LITURGI KATOLIK UNTUK SEMUA UMAT PRIA ATAU WANITA

Dokumen Konsili Vatikan II, Sacrasanctum Concilium (SC), yaitu Konstitusi tentang Liturgi Kudus menulis: “Dengan perantaraan Liturgi, terutama Kurban Ekaristi Ilahi, ‘terlaksana karya penebusan kita’. Sebab itu liturgi sangat membantu para beriman mengungkapkan dan menyatakan kepada orang lain dengan hidupnya, misteri Kristus dan kodrat Gereja sejati.” (SC 2) Liturgi, terutama misa kudus, menjadi sarana di mana kita mengalami karya penebusan. Siapapun yang percaya kepada Kristus mengungkapkan imannya dalam dan melalui liturgi. Oleh karena itu, liturgi adalah hak setiap orang beriman untuk dapat merayakannya sesuai dengan ketentuan Gereja. Tak seorang pun yang tanpa halangan dibatasi untuk merayakan liturgi.

Dalam liturgi, semua orang adalah saudara, tiada batas umur anak, remaja, muda, maupun tua; tak ada batas sosial ekonomi kaum sederhana atau orang kaya; tak ada pemisahan jender pria atau wanita. Sifat umum ini ditegaskan juga dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1069: “Kata ‘liturgi’ pada mulanya berarti ‘karya publik’, ‘pelayanan dari rakyat dan untuk rakyat’. Dalam tradisi Kristen, kata itu berarti bahwa Umat Allah mengambil bagian dalam ‘karya Allah.’ Melalui liturgi, Kristus Penebus dan Imam Agung kita, melanjutkan karya penebusan-Nya di dalam Gereja-Nya, bersama dia dan oleh dia.” Melalui liturgi semua orang yang menurut ketentuan Gereja harus mendapat akses merayakan liturgi dan menikmati anugerah Allah dalam liturgi. Oleh karena itu, peran aktif setiap orang dan persiapan yang pantas dari masing-masing pribadi tanpa batasan apapun diharapkan terjadi selama liturgi. “Supaya hasilguna ini diperoleh sepenuhnya, perlulah para beriman datang ke Liturgi Kudus dengan sikap batin yang tepat, menyesuaikan hati mereka kepada ucapannya dan bekerjasana dengan rahmat surgawi, agar jangan menerimanya percuma. Oleh karena itu para Gembala suci harus memperhatikan, agar dalam kegiatan Liturgi tidak saja ditaati hukum-hukum perayaan yang sah dan diperbolehkan, tetapi juga agar umat berperan-serta, aktif, dan berdaya guna.” (SC 11). Di situalah umat yang diajak untuk merayakan liturgi secara sadar, aktif, dan penuh makna.

Karena liturgi itu bersifat publik, pernyataan atau pertanyaan tentang peran wanita dalam liturgi rasanya mengarah pada kecurigaan bahwa terjadi diskriminasi dalam liturgi, terutama dalam perayaan Ekaristi. Padahal Gereja jelas-jelas menegaskan bahwa liturgi diperuntukan bagi setiap orang untuk menumbuhkan imannya melalui perayaan, teristimewa melalui sakramen Ekaristi. Maka, tak ada diskriminasi jender dalam perayaan Ekaristi. Umat beriman pria dan wanita mempunyai hak yang sama dalam perayaan Ekaristi. Yang membedakan hak dalam perayaan Ekaristi bukanlah status jender, tetapi status keanggotaan dalam Gereja, apakah seseorang sudah dibaptis secara Katolik atau sudah diakui dalam Gereja Katolik atau belum. Misalnya, setiap orang, siapapun, boleh ikut perayaan Ekaristi, tetapi tak semua orang yang hadir boleh menyambut Komuni Kudus. Hanya mereka yang sudah dibaptis dan tak terkena halangan Gereja diperkenankan menyambut Tubuh Kristus.

