Ketika Gereja Katolik Dituduh Egois 


Oleh R.P. Postinus Gulö, OSC*


Pertanyaan 

 Salam kenal Pastor Postinus. Saya, VN, beragama Kristen Katolik. Saya termasuk follower Pastor di Twitter. Saya menyimak twit Pastor terkait tiga janji pihak Katolik jika memutuskan nikah beda agama. Dalam twit tersebut, Pastor mengatakan bahwa janji orang Katolik yang nikah beda agama di hadapan Allah, Romo dan umat (kan. 1125), yaitu: 1) bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman Katolik; 2) sekuat tenaga akan membaptiskan secara Katolik semua anak yang lahir; dan 3) sekuat tenaga mendidik anak secara Katolik pula. Saya merasa bahwa janji nomor dua dan nomor tiga, tampaknya Gereja Katolik tidak mempertimbangkan hak non-Katolik untuk mendidik anak sesuai agama yang ia imani. Mengapa harus dididik secara Katolik saja; mengapa tidak boleh dididik dalam agama lain? Dari janji-janji ini tampaknya Gereja Katolik egois. Mohon maaf jika saya lantang dalam berkata-kata. Semoga Pastor bersedia memberikan tanggapan atas komentar saya ini. Terima kasih. 

Dari Saudari VN (melalui akun Twitter)


Jawaban

Saudari VN yang baik, terima kasih atas komentar dan pertanyaan Anda. Membaca komentar Anda yang bernada “mempertanyakan” janji pihak Katolik tersebut, mengingatkan saya bahwa komentar atau pertanyaan serupa pernah berkali-kali disampaikan kepada saya. Dari komentar ini, kita sadar bahwa ternyata, tidak sedikit umat Kristen Katolik yang punya pandangan serupa. Melihat fenomena ini, tampaknya katekese ajaran Kristen Katolik mesti digalakkan agar umat semakin sadar, tahu dan mau menghidupi prinsip-prinsip iman dan ajaran Kristen Katolik. Budaya literasi terhadap ajaran Gereja perlu digalakkan dengan memanfaatkan berbagai sarana yang ada, termasuk sarana komunikasi sosial.

  • Setia Memeluk Iman Katolik

Dari komentar dan pertanyaan Saudari VN ada dua inti yang dipertanyakan. Pertama, “hak non-katolik sebagai pasangan hidup untuk mendidik anak di luar Gereja Katolik”. Kedua, “gereja dituduh egois”. Bagaimana jawaban kita? Menjawab inti pertanyaan ini, kita perlu kembali ke dasar ajaran Gereja Katolik bahwa “perbedaan agama” merupakan halangan nikah yang sah. Hal itu sangat jelas diajarkan dalam Kitab Hukum Kanonik kanon 1086: tidak sahlah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dengan seorang yang tidak dibaptis. Seharusnya umat Kristen Katolik menikah dengan umat Kristen Katolik juga. Dengan kata lain, orang percaya kepada Yesus (umat Katolik) tidak boleh menikah dengan orang yang tidak percaya kepada Yesus Kristus (tidak dibaptis). Ajaran ini sebenarnya berakar dari Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru.

Dalam Kitab Perjanjian Baru, misalnya, 1 Koritus 7: 39, Rasul Paulus sudah menegaskan bahwa umat Kristen terikat kewajiban menikah dengan orang percaya kepada Kristus dan jemaat yang memelihara tradisi para Rasul. Kepada Jemaat di Korintus, Rasul Paulus kembali mengingatkan umat: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya” (2 Kor 6: 14). Rasul Paulus mengingatkan umat agar tidak jatuh dalam celah meninggalkan iman akan Yesus Kristus.

Peringatan Rasul Paulus agar umat yang percaya kepada Kristus tidak menikah dengan orang yang tidak percaya kepada Kristus, memiliki tujuan mulia. Tujuannya adalah agar pihak yang dibaptis dan anak-anak yang akan lahir tidak jatuh dalam bahaya meninggalkan iman akan Yesus Kristus. Gereja Katolik membantu umatnya memenuhi kewajiban ini. Oleh karena itu, perkawinan Katolik harus dilangsungkan sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik (kanon 1108). Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) kanon 11 sudah ditegaskan bahwa seluruh umat Kristen Katolik terikat dengan Hukum Gereja Katolik.

