Medsos: Anugerah Zaman

Gereja mengimani dan menyadari secara terus-menerus bahwa Allah sungguh hadir di dalam Gereja dan di tengah dunia; juga hadir dalam diri setiap manusia dengan segala konteks kehidupannya. Allah hadir dan mengkomunikasikan diri tanpa henti, menghadirkan keselamatan secara nyata, dan bahkan Ia menggunakan akal budi manusia agar mampu memahami kehadiran-Nya dan mewartakan karya keselamatan-Nya sepanjang zaman.

Salah satu karya Allah melalui akal budi manusia untuk dasawarsa ini adalah petumbuhan teknologi media komunikasi yang memperluas jangkauan interaksi manusia. Melalui sarana itu pun, Allah tak putusnya mengkomunikasikan diri. Namun bagaimana kita menyadari kehadiran Allah yang mengkomunikasikan diri melalui media komunikasi, termasuk Medsos, sementara sarana itu sendiri nampaknya sudah bergeser makna menjadi budaya baru? Bagaimana kita harus memosisikan diri?

Bukan lahan tak perpenghuni

Media komunikasi -kita batasi pada Medsos- bukanlah ruang kosong atau lahan tak bertuan, bukan juga tempat yang tidak memiliki peran penting. Tetapi secara perlahan menjadi “tanah” kita yang ada secara nyata dan turut membentuk hidup kita. Sosial media menjadi ruang nyata, yaitu konsep yang menjadi konten sekaligus tindakan (peristiwa) yang membentuk pengalaman. Maka media sosial menjadi ruang perjumpaan antar pengalaman sekaligus menjadi tempat melihat dan memasuki pengalaman-pengalaman baru.

Ruang dan waktu berkomunikasi tidak melulu diukur berdasarkan perjumpaan fisik tetapi juga mencakup pengalaman-pengalaman komunikasi virtual sebagai “ruang tanpa batas” yang memungkinkan komunikasi dan interaksi semakin luas. Ruang komunikasi sosial ini menjadi “komunitas” yang melibatkan peran serta semua anggota. Akhirnya medsos tidak bisa lagi dianggap hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi berupa “ruang perjumpaan”. Komunikasi menciptakan relasi, mempengaruhi afeksi, lantas menciptakan komunitas bagi yang “sefrekuensi”.

Konsep komunitas dalam konteks Medsos masih bisa diperdebatkan, tetapi mau tidak mau kegembiran dan harapan sekaligus problematika dan tantangan media sosial menjadi ranah kehidupan kita. Medsos telah memasuki dimensi-dimensi kehidupan kita, baik personal maupun komunal. Kita ambil contoh:

Kita membuka smartphone. Klik aplikasi. Mengirim atau membalas pesan, melihat postingan: status, foto, video, berita. Ini adalah dinamika hidup harian sekarang. Ada serpihan tindakan atau kegiatan dari rutinitas harian di dunia real. Tetapi jangan lupa bahwa di dalam tindakan online itu kita melakukan interaksi, berelasi, dan beraktivitas secara virtual. Kita tidak sedang menyendiri, melainkan berelasi dan berkomunikasi yang melibatkan perasaan-perasaan. Tetapi ketika aplikasi ditutup, “perjumpaan virtual” itu berakhir.

Ketika berselancar di Medsos, kita tidak meninggalkan interaksi dan relasi real kita, tidak juga meninggalkan komunitas kita di dunia nyata, tetapi secara bersamaan kita juga memiliki relasi personal dan komunal di dunia maya. Relasi baru ini sudah mulai disebut pula sebagai komunitas sosial. Bisa jadi, sekarang kita baru sampai pada titik menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, mencari kesenangan dan hiburan, menggali informasi, menimba pengalaman, atau untuk memperluas cakrawala pengetahuan. Ada juga yang menggunakan Medsos untuk berbagi nilai hidup, berkatakese dan berpastoral. Rasa-rasanya, kelak kita akan lebih dari itu. Kita bukan hanya menjadi pengguna tetapi juga “berjumpa” dengan orang-orang di sana.

Faktanya, Medsos tidak sebatas sarana atau alat komunikasi, melainkan juga sudah menjadi kebiasaan baru berkomunikasi dan berelasi dalam hidup sehari-hari. Kini tiada lagi ruang lingkup dalam pengalaman hidup manusia yang lolos dari pengaruh Medsos. Medsos telah menjadi bagian integral dalam hubungan antar pribadi sehari-hari.

