri. Selanjutnya mereka dituntut untuk sungguh dapat memberikan diri dalam pelayanan, seturut kebutuhan konkret umat yang dilayaninya itu. Dengan kata lain, panggilan menggembala bukanlah berdasarkan minat atau kesukaan personal, melainkan diorientasikan selaras dengan tuntutan kebutuhan umat beriman.
Tanpa para gembala, Gereja tidak akan mungkin menghidupi ketaatan mendasar, yang merupakan pokok misinya dalam sejarah. Misi itu adalah ketaatan untuk menanggapi perintah Kristus. “Maka pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-murid-Ku” (Matius 28:19) dan “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Aku” (Lukas 22:19; 1Korintus 11:24). Ketaatan itu berwujud seluruh daya upaya untuk melaksanakan perintah mewartakan Injil dan dari hari ke hari membaharui korban penyerahan Tubuh-Nya dan pencurahan darah-Nya demi kehidupan dunia. Supaya dapat secara terus-menerus menjalankan tugas tersebut dengan penuh tanggung jawab, para imam diajak untuk bersetia pada rahmat yang diterima. Rahmat yang dimaksudkan adalah rahmat ikut serta dalam karya penggembalaan Allah yang terwujud dalam diri Yesus Kristus, Sang Gembala Baik. Dengan kata lain, sumber dan pusat keteladanan para imam ada pada diri Kristus itu.
Misi terjauh
Dengan menggunakan mulut Nabi Yeremia, Allah memberi janji kepada Bangsa Israel secara khusus, dan umat beriman secara umum. “Gembala-gembala akan Ku-angkat bagimu sesuai dengan hati-Ku” (Yeremia 3:15). Janji Allah itu sampai sekarang masih terus bergema. Janji itu bukanlah janji palsu atau pepesan kosong. Firman Allah yang keluar dari mulut Nabi Yeremia itu masih terus hidup dalam Gereja. Dengan janji tersebut, umat Allah senantiasa diajak untuk mengingat dan menyadari bahwa merekalah yang memiliki hak menerima nubuat nabi yang menyukakan hati itu. Melalui perjalanan menyusuri waktu yang panjang, umat Allah sebagai Gereja dapat menyaksikan sekaligus mengalami dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, bahwa nubuat itu terpenuhi di banyak wilayah-wilayah penggembalaan di dunia ini.
Wilayah-wilayah penggembalaan itu sebenarnya bukanlah semata-mata tempat di mana manusia tinggal secara nyata. Secara lebih tepat wilayah itu sebenarnya adalah hati manusia. Wilayah hati ini terletak di pedalaman yang sangat liar. Wilayah ini menjadi ranah tersulit bagi penggembalaan. Oleh karena itu, dibutuhkan pula gembala-gembala yang sungguh berani dan terpercaya untuk dapat memasukinya. Berdasarkan kenyataan itu Allah menjanjikan kepada Gereja, umat-Nya yang terkasih, bukan sembarang gembala. Allah menjanjikan kepada Gereja gembala-gembala yang 'sesuai dengan hati-Nya'. Lebih dari itu, sebenarnya 'hati' Allah telah mewahyukan diri seutuhnya kepada Gereja dalam hati Kristus, Sang Gembala Baik.
Sampai saat ini hati Kristus, Sang Gembala Baik itu terus-menerus memenuhi umat, domba-domba-Nya, dengan limpah belaskasih. Hati Kristus itu juga terus-menerus memenuhi kebutuhan hidup umat-Nya. Umat memeroleh kelimpahan roti kebenaran, roti cintakasih, dan roti kehidupan (Markus 6:30). Hati Kristus senantiasa menuntut diri-Nya masuk ke dalam hati setiap manusia dan bersemayam di sana.
Terlebih kepada para imam, hati Kristus ini mendesaknya untuk bertindak segera sesuai kebutuhan umat. “Kamu harus memberi mereka makan!” (Markus 6:37). Makanan yang dimaksudkan tentulah bukan sekadar yang masuk ke dalam perut melalui mulut. Makanan itu adalah aneka macam kebutuhan manusiawi. Salah satu dari kebutuhan itu adalah kebutuhan akan rasa aman dan damai sejahtera. Tidak perlu disangkal bahwa ketakutan yang tidak terjelaskan makin hari semakin mengancam manusia. Akibatnya, banyak yang melarikan diri dengan ketakutan. Mereka yang melarikan diri ini menempatkan dirinya dalam anonimitas. Mereka menjadi pasif dan apatis, bahkan terutama terhadap ajakan untuk berbelas kasih.
Ke dalam situasi ketakutan semacam itulah para gembala, para imam didesak untuk masuk. Mereka harus membuka hati umat semacam itu supaya hati Kristus yang penuh belas kasihan itu masuk dan berdenyut keras. Harapannya, yang ketakutan itu dapat merasakan kembali kehidupan yang lebih aman, sekaligus jalan yang dapat ditempuh dengan lebih nyaman. Seperti domba yang sesat dan hilang, mereka butuh ditemukan dan disapa. Mereka ingin sekali mendapat kasih dan perhatian. Itu semua dapat terselenggara berkat Yesus Kristus, Sang Gembala Baik, oleh-Nya sendiri, yang secara konkret kini mewujud konkret dalam pelayanan para imam.***