Tulisan ini bersumber dari kunjungan saya ke berbagai Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) di sekitar Bandung. Dalam kunjungan bersama dengan kelompok Pelayan Rohani Katolik (PRK) ada dua kegiatan yang saya lakukan. Pertama, memimpin ibadat sabda untuk warga binaan Kristen. Kedua, untuk keperluan penelitian tentang situasi Lapas. Selama kunjungan tersebut, saya merangkum beberapa hal berkaitan dengan situasi warga binaan. Lapas yang saya kunjungi adalah Lapas yang berlatar belakang kasus narkoba, sehingga saya juga mewawancarai warga binaanyang berkasus narkoba atau obat-obat terlarang. Oleh karena itu, saya akan menguraikan beberapa hasil penelitian bersama warga binaan.
1. Penyebab memutuskan menjadi pengedar narkoba. Berdasarkan hasil wawancara ada dua alasan, mereka akhirnya memutuskan menjadi pengedar narkoba, yaitu pergaulan dan situasi sosial-ekonomi. Pada awalnya mereka mengenal narkoba dari teman dekat. Mereka diberi dengan gratis. Tetapi, setelah kecanduan mereka membelinya dengan uang pribadi. Setelah sekian lama uang mereka juga habis, maka langkah terakhir yang ditempuh adalah mereka ditawari mengedarkan narkoba. Oleh karena itu, mereka tetap mengonsumsi narkoba, sekaligus mengedarkannya. Alasan kedua adalah situasi sosialekonomi. Pada masa pandemi Covid-19, perusahaan dan pabrik banyak memecat karyawannya, maka otomatis karyawan tersebut mencari pekerjaan lain. Tetapi, setelah sekian lama mencari pekerjaan halal, ternyata tidak menemukannya. Sebagai tulang punggung keluarga, mereka harus mencari naah, maka cara satu-satunya adalah menjadi pengedar narkoba.
2. Setelah ditangkap dan dipenjara, mereka kadang mengalami diskriminasi. Hukum sudah mengatur hak-hak para narapidana, namun tidak terlaksana. Misalnya, makanan yang kurang layak. Selain itu, uang ternyata bisa berbicara, “jika kamu memilki uang, maka hidupmu akan terjamin”. Ada juga situasi yang tidak terduga yang dialami oleh mereka, yaitu bahwa narkoba bisa menembus tembok penjara. Di dalam penjara tidak ada jaminan bahwa narkoba tidak beredar, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu sipir penjara main mata dengan beberapa pengedar di dalam penjara.
3. Stigma masyarakat. Beberapa narapidana yang saya wawancarai adalah mereka yang pernah dipenjara beberapa kali karena kasus yang sama. Menurut mereka, tidak ada jaminan hukum bahwa orang yang sudah bebas menjalani hukuman penjara akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan di terima oleh masyarakat. Pada kenyataannya, tidak 5 ada perusahaan atau pabrik yang menerima bekas narapidana, begitu juga masyarakat “tidak mungkin kamu bertetangga dengan bekas narapidana narkoba”. Keluarga pun banyak yang menolak kehadiran mereka. Oleh karena itu, cara untuk bertahan hidup adalah kembali ke kebiasaan masa lalu, yaitu kembali menjadi pengedar narkoba.
Sebagai refleksi Kristiani atas situasi yang dialami oleh warga binaan, yaitu bahwa orang jahat tidak akan selamanya jahat. Mereka memang dipenjara karena melakukan kesalahan. Akan tetapi, harus diberi kesempatan bagi mereka untuk bertobat. Ketika berada di atas salib pun, Yesus memberi kesempatan bertobat kepada penyamun yang disalibkan bersama Dia (Luk 23:43). Pada kenyataannya, banyak mantan narapidana yang terpaksa ditangkap lagi (residivis) karena penolakan masyarakat. Mereka ingin menjadi masyarakat biasa, namun masyarakat menolak karena mereka adalah orang jahat “seakan-akan mereka itu adalah orang jahat selamanya”. Kehadiran para pelayan rohani memberikan cara pandang baru, bahwa selalu ada kesempatan bagi setiap orang untuk bertobat. Mengubah cara pandang mereka ini memang tidak mudah karena penilaian negatif dari masyarakat dan hukuman yang kadang tidak sesuai dengan tindakan kejahatan yang dilakukan.
Pastoral Penjara
Pastoral untuk penjara menjadi salah satu pastoral yang cukup menantang karena tidak semua warga binaan mengikutinya dengan baik. Bahkan ketika para pelayan rohani datang berkunjung, mereka tidak merespon. Kehadiran mereka pun juga sebatas mengisi daftar hadir agar dianggap taat pada peraturan yang sudah ditetapkan. Tanggapan yang kurang baik dari warga binaan ini menjadi alasan bagi beberapa pelayan rohani untuk tidak mau melayani di penjara karena “bagaimana mungkin kamu melayani orang yang tidak mengharapkan kehadiranmu”. Akan tetapi, mesti diperhatikan bahwa pelayanan di penjara merupakan perintah Yesus sendiri. Yesus menyampaikan spiritualitas pelayanan di penjara, yaitu “ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat 25:36). Katakata Yesus itu seharusnya menjadi patokan bagi umat yang melayani di penjara bahwa pelayanan yang diberikan bukan hanya melayani mereka yang dipenjara, namun sekaligus melayani Yesus yang juga ikut “dipenjara”.
Pastoral penjara ini menuntut kehadiran dari Gereja. Selama saya mengunjungi penjara, kegiatan yang dilakukan masih sebatas untuk pembinaan rohani dengan ibadat Sabda, perayaan Ekaristi, dan kegiatan lain. Akan tetapi, hal yang perlu direfleksikan bersama adalah apakah kehadiran Gereja untuk melayani di penjara hanya sebatas pendampingan rohani atau ada kemungkinan lain yang dilakukan selain pembinaan rohani di penjara. Salah satu kesempatan untuk meningkatkan pelayanan ini adalah kepedulian kepada mantan narapidana. Selama ini tidak ada jaminan dari pemerintah untuk mereka yang pernah dipenjara. Pastoral untuk para warga binaan memang terbatas karena situasi penjara yang tidak memberikan kebebasan bagi orang luar untuk melayani. Akan tetapi, ada kesempatan lain untuk membangun pastoral baru, yaitu pelayanan untuk mantan narapidana. Selama ini banyak mantan narapidana yang tidak bisa bekerja karena selalu dicurigai. Pelayanan untuk para mantan narapidana bisa lebih berefek karena mereka akhirnya menemukan keluarga yang dapat menerima mereka tanpa penghakiman. Mungkin masyarakat menolak mereka, namun Gereja akhirnya memiliki pastoral sebagai rumah bagi mereka untuk pulang.***
Fr. Ignasius Tonius Hia, OSC