Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan Sebagai Citra Allah

Divisi Gender dan Pemberdayaan Perempuan – Komisi Keadilan Perdamaian Keuskupan Bandung merupakan bagian dari gereja yang mempunyai misi membangun kesadaran umat Katolik tentang kepedulian dan kepekaan gender sambil terus menjaga spiritualitas Katolik. Divisi ini terus membangun kesadaran tersebut dengan menjalin kerjasama dengan berbagai komisi, paroki dan lembaga lainnya di Keuskupan Bandung. Untuk memperkuat jalinan kerjasama tersebut, di tahun 2019 ini, Divisi Gender dan Pemberdayaan Perempuan Keuskupan Bandung mendapat kehormatan dan kesempatan untuk mengadakan Ngobrol Santai bersama Mgr. Prof. Sunarko, OFM (Uskup Pangkal Pinang dan Ketua Komisi Teologi KWI) yang mempelajari secara khusus kesetaraan gender dalam Gereja Katolik.

Acara Ngobrol Santai ini diselenggarakan secara khusus untuk menjadi media pembelajaran tentang kesetaraan gender dengan berfokus pada ajaran Gereja Katolik secara menyeluruh. Dua materi yang disampaikan adalah tentang: Kesetaraan gender dalam Gereja Katolik dan Ajaran Gereja Katolik tentang Kesetaraan Gender.

Kegiatan yang terselenggara pada tanggal 3 Agustus 2019 di Gedung Bumi Silih Asih Keuskupan Bandung ini dihadiri oleh perwakilan komisi, biara, sekolah, paroki, universitas, serta kelompok kategorial di Keuskupan Bandung.




Ngobrol Santai ini merupakan salah satu upaya untuk terus mengembangkan program dari Divisi Gender dan Pemberdayaan Perempuan dengan terus belajar dan memahami berbagai hal yang terjadi di sekeliling kita, di dalam Gereja Katolik. Diharapkan dengan kegiatan seperti ini, Keuskupan Bandung, melalui Divisi Gender dan Pemberdayaan Perempuan dapat memberikan pelayanan berkaitan dengan kesetaraan gender.

Mgr. Sunarko, OFM pertama memperlihatkan bahwa sejarah persepsi dan penafsiran yang keliru yang akhirnya memunculkan budaya ketidakadilan gender. Dari pembelajaran dan evaluasi sejarah muncullah pembaharuan persepsi dan tafsiran yang bisa menggambarkan Gereja sebagai sarana karya keselamatan Allah bagi semua umat manusia (laki-laki dan perempuan). Setelah Konsili Vatikan II, Gereja senantiasa menekankan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan setara menurut citra Allah (bdk. Kej. 1: 26-27). Keduanya setara martabat, walaupun berbeda secara biologis. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi, memperkaya, membangun relasi kasih, dan mengembangkan kehidupan.




Yohanes Paulus II pernah menyatakan bahwa masyarakat perlu mengupayakan agar tercipta kemungkinan bagi seorang ibu untuk “membaktikan dirinya dalam merawat anak-anaknya dan mendidik mereka sesuai dengan kebutuhan (tanpa menghambat kebebasan, tanpa diskriminasi psikologis dan praktis dan memberi stigma negative dibandingkan dengan mereka yang bekerja). Rumusan ini penting diingat bahwa nilai-nilai feminine yang disebut itu sebenarnya adalah nilai-nilai semua manusia: pria dan wanita diciptakan Bersama sebagai citra Allah. Jadi, bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki dipanggil untuk mencintai sesama. Kapasitas untuk hidup Bersama dengan yang lain, merupakan kapasitas yang juga dimiliki oleh laki-laki. Karena itu, upaya mempromosikan wanita dalam masyarakat harus dimengerti dalam konteks humanisasi secara keseluruhan. Dan tidak boleh dilihat dalam konteks pertentangan dan konflik antara pria dan wanita. Dukungan terhadap hak-hak dan martabat wanita dalam keluarga dan masyarakat tidak perlu disertai sikap permusuhan pada laki-laki. Kondisi yang baik untuk membangun relasi pria-wanita bukanlah oposisi defensive dan curiga. Relasi perlu dihidupi dalam kedamaian dan sikap saling menghormati satu sama lain. Dengan demikian upaya mempertahankan dan mempromosikan kesetaraan martabat harus disertai pengakuan akan perbedaan sekaligus corak saling melengkapi baik dari pria maupun wanita. (***Yunanto)