KDRT Melukai Martabat Manusia

Selama masa pandemi tercatat ada kenaikan pelaporan mengenai tindak kekerasan dalam keluarga. Merujuk pada informasi yang diambil dari sistem informasi online pemberdayaan perempuan dan anak (Simfoni-PPA) tercatat bahwa pada 2 Maret-25 April 2020 terdapat 275 kasus kekerasan yang dialami orang dewasa. Dari angka tersebut 184 di antaranya adalah korban KDRT dengan rentang usia 25-44 tahun atau usia berumah tangga (12/2). Keluarga yang mengalami KDRT membawa luka mendalam bagi korban sekaligus mengancam keutuhan hidup berkeluarga.

Angka ini tentu tidak mewakili suara-suara lain yang memilih diam dan tidak membuka persoalan mereka ke ranah publik/hukum. Sangat mungkin bahwa masih banyak korban KDRT yang karena menjunjung tinggi martabat perkawinan tidak membuka luka mereka dengan harapan bahwa persoalan akan segera selesai sejalan dengan berakhirnya pandemi. Nyatanya kita tidak tahu dengan pasti kapan pandemi Covid-19 akan segera berakhir. Bukan jaminan pula jika Covid-19 benar-benar teratasi persoalan KDRT juga hilang.

Favor Iuris

Perkawinan yang dilaksanakan secara sah mendapatkan perlindungan hukum (favor iuris). Tidak perlu meragukan perkawinan yang sudah dilaksanakan jika memang tidak ada hal yang perlu diragukan. Dalam situasi tidak pasti dan tidak jelas, perkawinan sah harus tetap dipertahankan. 

Kesulitan pasti dialami setiap orang, bahkan orang yang tidak menikah pun mengalami kesulitan. Kesulitan pasti dapat diatasi jika memang ada kehendak dan niat baik untuk mau menyelesaikan persoalan. Kesulitan berbeda dengan ketidakmampuan. Jika orang mengalami kesulitan masih sangat mungkin mendapatkan solusi, orang yang secara hukum dikategorikan tidak mampu secara hukum (tidak mampu secara nalar, kehendak, dan fisik) membuatnya tidak mampu menjalankan tugas dasar yang dituntut dalam hidup bersama. Dalam dua wilayah ini Gereja melihat KDRT.

Tria bona

Perkawinan Katolik dibangun atas unsur-unsur kebaikan (KHK 1055§1). Ada 3 unsur kebaikan dalam perkawinan katolik: memperlakuan pasangan dengan baik (bonum coniugum), terbuka akan keturunan dan mendidik serta merawat anak sepenuh hati (bonum prolis), setia sampai akhir dengan pasangan yang dinikahi (bonum sacramenti). Terkait bonum coniugum, unsur memperbaiki diri demi pasangan dan memperlakukan pasangan dengan baik adalah hal yang mendasar. Tujuan utama perkawinan adalah menjadi baik dan dengan menjadi baik keluarga diharapkan menjadi bahagia. Bahagia adalah bonus dari kebaikan yang diusahakan bersama. 

KDRT yang terjadi dalam hidup berkeluarga adalah bentuk ketidakmampuan seseorang dalam mengemban janji perkawinan terutama unsur bonum coniugum. KDRT bukan saja berkebalikan dengan maksud dan tujuan perkawinan seperti yang diharapkan oleh Gereja. Alih-alih membuat baik, KDRT justru menjadi ancaman atau batu sandungan yang jika tidak hati-hati akan sangat mungkin memberikan ancaman serius terhadap Sang Pencipta karena dengan sadar dan jelas merusak atau melukai pribadi ciptaan Allah sendiri.

Kekurangan kasih sayang (defisit afeksi) akan cenderung membawa pasangan pada prasangka negatif atau mencari kekurangan kasih sayang itu kepada pribadi lain selain pasangan. Unsur pemahaman yang minim terhadap pasangan, unsur paksaan saat mengambil keputusan menikah, campur tangan pihak ketiga dalam keluarga dan kesulitan dalam hal ekonomi keluarga juga dapat menjadi pemicu KDRT.

