Membangun Pendidikan Iman dalam Keluarga: Transversalitas, Sinodalitas dan Kontinuitas

Dalam sebuah perjumpaan ketika menjadi narasumber acara Komisi Keluarga Keuskupan Bandung (18/6), Redaksi Komunikasi berbincang, berwawancara dengan Pastor Yohanes Aristanto Heri Setiawan MSF, Sekretaris Komisi Keluarga (Komkel) KWI terkait tema pendampingan dan pendidikan iman dalam keluarga. Berikut beberapa buah konsep pendidikan iman dalam keluarga dari Pastor Aristanto yang berhasil diringkas oleh Tim Redaksi.

 

Pendidikan pendampingan iman dalam keluarga itu berbeda-beda dalam konteks, ada yang sangat modern dan ada yang sangat tradisional. Yang modern saat ini kita masuk dalam generasi society 5.0 di mana teknologi informasi (IT) itu menjadi hal yang sangat diagungkan yang kemudian sangat berpengaruh dalam pola pendidikan anak. Pola pendidian anak menjadi terfokus pada survival anak dalam teknologi yang sangat kontekstual ini. Sementara itu di daerah-daerah masih terjadi perjumpaan dan aktivitas fisik anak-anak yang misalnya mereka masih aktif pergi ke gereja dan bermain secara fisik dalam lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia ini ada konteks-konteks yang berbeda, yang variatif, yaitu yang dipengaruhi oleh society 5.0 dan dipengaruhi oleh tradisi. Dan secara khusus, pengaruh modern tersebut terutama, tentunya menjadikan konteks pendidikan iman ini semakin kompleks.

Poin yang harus dingat bahwa konteks pendidikan iman ini adalah pasutri yang betul-betul beriman, ayah dan ibu yang beriman. Pendidikan iman itu ambient pertamanya adalah keluarga, kemudian lingkungan yaitu keluarga, keluarga besar dan alam sekitar, sekolah dan barulah masyarakat. Hal ini mau mengatakan bahwa base-nya itu memang adalah keluarga. Pendidikan iman dalam keluarga itu mengandaikan adanya partisipasi yang terus terjadi, yaitu bagaimana anak-anak “melihat” orangtua, kemudian orangtua melibatkan anak-anak, dan anak-anak terlibat dengan sendirinya dalam pendampingan terhadap mereka sendiri, serta akhirnya terjadi kebersamaan keterlibatan.

Berbicara bagaimana pendidikan iman dalam keluarga saat ini, Pastor Aristanto mengaku sangat prihatin. Pertama, karena perkawinan katolik itu kebanyakan kesannya dijalani biasa saja, sehingga pendampingan keluarga hanya tergantung pada kebiasaan keluarga, misalnya hanya dengan doa dan misa, pelajaran katekese yang hanya sekedar menjawab apa yang ditanyakan anak. Artinya pendidikan iman itu tidak cukup hanya dengan doa dan misa. Oleh karena itu, sejak dari awal keluarga ini harus dibentuk menjadi keluarga yang memiliki pola hidup beriman dan ini menjadi dasar dan kuncinya. Kedua, peran ayah dan ibu sebagai orang tua yang harus bisa menjadi teladan hidup beriman (catholic parent image) di mana katolisitasnya itu nampak dalam diri mereka. Dalam hal ini orang tua memberikan pelajaran kehidupan, terdapat obrolan anak dan orangtua tentang makna iman. Banyak orangtua yang tidak mengerti akan hal ini karena kecenderungan untuk menyerahkan hal itu pada katekis atau guru agama. Maka dalam hal ini perlu diadakan katekese keluarga, yaitu katekese yang berbasis keluarga yang bertujuan agar orangtua dapat meneruskan iman kepada anak. Katekese keluarga ini memungkinkan suatu keluarga untuk bertumbuh dalam iman dan memungkinkan orang tua memiliki pengetahuan iman.

Terkait katekese keluarga ini Pastor Aris menambahkan dan mengingatkan bahwa iman itu ada empat faktor penting, pertama, lex credendi yaitu bagaimana bersama keluarga anak-anak dapat memahami apa yang diimani. Kedua, lex sacramenti, bagaimana mendekatkan anak-anak dan terlibat dalam sakramen, misalnya dengan mengajak ke gereja sejak usia dini untuk ekaristi dan mengalami sakramen-sakramen yang lain. Ketiga, lex vivendi, bagaimana keluarga beriman itu dihidupi dalam situasi konkret, misalnya soal kejujuran, keutamaan kristiani, sikap hormat terhadap orang lain dll. Keempat, lex orandi, bagaimana menghayati hidup doa dalam keluarga, di mana itu harus dibiasakan sejak anak-anak masih kecil. Faktor-faktor utama ini harus dibina dan difokuskan sejak kecil, yaitu pada keluarga-keluarga muda, saat mengawali hidup berkeluarga dengan anak-anaknya yang masih kecil.

Tanggung jawab pendidikan iman anak dalam keluarga itu ada pada orangtuanya. Pendidikan iman itu dibentuk dalam suasana Katolik dengan penghayatan bersama para pasangan suami isteri untuk membangun kebiasaan dalam empat pilar yang disebutkan tadi. Dalam pembiasaan itu, muncullah pengajaran iman yang perlu diberikan di Gereja, dalam hal ini masih belum tersedia materi ajarnya, biasanya hanya di sekolah-sekolah. Untuk itu perlu dibuat kurikulum sekolah Kitab Suci atau sekolah katekese dengan peserta yang tidak perlu terlalu banyak, seperti Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP). Berkaitan dengan materi, sebagai usulan misalnya: apa makna tanda salib, agar anak-anak terbiasa untuk menjawab dan mempertanggungjawabkan imannya (katekese apologetik). Sebagai usulan, para orangtua diajarkan katekese, agar mereka mendapatkan bekal memadai berkaitan dengan iman Katolik. Sebagai contoh, Pastor Aristanto mengisahkan pengalaman saat ia masih kecil saat bapaknya mengisahkan tokoh-tokoh Kitab Suci dan santo santa. Kisah-kisah tersebut menyenangkan dan masih teringat hingga sekarang.

Materi katekese dapat dimulai pada usia SD, sedangkan bekal untuk anak-anak play group dan Taman Kanak-kanak dapat menggunakan sarana Bina Iman Anak. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam mem-format umat adalah semangat transversalitas (lintas bidang), sinodalitas (berjalan bersama dengan komunitas lain) dan kontinuitas (berkesinambungan).***                                                          

deBritto, Eddy