Karakter Bangsa : Karakter Kesatuan

Berbicang mengenai karakter bangsa, redaksi menjumpai dan meminta sharing dari Ketua Komisi Kerawam, Pastor Aloysius Wahyu Endro Suseno. Menjawab pertanyaan apa karakter bangsa Indonesia, ia menjelaskan bahwa kalau mau melihat orang Indonesia atau ke-Indonesiaa-an maka pertama-tama kita harus melihat empat pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, UUD-1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Bahwa orang Indonesia dan ciri khasnya adalah orang yang menghidupi dan berkarakter empat pilar tersebut. Pilar-pilar tersebut yang terutama adalah Pancasila, merupakan ideologi yang memang dihidupi oleh bangsa Indonesia sejak dahulu saat dicetuskannya sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan.


Nilai yang tidak saling bertentangan

Selain empat pilar kebangsaan indonesia, nilai lain yang juga menjadi karakter bangsa ini adalah gotong-royong. Kalau membandingkan dengan kehidupan menggereja di negara lain bahwa konsep lingkungan dan wilayah tidak semua negara itu ada dan sama. Di kebanyakan Gereja di Eropa, disana tidak ada wilayah, kring atau komunitas basis seperti di Gereja Indonesia yang menggambarkan karakter hidup gotong-royong. Maka ketika membandingkan dengan bangsa lain tersebut gotong royong menjadi salah satu karakter Indonesia.

Mengenai Pancasila, salah satunya tentang ketuhanan, ditunjukkan bahwa bangsa kita memang sudah religius sejak dahulu dengan agama-agama lokalnya. Pencarian akan yang ilahi itu sudah menjadi karakter bangsa kita ini. Bahwa kemudian di zaman orde baru rumusan dan pengakuan atas lima atau enam agama yang diakui negara, itu menunjukkan bahwa bangsa ini berkarakter ketuhanan. Dari ketuhanan turun kepada kemanusiaan; artinya bahwa rasa kemanuisaan bangsa ini pun sangat kental, dihidupi dan menjadi karakter. Demikian juga nila-nilai lain yang ada dalam rumusan Pancasila tersebut, itu menjadi karakter bangsa Indonesia.

Banyak nilai dan karakter bangsa yang dihidupi oleh masyarakat Indonesia, dan sebagai sebuah nilai, antara Gereja dan hidup kebangsaan tidak nilai yang bertentangan. Semua nilai yang digunakan sebagai pedoman hidup kebangsaan ini juga ada dalam nilai di dalam Gereja. Di dalam ajaran kristiani terdapat pula ajaran dan nilai-nilai Pancasila yang mana itu tidak bertentangan satu sama lain.

Kita patut bersyukur atas para misionaris Gereja yang mengawali kehidupan menggereja di Indonesia. Ketika mereka datang dan berkarya, mereka tidak saja melakukan “si’ar” agama, tetapi juga melakukan kebaikan kristiani yang mendasari kemajuan bangsa ini. Keutamaan kristiani yang mereka wartakan tersebut tidak hanya disampaikan lewat kata atau kotbah tetapi langsung mereka praktekan terutama dalam bidang yaitu pendidikan dan kesehatan. Hingga sekarang misi mereka untuk membagikan nilai pendidikan dan kesehatan itu masih terasa. Dengan cara itu pula lalu banyak muncul tokoh-tokoh bangsa yang lahir dari institusi pendidikan Katolik, yang tanpa mereka sendiri harus menjadi Katolik. Banyak tokoh yang mengakui bagus ketika mereka mengalami pendidikan di sekolah atau universitas Katolik. Dalam bidang kesehatan kita bisa melihat masyarakat sekitar kita, betapa mereka terbantu oleh pelayanan Gereja melalui pelaku-pelaku kesehatan dan Rumah Sakit Katolik. Lewat dua bidang tersebut bisa dikatakan misi Gereja sungguh berhasil.


Identitas/Karakter Kesatuan

Sekarang kita melihat suatu karakter lain bangsa ini. Kemajemukan dan heterogenitas Indonesia akhirnya memunculkan suatu karakter penting yanitu kesatuan atau lebih tepat disebut rasa kesatuan. Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) adalah realitas Indonesia. Tidak banyak negara lain yang memiliki fakta keanekaragaman yang sebanyak Indonesia sehingga keanekaragaman ini diikat dengan paham dan semangat kesatuan “Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini mau mengatakan bahwa kesatuan dalam keberagaman ini juga menjadi karakter Indonesia.

