Memikul Salib Misi Hingga Pedalaman Amazon – (Kisah P. Yanto Naben, SVD) Amorpost.com– Ada sesuatu yang selalu menemani perjalanan misi saya di pedaaman Amazon, Brasil. Saya tidak pernah melupakannya. Saya selalu membawanya ke mana pun pergi. Saya selalu merasa nyaman dan aman bersamanya.
Sesuatu itu adalah salib misi. Salib msi itu saya terima sebagaai tanda perutusan saya sebagai misionaris SVD ke Brasil pada Desember 2009 silam. Sejak saat itu, salib misi itu selalu menemani perjalanan misi saya.
Misi di pdalaman amazona adalah sebuah salib. Medannya lumayan menantang. Umat tinggal secara sporadis di berbagai komunitas sepanjang aliran sungai atau pinggiran danau. Butuh waktu yang lumayan lama untuk bisa sampai di tempat di mana mereka tinggal. Perjalanan menuju komunitas pun tidak selalu mulus.
Perjalanan bisa saja terhambat karena tumbuhan eceng gondok ataupun rerumputan yang memenuhi aliran sungai atau danau. Laju perahu jadi pelan. Baling-baling perahu pun bisa terlilit rerumputan atau bahkan rusak kalau menabrak potongan kayu.
Pertengahan April 2018 lalu bersama Bacurai, nakhoda kapal, dan Saba sang masinis, saya berkunjung ke stasi Pelado. Kurang lebih dua belas jam perjalanan dengan kapal misi kami dari Humaitá. Makanya pagi-pagi sekali kami sudah bertolak.
Setelah menyusur Sungai Madeira, kami pun mengarungi danau Antonio. Danau ini bentuknya memanjang. Ada bagian yang lebar badan danaunya dan ada bagian yang sempit, hampir menyerupai aliran sungai. Bagian yang sempit inilah yang sering menimbulkan masalah karena banyaknya eceng gondok dan rerumputan.
Beruntung kami punya seorang nakhoda kapal yang terampil seperti Bacurau. Dia pandai mencari celah untuk melewatkan kapal kecil kami. Kalau dirasakan bahwa laju kapal mulai melambat, itu karena ada rerumputan yang melilit baling-baling.
Tidak jarang ia harus memaju-mundurkan kapal untuk mendorong eceng gondok dan membuka jalan. Sesekali dia berdiskusi dengan Saba mencari jalan keluar bersama. Kata dia, baru kali ini banyak sekali eceng gondok dan rerumputan.
Sepanjang perjalanan ini saya memilih diam karena sedikit tegang dan cemas. Hampir saja saya bilang supaya kami berhenti saja di stasi terdekat. Bacurau tidak menyerah. Dia terus mencari jalan keluar hingga akhirnya dia berkata senang bahwa kami sudah hampir tiba di tujuan. Saya pun lega. Kami berhasil menaklukkan rintangan alam demi umat yang sudah menanti kunjungan misioner kami.
Esoknya ketika kembali dari stasi itu, kami tetap berjuang keras menerobos eceng gondok dan rerumputan untuk bisa melanjutkan kunjungan.
Rintangan alam serupa kembali kami alami ketika berkunjung ke komunitas Piraíba. Stasi ini juga terletak di tepi sebuah danau Piraíba. Untuk mencapainya kami haus melewati sungai Piraiba yang menghubungkan danau itu dengan sungai Madeira. Saya berkunjung ke sana hanya bersama Bacurau dengan menggunakan voadeira. Kapal kami tambatkan di muara sungai Piraiba.
Awalnya perjalanan kami lancar. Di pertengahan barulah kami dihadang eceng gondok dan rerumputan. Di beberapa titik, kami terpaksa menggunakan dayung untuk membuka lebatnya rerumputan yang memenuhi badan sungai.
Beberapa kali Bacurau harus mematikan motor voadeira untuk bisa membersihkan baling-baling dari lilitan rerumputan. Juga ada saat ketika Bacurau harus melajukan voadeira dengan pelan karena banyaknya potongan kayu yang bisa merusak baling-baling. Butuh waktu satu setengah jam untuk bisa mencapai stasi ini. Maka selepas merayakan ekaristi kami langsung pamita untuk kembali ke kapal.