Dalam Kitab Perjanjian Lama pun, Allah sudah memperingatkan umatNya agar tidak menikah dengan orang yang tidak beriman kepada Allah (bdk. Kej. 28: 1: Yosua 23:12-13; Keluaran 34: 15-16; Ulangan 7:3-4; Tobit 4:12). Tujuannya tentu sangat mendasar, yakni agar umat tidak jatuh dalam bahaya meninggalkan iman akan Allah. Larangan itu bertujuan pula agar umat yang percaya kepada Allah tidak jatuh dalam pengaruh orang-orang yang dikuasai nafsu birahi dan semangat poligami. Tidak hanya itu, peringatan untuk tidak menikah dengan orang-orang yang tidak percaya adalah untuk menjauhi anak-anak yang akan lahir terjatuh dalam ajaran kaum pagan (orang tidak percaya kepada Allah, melainkan kepada berhala).

  • Akibat Perbedaan Keyakinan

Jauh sebelum Kitab Hukum Kanonik tahun 1983 diberlakukan, ternyata Gereja pernah mengeluarkan dokumen “Instructio de Matrimoniis Mixtis” (Instruksi tentang Perkawinan Campur; disingkat IMM) pada tahun 1966. Dalam dokumen ini, Kongregasi Ajaran Iman menegaskan bahwa seharusnya umat yang dibaptis, menikah dengan orang yang dibaptis pula agar perkawinan mereka menjadi sakramen. Sebab, “Tuhan kita Yesus Kristus yang melembagakan Sakramen Perkawinan sebagai simbol persatuan-Nya dengan Gereja, untuk memberikan penjelasan yang lebih lengkap tentang kuasa pengudusan-Nya. Model misteri besar ini dalam kehidupan pasangan (bdk. Ef 5:32), yang berdasarkan persekutuan hidup mereka yang intim, melambangkan kasih yang dengannya Kristus mempersembahkan diri-Nya untuk keselamatan umat manusia” (IMM dalam Acta Apostolicae Sedis 58 [1966], 235). Bagi kita, perkawinan yang sakramental melambangkan relasi Kristus dengan Gereja. Namun, hanya perkawinan antara yang dibaptis yang diangkat ke martabat sakramen (kanon 1055-1056). Perkawinan beda agama tidak disebut sebagai sakramen.

Lebih jauh dokumen IMM ini menegaskan bahwa “Sakramen Perkawinan, lebih dari apa pun, menuntut keharmonisan yang penuh dan sempurna dari suami-isteri itu sendiri, terutama dalam hal agama. Sesungguhnya persatuan semangat dapat gagal atau setidak-tidaknya dilemahkan bila ada perbedaan keyakinan dan pertentangan kehendak tentang kebenaran dan sudut pandang agama yang membentuk nilai-nilai tertinggi yang menjadi subjek penyembahan manusia. Oleh karena alasan-alasan ini, Gereja mempertimbangkan tugasnya yang paling serius untuk melindungi dan menjaga karunia iman, baik untuk pasangan maupun untuk anak-anak mereka. Demi alasan ini, Gereja berusaha dengan segala cara agar umat Katolik tidak menikah dengan non-Katolik” (IMM, ibid., 325-326).

Ajaran Gereja dalam IMM ini sejalan dengan Katekismus Gereja Katolik no. 1634: “Pandangan yang berbeda-beda mengenai iman dan juga mengenai Perkawinan, juga sikap semangat religius yang berbeda-beda, dapat menimbulkan ketegangan dalam Perkawinan, terutama dalam hubungan dengan pendidikan anak-anak. Lalu dapat timbul bahaya untuk menjadi acuh tak acuh terhadap agama”.

  • Hukum Gerejawi

Dalam setiap ajaran agama, tentu ada ajaran terkait hukum Ilahi atau hukum kodrati yang tidak bisa diganggu gugat. Tak ada dispensasi terkait ini. Akan tetapi, ada juga ajaran terkait hukum moral dan hukum Gerejawi. Gereja Katolik memandang bahwa “perkawinan beda agama” merupakan hukum Gerejawi. Ordinaris wilayah (uskup diosesan atau vikaris jenderal atau vikaris episkopal teritorial) dapat memberikan dispensasi terkait hukum Gerejawi (bdk, KHK kanon 88, kanon 90-91). Dispensasi merupakan pelonggaran terhadap kewajiban memenuhi hukum gerejawi. Orang Katolik tetap setia memeluk iman Katolik. Pihak non-Katolik juga tetap memeluk imannya. Gereja menghargai kesetiaan calon pasangan pada iman masing-masing!

