Membahas Iman Katolik dengan Perspektif Katolik

Media sosial (medsos) saat ini dibanjiri berbagai konten dengan tema berjuta ragam. Mulai dari kehidupan pribadi, berbagai macam hal tips praktis, sosial – ekonomi, keagamaan, dan sebagainya. Demikian juga dalam lingkup gereja katolik saat ini banyak tokoh baik awam maupun klerus yang membuat konten dengan latar belakang ajaran gereja Katolik. Pastor Yohanes Istimoer Bayu Adjie, seorang imam Keuskupan Bandung adalah salah satu konten kreator dan pemilik akun youtube bernama KATKIT (KATekese SediKIT). Dalam edisi kali ini Pastor Bayu akan berbagi pengalaman tentang bagaimana ia secara konsisten menyampaikan pengajarannya melalui akun youtube-nya.


Apa yang menjadi pertimbangan (utama) ketika Romo membuat konten katolik?

Alasan utama karena saya adalah presbiter, yang ditahbiskan, yang sebelumnya mendapat pendidikan/pelajaran teologi, diuji dan lulus dan mendapatkan lisensi. Sebagai presbiter saya mempunyai tiga tugas sebagai imam, nabi dan raja.


Tugas nabi pengajaran, katekese

Saya memulai dengan tugas mengajar. Saya bicara sebagai orangnya Gereja, bicara mengenai doktrin iman Gereja Katolik. Sebagai contoh dalam konten KATKIT di youtube, saya menampilkan tagline “membahas iman Katolik dengan sudut pandang Katolik”. Jadi apa yang dibahas adalah iman katolik dengan perspektif katolik dan yang membahas presbiter. Karena bisa saja iman Katolik dibahas dari perspektif non Katolik. Cara yang paling aman saya lakukan adalah mendasarkan pembahasan pada Katekismus Gereja Katolik (KGK). Aman dalam arti bahwa pembahasan itu pasti akan melalui perspertif Katolik dan tidak akan keluar dari Magisterium Gereja.

Demikian juga saya tidak pernah mengarang apapun. Jadi, tema bisa bermacam-macam tetapi sumbernya satu dan sama yaitu KGK tersebut. Dalam KGK tercantum dan termaktub sumber-sumber iman Katolik, yaitu Kitab Suci dan tradisi suci Gereja. KGK sendiri dalam Gereja katolik sebagai norma yang pasti. Dalam pengantarnya dituliskan bahwa kitab KGK ini merupakan iman yang pasti yang bisa mengajarkan kebenaran iman katolik. Singkatnya saya mengukur pengajaran saya dengan ukuran KGK tersebut. Atau kalau mau dibalik, rumusan yang ada dalam KGK itu saya pakai, saya jelaskan dan untuk menjadi dasar dalam menjelaskan tema-tema tertentu.

Itulah cara memproduksi konten yang berisi iman Katolik, yaitu yang paling penting perspektifnya harus perspektif Katolik. Titik pijaknya tidak bisa tidak, harus KGK, yang diistilahkan sebagai conditio sine qua non, syarat mutlak. Sederhananya, segala konten iman Katolik yang saya buat dan tampilkan, selalu bersumber atau berdasar pada KGK. Saya menampilkan KGK, memberikan komentar, mengupasnya lebih jelas agar mudah dipahami. Mengapa? Karena rumusan KGK itu rumusan teologis yang hanya bisa dibaca oleh orang-orang yang punya latar belakang pendidikan teologi tertentu. Orang pada umumnya mungkin tahu kalimatnya, tetapi pengertiannya belum tentu; dan karna itu memerlukan banyak refrensi.


Lalu siapa yang menentukan atau menunjukkan bahwa produk tertentu itu baik dan keliru misalnya?

Hendaklah dimengerti bersama bahwa yang namanya medsos itu cara kerjanya berbeda dengan iman katolik. Iman katolik itu kalau dalam bentuk buku atau dicetak memerlukan imprimatur, nihil obstat dan lain-lain. Medsos adalah dunia yang siapapun sama, setara di dalamnya, entah profesor teologi, awam biasa, bahkan imam atau pejabat Gereja pun semua punya nilai yang sama dan setara di mata medsos. Jadi dalam hal ini tidak ada yang bisa memberikan nihil obstat atau imprimatur atas konten tersebut, kecuali dengan mengikuti perkembangan media sosial yang ada ini, Gereja institusional membuat keputusan-keputusan tertentu. Umpamanya seorang presbiter sebelum mengunggah kontennya wajib diperiksa oleh siapa misalnya, atau tim tertentu, sama memperlakukan seperti mencetak buku iman Katolik yang di sana ada nihil obstat atau imprimatur tadi.

Bisa saja Gereja institusional itu mengadakan hal itu, namun pertanyaannya siapa yang mau mengerjakan, sejauh apa itu bisa dikerjakan, jangkauannya siapa saja yang nantinya terkena aturan itu. Jika ada yang mau mengerjakan, menjadi penyeleksi tersebut, saya akan sangat senang hati untuk mengikutinya.