Pernyataan atau pertanyaan tentang peran wanita dalam liturgi rupanya mengarah juga pada sejauh mana kaum Hawa ini diperkenankan terlibat membantu karya imam dalam liturgi. Kita perlu menyadari bahwa dalam liturgi memang ada dua kelompok yang berbeda fungsi, wewenang, dan tanggungjawabnya, yaitu imam sebagai kaum hierarki dan umat sebagai kaum awam. Saat umat masih terbatas atau di mana umat masih sedikit, imam bisa melakukan semua kegiatan dalam liturgi seorang diri, misalnya mempersiapkan kebutuhan misa kudus, membaca Kitab Suci, menyiapkan persembahan roti dan anggur, dan membagi komuni. Akan tetapi, dengan alasan praktis yang sangat membantu para imam, dibukalah kemungkinan untuk melibatkan kaum awam tertentu dalam persiapan misa Kudus, seperti diangkatnya putra dan putri sakristi (kebanyakan putri sakristi), putra dan putri altar (kebanyakan putra altar), lektor yang membaca atau pemazmur baik pria maupun wanita, dan para pembagi komuni yang disebut asisten imam atau prodiakon. Dalam beberapa tahun terakhir muncullah para wanita juga yang mempunyai keutamaan iman dan teladan yang diangkat menjadi asisten imam atau prodiakones. Tugas-tugas imam yang boleh diserahkan kepada umat diperutukan bagi siapa saja baik pria atau wanita. Yang penting adalah bahwa mereka memiliki keutamaan iman dan teladan yang menonjol serta dengan sukarela dan sukacita melayani liturgi dalam rangka membantu tugas imam dalam liturgi serta sebagai perwujudan iman dan komitmennya.

Pernyataan dan pertanyaan peran wanita dalam liturgi janganlah dikaburkan dengan peran wanita untuk mengambil alih peran imam dalam liturgi. Apa yang tidak bisa diserahkan kepada kaum awam, tidak boleh dikerjakan oleh siapapun baik awam pria maupun awam wanita. Jadi, bukan soal wanita tak boleh membantu imam dalam liturgi, tetapi agaknya lebih ditentukan oleh aspek sosial dan kultural di mana Gereja tersebut merayakan liturgi. Sebagai contoh, di suatu masyarakat di mana wanita tidak diberikan peran pada kepemimpinan publik, biasanya wanita di tempat itu pun tak diberi peran untuk membantu imam dalam liturgi, terutama Ekaristi. Maka, kalau ada misdinar atau pembagi komuni atau bahkan pembaca Bacaan Kitab Suci, kaum prialah yang berperan. Wanita hanya duduk sebagai umat. Di situ terkesan ada diskriminasi dalam liturgi. Sekali lagi, tiada diskriminasi dalam liturgi. Yang ada adalah peran awam dan hierarki dalam liturgi atau kedudukan imam dan awam dalam Ekaristi.

Kalau liturgi Katolik itu adalah perayaan untuk semua orang beriman Katolik pria dan wanita, muda dan tua, sederhana atau kaya, marilah kita rayakan liturgi kita sesuai dengan kedudukan kita masing-masing apakah saya seorang kaum hieraki atau awam; apakah saya seorang imam atau awam. Dalam liturgi, peran imam dan awam sangat jelas juga ditulis dalam rubrik liturgi. Maka, pernyataan dan pertanyaan tentang peran wanita kiranya bukanlah soal diskriminasi dalam liturgi, tetapi soal adanya keinginan untuk melibatkan lebih banyak kaum wanita dalam membantu imam dalam upacara liturgi, terutama perayaan Ekaristi. Baik terlibat membantu imam atau hadir saja sebagai umat, marilah kita merayakan liturgi dengan sungguh, yaitu “bahwa semua orang mengambil bagian dalam liturgi kudus dengan ‘sadar, aktif, dan penuh makna’” (KGK 1071)

Ut diligatis invicem,

Antonius Subianto B OSC