Dispensasi atas nikah beda agama merupakan “pengecualian” dan bukan pengistimewaan. Hanya akan diberikan dispensasi itu jika pihak katolik berjanji menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik dan mewariskan iman Katolik itu kepada anak-ananya dengan membaptis dan mendidik mereka secara Katolik.

Dalam Konsili-Konsili awal Kristen, sudah menegaskan larangan pernikahan antara orang Kristen dengan kaum pagan (penyembah berhala). Misalnya, dalam Konsili Trullo tahun 692, Gereja Katolik Timur menetapkan perbedaan agama (disparitas cultus) sebagai halangan yang membuat perkawinan tidak sah. Hasil Konsili Trullo ini diakui oleh Gereja Latin (Katolik Roma), sehingga perbedaan agama menjadi halangan nikah yang dimuat dalam Kitab Hukum Kanoni 1917 kanon 1070 dan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1086.

Kendati Gereja menetapkan “perbedaan agama” sebagai halangan yang mengggalkan perkawinan yang sah, namun Gereja menawarkan solusi: pemberian dispensasi. Dispensasi ini hanya diberikan kepada umat Kristen Katolik yang punya komitmen kuat dan selamanya untuk tetap memeluk iman Katolik dan mewariskannya kepada anak-anaknya. Maka, dalam kanon 1086 ditegaskan bahwa pihak katolik mesti memenuhi syarat yang diminta berdasarkan kanon 1125, yakni berjanji untuk: 1) tidak meninggalkan imat Katolik; 2) sekuat tenaga membaptiskan bayinya secara Katolik; 3) sekuat tenaga mendidik anak secara Katolik. Pihak Katolik yang mampu memenuhi syarat-syarat ini tentu otoritas Gereja Katolik memberikan dispensasi atas nikah beda agama.

Melalui pemberian dispensasi, Gereja melonggarkan aturannya, agar pihak Katolik bisa sah menikah beda agama. Gereja juga tetap membebaskan pihak non-Katolik memeluk imannya. Ia tidak perlu pindah ke Katolik jika bertentangan dengan hati nuraninya (bdk. kanon 748 §2). Maka, tidaklah benar jika melalui janji-janji pihak Katolik ini justru Gereja dituduh egois. Ingat, Gereja telah melonggarkan aturannya dengan memberikan dispensasi nikah beda agama! Tuduhan ini tentu tidak benar dan tidak bisa dibenarkan. Bahkan berbahaya dalam memelihara dan mempromosikan iman yang dianut Gereja Katolik. Tidak tepat pula jika pihak Katolik “disalahkan” bahwa Gereja tidak mempertimbangkan “hak non Katolik mendidik anak dalam agamanya yang bukan Katolik itu”. Gereja justru telah memerintahkan pihak Katolik agar janjinya untuk tidak meninggalkan iman Katolik dan mewariskannya kepada anak-anaknya, ia beritahukan pula kepada calon pasangannya yang bukan Katolik (kanon 1125). Mengapa? Alasannya sederhana: agar sebelum menikah pihak non-Katolik ini sadar konsekuensi jika menikah dengan orang beragama Katolik. Kedua calon pasangan perlu membicarakan janji pihak Katolik ini agar tidak menjadi konflik dalam keluarga.

Dari paparan di atas, sangat jelas bahwa melalui pemberian dispensasi atas nikah beda agama, Gereja Katolik “bermurah hati” kepada umat Katolik yang berjanji bahwa sungguh menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik. Gereja juga menghargai pihak non-Katolik yang menyadari dan mau menerima konsekuensi menikah dengan pihak Katolik.

Sekali lagi diingatkan bahwa seharusnya umat kristen Katolik hanya boleh menikah dengan umat kristen Katolik juga, yang notabene percaya kepada Yesus. Jadi, kalau pihak Katolik memilih menikah beda agama, berarti ada konsekuensi yang menyertainya, yakni mempertahankan imannya dan persekutuan dalam Gereja.