Maka dari itu, dengan belum adanya tim penyeleksi tersebut, sejauh ini saya bertanggungjawab sendiri, mempunyai alat ukur sendiri, tetapi sebagai presbiter berusaha sekuat tenaga mendasarkan konten-konten yang dibuat pada ajaran atau ketentuan iman Katolik itu sendiri.


Sejauh mana menilai konten itu salah atau keliru ?

Tentunya bagi para pengguna konten katolik bertanya tentang isi konten, apakah konten itu keliru atau sejalan dengan iman Katolik, apalagi kalau konten tersebut dibuat oleh umat pada umumnya, bukan presbiter. Saya meyakinkan bahwa sebenarnya jika konten itu keliru maka akan mudah dideteksi, karena itu pasti hitam putih sifatnya. Yang lebih repot adalah justru yang tidak keliru tetapi misleading, menyesatkan secara terselubung. Ada banyak konten yang menyebut, menggunakan nama katolik, membuat konten katolik tetapi isinya itu tidak terlalu katolik, bahkan tidak sejalan dengan nilai iman katolik.

Untuk mendeteksi konten tersebut benar atau tidak, meskipun orang katolik kurang pengetahuan (teologi tertentu) namun ia bisa menggunakan intuisi iman yang dimilikinya. Melalui intuisi tersebut ia bisa menimbang-nimbang, kayaknya konten ini benar, kayaknya yang itu salah dan seterusnya.


Bagaimana seharusnya umat atau viewer mengkonsumsi, menggunakan konten tersebut, kriteria apa yang harus digunakan dalam memilih?

Bagaimanapun, semua berpulang dari keinginan masing-masing yang tentu berbeda-beda dalam mengkonsumsi konten. Kalau hanya untuk sekedar menginginkan infotainment religius atau Katolik ya buka saja konten itu dan tidak perlu mengukur apa-apa. Tetapi kalau mau betul-betul mengkaji dan mengetahui iman Katolik tentu harus pilih-pilih. Maka dari itu, pertama, harus dilihat siapa yang berbicara, apakah dia memiliki kompetensi urusan mengajar dan kompetensi urusan iman Katolik atau tidak. Kompetensi seorang presbiter dalam mengajar dibuktikan terutama karena ia ditahbiskan; karena orang yang pernah ditahbisdkan berarti pernah diuji dan akhirnya terbukti kompeten. Ini bukan sekedar cara mengajar, tetapi terlebih ilmunya sudah pernah ia pelajari/dapatkan, bahkan akhirnya ia mempunyai lisensi untuk mengajar umat.

Sederhananya, bisa dikatakan jika yang membuat konten itu pastor/presbiter, maka paling tidak satu langkah sudah aman, walaupun tidak selamanya begitu. Kadangkala ada saja ajaran mereka yang meleset, karena sebenarnya imam/pastor itu bukan bagian magisterium Gereja, tetapi presbiter menyampaikan apa yang dikatakan magisterium. Menurut Gereja Katolik, magisterium itu adalah uskup-uskup seluruh dunia bersama pemimpinnya (Uskup Roma, Paus).

Kedua, ketika memilih konten pakailah intuisi iman tadi. Kecuali bagi umat yang memiliki kemampuan untuk memilih, karena banyak umat yang juga memiliki kemampuan yang cukup, misalnya mengikuti kursus-kursus Kitab Suci, Teologi, terutama di kota-kota besar. Kalau orang yang memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, maka sebenarnya ia memiliki alat ukur sendiri juga. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut, maka bisa dipakai intuisi iman. Di sisi lain, umat katolik memang sering tidak hafal dengan rumusan iman, apalagi Kitab Suci; namun apa yang dia dengar sejak kecil menjadikan suatu endapan-endapan tertentu dalam batinnya, sehingga endapan itulah bisa dipakai untuk merasakan apa yang ia dengar dan lihat, khususnya berkaitan konten-konten ini.

Ketiga, setelah menggunakan penilaian intuitif dan menemukan kekeliruan dalam konten tersebut maka gunakanlah second opinion, yaitu membandingkan dengan konten lain yang membahas tema yang sama. Dengan demikian orang harus mengecek kebenarannya terutama tema-tema yang banyak bersinggungan dengan iman kita. Bersinggungan dalam arti tema-tema yang sama yang juga ada di keyakinan agama lain, tetapi versi atau pespektifnya berbeda, misalnya tema orang mati, akhirat, akhir jaman, surga, neraka, pengadilan dan lain-lain. Second opinion ini juga adalah menanyakan kepada yang lain atau malah kepada ahlinya atau bukunya yaitu Katekismus Gereja Katolik tadi.


Bagaimana dengan konten-konten yang memiliki banyak atau sedikit viewer, like atau subscibe, apakah ini ukuran keberhasilan sebuah konten?