Jadi mengapa kita menggunakan Medsos, banyak alasan, tetapi satu yang tidak bisa diabaikan adalah karena di dalam Medsos “ada manusia”. Medsos bukanlah planet kosong atau tanah tak bertuan, melainkan “ruang perjumpaan” yang melibatkan identitas diri. Karena ada manusia di sana, kita ditantang untuk memasuki ranah baru dunia komunikasi. Paus Fransiskus mengungkapkan: ”Janganlah segan-segan menjadi warga dunia digital… untuk berdialog dengan manusia masa kini dan mengantar dia berjumpa dengan Kristus” (2014).

Meski begitu, Paus Fransiskus menegaskan bahwa “dalam komunikasi, tidak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan “melihat” secara pribadi. Beberapa hal hanya dapat dipelajari dengan mengalami. Kita tidak berkomunikasi hanya dengan kata-kata, tetapi dengan mata, dengan nada suara, dan dengan gerakan (perjumpaan fisik).”

Kita memiliki gadget di tangan tetapi fakta ada di depan mata. Maka, tantangan yang menanti kita adalah tetap berkomunikasi dan menjumpai orang-orang di sekitar kita, meskipun di dunia maya pun kita “berjumpa” dengan orang-orang di sana. Saat ini kita mungkin masih menjadi netizen yang sedang euforia, mungkin juga gagap. Mengalami pengalaman baru yang menyenangkan di sana. Kadang tersesat dan terpeleset. Lantas lupa.. relasi virtual seakan menjadi utama, sedangkan relasi nyata menjadi nomor dua. Sebagai anak-anak Allah, mestinya kita beda. Kita tidak demikian adanya.

Karunia zaman

Gereja melihat kehadiran media komunikasi sebagai anugerah istimewa dari Allah, sekaligus sebagai penyelenggaraan Ilahi yang bertujuan menyatukan umat manusia dan menjadi rekan kerja Allah dalam karya penyelamatanNya (Lih. CP 2). Terobosan-terobosan baru di bidang teknologi komunikasi bukan melulu hasil karya manusia, tetapi bagian dari kehendak Allah. Allah memungkinkan manusia melalui kemampuan akal budinya untuk menciptakan media komunikasi sosial yang ada (IM 1). Maka bukan cela ketika kita menggunakan media-media komunikasi yang ada dan memiliki akun-akun Medsos serta terlibat aktif di dalamnya. Gereja bahkan menegaskan bahwa kita berhak menggunakan dan memilikinya “sejauh berguna bagi pendidikan kristen dan bagi seluruh karya Gereja demi keselamatan manusia” (IM 3).

Dalam ajaran tentang metode-metode evangeliasi, Gereja melanjutkan keyakinannya akan anugerah Allah ini: “Gereja akan merasa bersalah jika tidak memanfaatkan sarana-sarana yang ampuh ini, yang dari hari ke hari semakin dikembangkan dan disempurnakan oleh kepandaian manusia” (EN 45). Jelaslah bahwa Gereja memandang positif penggunaan media komunikasi sosial seraya tetap waspada pada dampak-dampak negatifnya.

Setiap anugerah membutuhkan tanggapan; setiap tanggapan adalah panggilan; dan panggilan membawa konsekuensi pada perutusan. Anugerah istimewa di bidang komunikasi sosial hendaknya diterima dengan rasa syukur dan kita semua dipanggil untuk memanfaatkannya dengan baik, serta diutus untuk bekerjasama dengan-Nya dalam mewartakan Kerajaan Allah dan mengembangkan kesejahteraan umat manusia.

Paus Paulus VI mengungkapkan, “Bila alat-alat ini digunakan untuk melayani Injil, alat-alat tadi dapat memperluas wilayah di mana Sabda Allah dapat didengar, hampir tanpa batas (EN 45). Lebih lanjut, Sri Paus mengungkapkan bahwa Gereja hendaknya tidak anti menggunakan media komunikasi ini. ”Gereja akan merasa salah terhadap Tuhan jika tidak memanfaatkan sarana-sarana yang ampuh ini, yang dari hari ke hari semakin disempurnakan oleh ketrampilan manusia. Melalui alat-alat tadi Gereja mewartakan ”dari atap-atap rumah” pesan yang diserahkan kepada Gereja untuk dijaga”.

Senada dengan itu, Santo Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa dunia maya adalah panggilan untuk petualangan besar dan menggunakan potensinya untuk mewartakan pesan Injil (2002). Menurutnya, media komunikasi bisa menjadi sarana perjumpaan awal dengan pesan kristiani dan sekaligus menjadi sarana evangelisasi. Namun ia menggaris bawahi bahwa “internet tidak akan pernah bisa menggantikan pengalaman mendalam akan Allah yang hanya dapat diberikan oleh kehidupan Gereja yang hidup, liturgis dan sakramental.” Karenanya, media komunikasi sosial dengan segala platformnya adalah sarana; bukan tujuan. Itu semua adalah sarana baru, ranah baru, bahkan budaya baru, tetapi bukan allah baru.