Lalu orang Indonesia itu orang yang mana, seperti apa? Menjawab pertanyaan ini Pastor Aloy memaparkan apa yang disampaikan Soegijapranata, bahwa sebagai orang Katolik ini kita memiliki dua identitas dalam kesatuan diri yaitu 100% Indonesia dan 100% Katolik. Bukan saja untuk yang Katolik kesatuan pribadi ini ada, tetapi juga bisa terhadap agama atau kelempok suku tertentu. Sementara ada 100% Indonesia dan 100% Katolik, alangkah baiknya juga menjadikan 100% Indonesia dan 100% agama/suku yang lain. Jadi rasa kesatuan inilah yang hendak kita kedepankan dan menjadi karakter serta identitas bangsa Indonesia, bukan karakter mayoritas suku atau agama tertentu.


Universalitas dalam Gereja

Apa yang telah dilakukan Gereja dalam konsep kesatuan ini adalah bahwa Gereja selama ini berusaha menyatukan, seperti Roh Kudus yang selalu menyatukan. Gereja sungguh membentuk karakter bangsa yang tidak menyeragamkan tetapi selalu bersikap universal, katolik. Janganlah kita salah memaknai kesatuan ini, bahwa kesatuan bukan berarti kesamaan. Justru di sini Gereja bukan menyamakan perbedaan tetapi selalu bergerak untuk menyatukan perbedaan. Maka betul, Gereja dalam karya pendidikan, karya kesehatan tadi tidak pernah berorientasi pada mengkatolikkan orang dari agama-agama yang mereka anut.

Konsep kesatuan atau universalitas ini terlihat dalam dokumen-dokumen umum yang dikeluarkan oleh Paus. Dalam dokumen ini sering dibuka dengan kata-kata Kepada Para Uskup, Imam, Diakon, Biarawan, Biarawati, Awam dan semua orang yang berkehendak baik. Kata ‘orang yang berkehendak baik’ inilah yang menunjukkan adanya kesatuan di antara perbedaan di dalam Gereja. Memang kita tidak seiman, tetapi sama-sama berkehendak baik dan kita bersatu dalam kehendak baik tersebut.


Memperjuangkan semangat nasionalisme

Untuk memupuk karakter bangsa : Pancasila, semangat Gotong-royong, dan Kesatuan tersebut perlu adanya semangat nasionalisme yang merangkul kepentingan setiap warga negara. Kepentingan-kepentingan nasional baik ideologi maupun perilaku-perilaku hidup bersama haruslah menjadi tujuan bersama setiap warga negara. Jangan sampai di antara hidup bernegara ini terdapat kelompok-kelompok dominan yang menguasai proses berbangsa. Hal yang menjadi ancaman adalah ketika yang lokal atau segmented itu mau diterapkan secara masal atau universal. “Bukan soal kita tidak mau dikuasai oleh kelompok tertentu, tetapi kita tidak mau ketika yang harusnya hanya berlaku bagi sebagian orang, itu diberlakukan untuk semua orang. Ketika ada kelompok tertentu yang mau menggeneralisir apa yang harusnya balaku hanya untuk kelompoknya, itulah yang berbahaya,” demikian ungkap Pastor Ketua Komisi Kerawam ini.

Maka sifat nasionalisme itu artinya ketika saya berasa dalam kelompok saya, kelompok yang nasional ini, maka yang diperjuangkan adalah kepentingan bersama. Kita harus sadar ketika kepentingan dalam kelompok besar ini terpenuhi, maka kelompok kecil saya juga dengan sendirinya akan terpenuhi. Terkait hal ini Pastor Aloy kurang setuju dengan adanya wakil-wakil golongan/suku dalam pemerintahan atau parlemen, karena nanti orang akan berlomba-lomba untuk memberikan wakil-wakilnya agar aspirasi/kepentingan kelompoknya terwakili. “Saya lebih cenderung untuk mengajak memperbanyak orang-orang yang sama-sama berkehendak baik. Jadi bukan masalah apakah dari kelompok atau agama saya atau bukan, tetapi yang penting dia berkehendak baik dan kepentingan saya pun akan diperjuangkan,” demikian Pastor Aloy mencontohkan sikap nasionalisme.***

deBritto