Di dalam media sosial antara like dan subscribe tidak bisa dipakai untuk mengukur suatu konten itu berkualitas. Like dan subscribe terkait dengan sistem algoritma sehingga apa yang disukai oleh algoritma itulah yang dinyatakan bagus. Fakta di Indonesia bahwa konten-konten keagamaan yang disukai masyarakat media adalah konten-konten yang kontroversi, bombastis, fantastis. Saya mengetahui caranya membuat konten seperti itu dan yakin ketika saya buat maka akan berhasil, tetapi ketika itu dibuat saya akan “mengkhianati” tujuan katekese itu sendiri.

Sekarang yang berbahaya bukan “serangan” dari luar, agama lain terhadap iman kita, tetapi justru dari dalam kita sendiri. Bahwa umat harus berhati-hati dengan adanya de-katekese. Saya mencermati sejak pandemi bermunculan berbagai macam kanal/konten katolik yang justru bukan katekese atau membatalkan katekese (dekatekese). Kanal tersebut seolah-olah katekese tetapi sebenarnya bukan katekese, sehingga malah bukan menambah pengetahuan iman, wawasan atau pengertian iman, tetapi menjadikan pemahaman iman ini buram, blur. Seperti kita menata bata satu per satu, tetapi tiba-tiba ada arus besar yang meruntuhkan bata-bata tadi, dan yang meruntuhkan itu warga kita sendiri. Tetapi mau mengatakan bahwa memang ada konten-konten kreator katolik yang dekatekese bahkan yang katolik ekstrem pun ada, walaupun tidak banyak.


Apakah Romo juga mencermati perkembangan terbaru tentang AI, Artificial Inteligence?

AI menurut saya akan sangat membantu di masa depan. Yang paling penting bagaimana kita mengambil kontrol terhadapnya. Sebagai pengetahuan dasar AI mungkin ada gunanya, di mana orang dalam waktu singkat bisa tahu sesuatu tentang iman katolik misalnya, tetapi untuk mengetahui secara mendalam memang tidak ada cara lain selain belajar klasikal seperti dulu. Perlu dimengerti bahwa belajar iman katolik ini kaitannya dengan macam-macam hal, contoh ketika belajar mengenai akhirat, maka mau tidak mau harus juga belajar klasifikasi dosa, indulgensi, orang kudus, belum lagi harus belajar tentang surga, neraka, purgatori; itu semua akan berkaitan.

Yang sekarang bisa didapatkan dari AI itu merupakan puzzle-puzzle kecil yang tidak berkaitan, dan yang bisa hanya sekedar menjawab rasa ingin tahu saja. Namun jika ingin tahu iman katolik dalam bentuknya yang utuh, menurut opini saya harus klasikal, belajar kelas seperti yang dulu, yang butuh ketekunan. Belum lagi terhadap yang ia dengar dan dapatkan tadi orang perlu mengalami proses internalisasi sebelum nantinya bisa di-eksternalisasi atau sebagai spiritualitas orang tersebut. Sebagai pengajar saya berusaha melalui proses internalisasi tersebut, sampai pada saat keluar produknya itu. Jadi saya tidak akan mengeluarkan produk/konten sebelum saya mencerna.

Proses saya menginternalisasi atau mencerna ini bisa jadi menjadi proses nihil obstat atau imprimatur yang disinggung di awal tadi. Terlebih lagi karena saya adalah bagian dari Gereja institusional, mau tidak mau saya bertanggungjawab atas konten saya. Sebagai presbiter, saya me-nihil obstatkan, mengimprimaturkan diri sendiri atas landasan apa yang diajarkan Gereja. Bahkan dalam konten-konten saya berkali-kali terbuka atas koreksi, jika terdapat kesalahan maka sampaikanlah kepada saya, kesalahan yang menurut ajaran Gereja.


Apa yang bisa Romo sharingkan tentang literasi digital ?

Kalau orang tercerahkan bagaimana menggunakan digitalisme, maka ia akan cukup mudah; karena medsos itu dunia yang hanya bisa diambil manfaatnya oleh orang-orang yang tercerahkan secara digital. Secara kasar, kalau kamu tidak mempunyai literasi digital kamu hanya akan menerima dan memakan sampah setiap hari dari dunia digital. Dalam dunia digital antara informasi dan disinformasi bercampur sedemikian rupa dan hampir tidak bisa dipisahkan; berkah dan kutuknya itu menjadi satu. Memang hal ini tidak ada hubungannya dengan iman, tetapi terlebih hubungannya dengan skill bagaimana hidup dalam dunia digital.

Ternyata sekarang ini dunia digital sudah menjadi dunia lain yang tersendiri, terpisah dari dunia kita yang fisik dan materia ini. Kalau di dunia fisik ini kita butuh skill, maka di dunia digitalpun kita juga perlu skill untuk bisa hidup di sana. Maka literasi digital ini perlu ditingkatkan. Ini berlaku untuk segala konten, baik iman, konten ekonomi, sosial dan sebagainya, karena dalam digitalisme ini yang terjadi adalah pertarungan nilai. Siapa bernilai, dialah yang akan merebut perhatian.***

deBritto