Consesus matrimonialis

Seorang yang hendak menikah dituntut memiliki tiga hal dasar ini secara simultan dan tak terkecuali: Pertama, Keinginan yang sungguh dengan pasangan yang dinikahi. Kesungguhan ini didasari niat untuk mempersembahkan diri sekaligus menerima pasangan yang sudah dikenal dan kepadanya seseorang mempercayai dan berusaha berkembang dalam kebaikan. Kedua, Keinginan yang penuh dengan tidak memberi ruang pada pribadi lain. Maksudnya adalah hati dan cinta seseorang diberikan hanya pada satu orang yang akan dinikahinya. Karena penuh, ia tidak memberi ruang cinta dan bahkan perasaan untuk pribadi lain. Harapannya hatinya tidak tergoda untuk memiliki dan dimiliki yang lain selain pasangannya. Ketiga, keinginan yang bebas tanpa ada paksaan dari pihak lain maupun kultur tertentu. Kebebasan seorang dewasa dalam memilih sangat dihargai dalam perkawinan Katolik. Keinginan orang lain bahkan orang yang paling disayang (orang tua) maupun keluarga besar (suku dari kultur tertentu) patut dihormati meskipun bukan yang paling menentukan dalam perkawinan Katolik. Perkawinan yang dipaksakan seperti perjodohan antar orang tua atau dari unsur penghargaan akan kultur, pada zamannya baik namun tidak menjadi jaminan untuk saat ini. Gereja Katolik dalam hal ini tetap memegang prinsip sadar akan pilihannya dan bebas dalam memilih pribadinya namun bertanggung jawab  akan konsekuensinya yakni membangun keluarga yang harmonis.

KDRT adalah ancaman keutuhan Rumah Tangga

KDRT dalam hukum perkawinan adalah hal yang serius; ketidakmampuan seseorang mengemban hidup perkawinan. Hukum sipil melihat KDRT masuk dalam ranah pidana oleh karenanya dapat digugat. Hukum Gereja melihat KDRT sebagai tindakan berat yang dalam tingkat tertentu dapat dikategorikan ketidakmampuan seseorang mengemban hakikat perkawinan dan dapat mengancam jiwa atau keselamatan seseorang. Tindakan emosional yang terjadi satu dua kali tidak begitu saja dipandang sebagai ancaman jiwa. Namun jika tindakan kekerasan itu terjadi berulang-ulang, tidak ada kejelasan kapan berakhir dan efek dari tindakan tersebut membahayakan jiwa, fisik dan psikis, maka masuk dalam kategori ancaman jiwa.

Jika ekspresi emosi seseorang sudah masuk dalam kategori KDRT yang menjadikan seseorang menjadi korban dan jiwanya ada dalam bahaya serta penderitaan yang permanen, maka Gereja akan bersikap melalui kuasa yuridis dan moral untuk menghentikan tindak kekerasan ini demi menyelamatkan jiwa korban dengan harapan si pelaku juga mengalami pertobatan nyata dan tidak akan melakukan tindakan KDRT lagi.

Misi Gereja adalah menyelamatkan jiwa- jiwa (KHK kan. 1752). Gereja membantu orang  untuk mendapatkan keselamatan jiwa dan atau menghantar umat beriman sampai pada keselamatan jiwa. KDRT adalah ancaman bagi jiwa. Kekerasan, baik secara verbal maupun fisik, tentu saja tidak dapat dibenarkan. Menjadi baik adalah tugas setiap orang Katolik. Menikah seharusnya menjadi jalan untuk menjadi baik, baik bagi dan bersama pasangannya. Janji perkawinan adalah janji luhur di hadapan Allah untuk menjadi baik bagi pasangan dengan konsekuensi menghindari tindakan menyakiti pasangan.***

RD. Martinus Hery Wahyu Adiyanto