Dengan demikian, menggunakan media komunikasi sosial untuk pewartaan Injil merupakan panggilan sekaligus perutusan Gereja. Dengan menggunakannya, pewartaan dapat menjangkau semakin banyak orang. Itulah “budaya baru” yang dapat menjadi tempat inkulturasi iman (RM 37). Iman Kristiani perlu diintegrasikan dalam cara berkomunikasi yang baru. Dalam bahasa Paus Benediktus XVI, “Sabda Allah dapat berjalan melintasi berbagai persimpangan yang tercipta oleh simpang siurnya aneka ragam 'jalan tol' yang membentuk 'ruang maya' dan menunjukkan bahwa Allah memiliki tempatNya yang tepat pada setiap zaman, termasuk di zaman kita ini. Berkat media komunikasi baru, Tuhan dapat menapaki jalan-jalan perkotaan kita sambil berhenti di depan ambang rumah dan hati kita dan mengatakan lagi: Lihatlah, Aku berdiri di depan pintu dan mengetuk” (2010).

Etika dan Media Komunikasi

Dalam bermedsos, Gereja meminta kita untuk membantu menciptakan kesejahteraan umum dengan memperhatikan tatanan moral yang berlaku (IM 11). Kita tentu saja berhak mengkomunikasikan pikiran kita di Medsos tetapi tidak boleh abai pada batas-batas kepantasan, moralitas dan rasa hormat pada kesejahteraan umum (Lih. CP 26). Dokumen Etika dan Internet menggaris bawahi, “prinsip etis mendasar adalah sebagai berikut: pribadi manusia dan komunitas manusia merupakan tujuan dan ukuran dari penggunaan media komunikasi sosial. Komunikasi hendaknya dilakukan oleh pribadi-pribadi kepada pribadi-pribadi demi keutuhan perkembangan pribadi''. Maka ada dua kriteria yang tidak boleh abai dalam bermedsos: pribadi manusia dan kebaikan komunitas manusia (masyarakat).

Hormat pada pribadi manusia berarti kita “masuk ke dalam pikiran dan perasaan orang lain, untuk menumbuhkan (kebahagiaan dan) rasa tanggung jawab bersama” (No. 6). Kita perlu waspada jangan sampai postingan-postingan dan komentar kita menjadikan mereka sebagai objek kekerasan (verbal). Perutusan kita adalah mempersatukan orang-orang dan memperkaya hidup mereka, bukannya mengasingkan mereka dan memeras mereka (No. 6), menyebarkan kebencian, atau menyampaikan berita hoax.

Bagi komunitas manusia, “Sarana komunikasi sosial, bila digunakan dengan tepat, dapat membantu untuk menciptakan dan mendukung suatu komunitas manusiawi yang berdasarkan keadilan dan kasih.. sehingga menjadi tanda-tanda pengharapan” (No. 6).

Lantas bagaimana bagi para penerima komunikasi sendiri (komunikan) harus bersikap? Bukan hanya pembuat konten yang memiliki kewajiban etika, tetapi para penikmat konten itu sendiri. Kita berkewajiban untuk bersikap selektif dan bertanggung jawab (No. 25), dan tidak meneruskan informasi-informasi yang menyimpang dari dari kedua prinsip utama dalam komunukasi sosial.

***

Media komunikasi adalah anugerah Allah yang diwahyukan melalui akal budi manusia. Dalam kisah penciptaan dikatakan bahwa Allah istirahat pada hari ketujuh dan tidak dikisahkan Ia melanjutkan penciptaan pada minggu kedua. “Pencipta” selanjutnya adalah manusia sebagai rekan kerja Allah. Dengan penuh kasih, Sang Seniman Ilahi meneruskannya kepada seniman manusia (EMK 31). Kita memuliakan Allah atas karya luhurNya di bidang komunikasi manusia karena dengan cara ini pun Ia tak hentinya mengkomunikasikan diri demi keselamatan kita.

Sebagai “rekan kerja Allah” kita diutus untuk menghormati martabat sesama manusia dan menciptakan kebaikan bersama. Pun pula di dunia media sosial kita diutus untuk hal yang sama, karena di Medsos ada manusia dan kita berkomunikasi dengan manusia yang adalah putra-putri Allah.

“Karena itu buanglah dusta dan berkatalah (dan postinglah) yang benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota... Janganlah ada perkataan kotor (dan konten kebencian) keluar dari mulutmu (dan jarimu), tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Ef 4:25, 29).***


PA. Didi Tarmedi , Prior Skolastikat OSC.