  • Mewaspadai Relativisme Budaya

Ajaran Gereja Katolik tidak mengandung dan tidak mendukung “ajaran atau pandangan relativisme budaya”. Dalam dokumen “La Speranza della Salvezza per i Bambini che Muoiono senza Battesimo” (Harapan Keselamatan bagi Bayi-Bayi yang meninggal tanpa Baptisan), Gereja menegaskan kembali terkait bahaya “relativisme budaya yang menyerang agama”. Dalam dokumen itu, Gereja menyatakan dengan jelas: “Pada zaman kita ini, jumlah anak yang meninggal tanpa dibaptis meningkat secara signifikan. Seringkali orangtua, dipengaruhi oleh relativisme budaya dan pluralisme agama …(CTI, no. 2).

Dalam ilmu filsafat kita tahu bahwa para penganut relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Gereja mewaspadai ajaran revatisme ini. Kebenaran ajaran bisa jatuh pada pandangan subjektif semata!

Tentu Gereja Katolik menghargai ajaran agama-agama lain. Namun, Gereja Katolik juga tidak mengikuti dan tidak mengimani ajaran-ajaran atau semangat yang jelas-jelas bertentangan dengan sumber iman Gereja Katolik: Tradisi suci; Kitab Suci dan Magisterium Gereja (bdk. kanon 750). Gereja Katolik mengajarkan “kebenaran teologis” bahwa Sang Penyelamat satu-satunya adalah Yesus Kristus sendiri. Hal itu disabdakan Yesus sendiri dalam Injil Yohanes 14: 6: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Oleh karena itu, bayi-bayi yang lahir dari umat Kristen Katolik sangat perlu diinkorporasikan (disaturagakan) dengan Yesus Kristus melalui baptisan. Melalui baptisan, bayi-bayi itu dipersembahkan kepada kepada Tuhan Allah agar dilahirkan kembali menjadi anak-anakNya.

Kita patut bersyukur, sebab, melalui baptisan yang kita terima, kita memperoleh rahmat: dilahirkan kembali menjadi anak-anak Allah. Kita juga ambil bagian dalam tugas Kristus (memimpin, mengajar, menguduskan) dan digabungkan dengan komunitas Gereja (kanon 204; kanon 849). Melalui kanon 204 dan kanon 849, kita sadar bahwa umat Kristen Katolik harus berjuang untuk membangun persekutuan dengan komunitas Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus (Kristus Kepala Gereja dan kita/jemaat Gereja adalah anggota TubuhNya). Maka, jika umat Kristen Katolik memilih menikah, mesti berjuang membangun persekutuan Gereja Katolik, dan tidak justru memberi peluang “meninggalkan iman Katolik, termasuk anak-anak yang akan lahir”.

Itu sebabnya, dalam Katekismus Gereja Katolik, Gereja mengajarkan bahwa Sakramen Perkawinan dan Sakramen Tahbisan merupakan sakramen pelayanan untuk persekutuan. Jadi, hendaknya melalui perkawinan, umat Kristen Katolik tidak justru membangun perpecahan dengan meninggalkan imannya. Mengapa sakramen perkawinan satu kelompok dengan sakramen tahbisan sebagai sakramen pelayanan untuk persekutuan? Jawabannya sangat jelas, yakni: karena pasutri melalui sakramen perkawinan dan kaum tertahbis melalui sakramen tahbisan suci, berkomitmen dan berjanji untuk melayani dan membangun komunitas Gereja. Hal itu ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK), no. 1534 bahwa dua Sakramen: Tahbisan dan Perkawinan, diarahkan kepada keselamatan orang lain. Oleh pelayanan kepada orang lain mereka juga memberi sumbangan untuk keselamatan diri sendiri.

Sakramen Tahbisan dan Sakramen Perkawinan, memberikan satu perutusan khusus di dalam Gereja dan berguna untuk pembangunan umat Allah. Bagi Gereja Katolik, perkawinan yang diangkat ke martabat sakramen hanya perkawinan antara orang-orang yang dibaptis. Umat Katolik yang memilih menikah dengan orang yang tidak dibaptis, harus sekuat tenaga untuk tetap memeluk iman Katolik, dan mewariskannya kepada anak-anaknya. Umat Katolik yang memilih menikah beda agama, mesti sekuat tenaga mengusahakan agar perkawinannya menjadi sarana pengudusan dan keselamatan bagi diri, pasangan dan anak-anaknya. Ia dan anak-anaknya dipanggil untuk teguh beriman kepada Yesus Kristus sang Juruselamat manusia.

Demikian jawaban dan tanggapan saya. Semoga ajaran Gereja Katolik sungguh menjadi rahmat bagi kita untuk semakin menjadi pengikut Kristus sejati. Tuhan memberkati.

*Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022).