Kesulitan besar kami alami ketika kembali dari kunjungan ini. Ada dua titik yang begitu rapat eceng gondok dan rerumputannya. Keadaan itu jauh berbeda ketika kami lewat sebelumnya. Itu karena angin bertiup searah perjalanan kami sehingga membuat eceng gondok dan rerumputan yang mengapung bergerak menutupi jalur jalan yang kami lewati sebelumnya.
“Tidak ada pilihan lain. Kita harus pakai dayung,” kata Bacurau selepas mematikan mesin motor. Ia meraih sebuah dayung dan menuju bagian depan voadeira. Satu dayung lagi diberikan kepada saya.
“Saya akan mendorong rerumputan ini dan Padre mendayung ke depan,” kata Bacurau lagi.
Saya terdiam sejenak. Sambil memandang Bacurau, saya berkata bingung, “Saya tidak tahu mendayung. Apa yang harus saya buat?” Memang, seumur hidup baru kali itu saya memegang dayung untuk medayung.
Bacurau hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pokoknya tidka ada pilihan lain untuk bisa keluar dari sini!”
Dia mulai mendorrong rerumputan itu ke samping untuk membuka jalan. Saya coba berdiri untuk mendayung. Kuatnya dorongan Bacurau membuat saya limbung. Nyaris saya terjatuh. “Dayung terus, Padre!” perintah Bacurau. Saya mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya untuk mendayung. Tidak gampang mendayung di tengah padatnya rerumputan yang mengapung.
Bacurau sudah mulai kelelahan. Tenaganya habis terkuras mendorong rerumputan untuk membuka jalan. Saya membantu dia sebisa mungkin. Sekian menit bekerja keras, kami pun berhasil keluar hadangan pertama ini dan melanjutkan perjalanan. Di titik berikutnya kami bekerja keras lagi untuk membuka padaatnya rerumputan yang memenuhi badan sungai. Berhasil. Kami bisa melanjutkan perjalanan.
Di sisa perjalanan saya lebih banyak diam. Bacurau terus melajukan voadeira dengan konsentrasi yang sama. “Kenapa diam Padre? Kenapa tidak bikin foto dan vídeo lagi? Capek ya,” tanya dia sambil tertawa kecil.
Saya hanya mengangkat jempol dan memiringkan ke bawa untuk mengiyakan kata-kata dia. Perjalanan kali ini memang melelahkan. Meskipun demikian, saya tetap menikmatinya.
Perjalanan berikutnya dengan harus melewati rintangan yang sama adalah ketika kami berkunjung ke stasi São Francisco di tepian danau Três Casas. Untuk ke sana kami ditemani oleh Evandro dan Diego dari stasi São Paulo sebagai penunjuk jalan. Diego yang duduk di belakang kemudi rabeta. Di bagian depan duduk Evandro. Saya dan Bacurau duduk di bagian tengah.
Perjalanan dari São Paulu menuju São Francisco terbilang lancar. Kami memang melewati pinggiran danau yang dipenuhi eceng gondok. Tapi kami masih bisa lewat dengan lancar tanpa hadangan yang berarti. Persoalan muncul ketika kembali dari sana. Angin yang bertiup searah perjalanan kami membuat jalan yang kami lalui sebelumnya tertutup oleh rapatnya eceng gondok.
Beruntung ada dua orang yang menemani perjalanan kami maka rintangan ini bisa kami taklukkan. Di bagian depan Evandro mendayung dengan tenang. Sesekali dia harus menebas dengan menggunakan parang. Bacurau membantu mendorong rabeta dengan sepotong kayu. Dieto tetap di belakang mengendalikan kemudi rabeta. Kami pun berhasil melewati tantangan ini.
Kemudian saya pun berpikir, apa jadinya misi saya seandainya Bacurau dan orang-orang itu tidak membantu saya? Sesungguhnya mereka membantu memikul salib misi saya. Mereka juga misionaris. Bersama mereka, salib misi saya terasa ringan. Saya memang memikul salib misi ini hingga pedalaman Amazon. Tetapi saya tidak sendirian. Ada sekian banyak orang yang membantu saya.
Saya teringat salib misiku. Sampai kapan pun salib ini akan terus menemaniku. Terima kasih SVD yang memberiku salib misi ini. Terima kasih Bacurau dan semua yang sudah membantu memikul salib misiku.*