Komunio, Partisipasi, Misi
Menengok Hiruk-Pikuk Sinode dari Roma
Rm. Thomas Kristiatmo
Inspirasi
Tiga tahun yang lalu, saya menyarikan sebuah dokumen dari Komisi Teologi Vatikan yang bertajuk La sinodalità nella vita e nella missione della Chiesa, Sinodalitas dalam Hidup dan Misi Gereja. Tulisan intisari dokumen tersebut dimuat dalam tiga terbitan Majalah Komunikasi di pertengahan tahun 2018. Tulisan berisi ikhtisar gagasan teologis perihal sinode. Manakala beberapa pekan lalu saya diminta untuk menulis tentang sinode para uskup yang prosesnya berlangsung pada 2021-2023, yang terlintas di pikiran ialah bagaimana kali ini saya mencoba melihat sinode bukan dari kerangka teologis melainkan pertama-tama dari kacamata mereka yang secara langsung maupun tak langsung terlibat dalam prosesnya di Vatikan. Lalu, muncullah nama dua orang romo Jesuit yang beberapa tahun belakangan ini dekat dan banyak berkomunikasi dengan saya: Romo Gerard Whelan SJ dan Romo James Hanvey SJ. Rm. Whelan ini dosen dan ketua jurusan Teologi Fundamental di Universitas Kepausan Gregoriana; Rm. Hanvey duduk di komisi spiritualitas di sekretariat jendral untuk sinode para uskup 2021-2023.
Keduanya kiranya cukup representatif untuk menyampaikan sejumlah pandangan perihal sinode karena kedekatan mereka dengan proses yang sedang terjadi. Rm. Whelan banyak memberi kontribusi tak langsung lewat aneka diskursus teologis pada tingkat akademis. Rm. Hanvey tentu saja keterlibatannya lebih «langsung» lantaran ia duduk di salah satu komisi sinode. Bahkan, sembari bercanda, dia menyebut bahwa keterlibatan langsung ini ditampakkan juga dengan kedekatan tempat tinggal. Beliau tinggal di generalat Serikat Yesus (SJ) yang hanya berjarak 200 meter dari sekretariat sinode para uskup. Dalam tulisan kali ini, saya mengusung tema sinode para uskup dengan mengambil inspirasi dari obrolan baik secara langsung maupun sejumlah korespondensi elektronik yang saya jalin dengan mereka berdua. Tentu saja dasar alkitabiyah dan dokumen juga akan mewarnai tulisan ini.
Latar-Belakang
Paus Paulus VI mulai mengembangkan gagasan perihal sinode para uskup di tahun 1965, tepat sesudah berakhirnya Konsili Vatikan II. Sejak saat itu pula sinode episkopal tumbuh menjadi sesuatu yang wajar untuk dilaksanakan. Berdasarkan Christus Dominus (CD), dekrit Konsili Vatikan II tentang tugas penggembalaan uskup dalam Gereja, disebutkan bahwa dari antara para uskup di seluruh dunia, ada yang dipilih oleh Paus -melalui tata-cara tertentu- untuk bersama- sama membentuk sebuah badan yang bernama sinode para uskup, yang tugasnya ialah membantu Paus dalam karya penggembalaan Gereja universal secara bersama-sama (CD 5). Selama hampir
60 tahun, sinode telah menjadi ekspresi nyata gagasan mengenai kolegialitas sebagaimana terumus dalam Konsili Vatikan II, terutama dalam konstitusi dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium (LG). Berkumpul cum et sub Petro (bersama dan dalam kepemimpinan Petrus), sinode episkopal ini telah merefleksikan aneka tema yang penting dalam Gereja: Perkawinan dan Hidup Keluarga (2014-2015), Kaum Muda, Iman, dan Pemilihan Panggilan (2018), dan Sinode untuk Amazon (2019). Sinode yang berikutnya (berpuncak pada 2023) akan membahas tentang sinode itu sendiri.
Proses sinode dimaksudkan untuk menjaga kesetimbangan antara kolegialitas episkopal dengan pelayanan kegembalaan Paus. Isu relasi antara kolegialitas para uskup dan Paus ini adalah hal sensitif yang sudah dirembug dalam Konsili Vatikan II dan dalam Lumen Gentium kita bisa melihat betapa menjaga kesetimbangan di antara keduanya sungguh tidak mudah. Biasanya, sinode para uskup sedunia itu akan mempresentasikan kepada Paus apa yang telah mereka diskusikan. Kendati yang namanya sinode ini beranggotakan para uskup, tak tertutup kemungkinan bahwa mereka akan meminta kontribusi dari pihak para ahli atau perwakilan dari kelompok tertentu yang dianggap memiliki kapasitas memadai untuk memberi pencerahan pada tema-tema yang dibahas. Kemudian, Paus akan mengolah lebih lanjut dan menuliskan sejumlah arahan dalam bentuk dokumen. Namun demikian, perlu diingat bahwa penerbitan dokumen bukanlah tujuan akhir dari proses sinode.
Sejak Konsili Vatikan II, adanya sinode para uskup yang mengadakan pertemuan secara berkala ini telah mengundang diskusi lebih mendalam mengenai hakikat sinode itu sendiri. Dokumen yang dikeluarkan oleh Komisi Teologi Vatikan menjadi contoh jelas betapa belakangan in isu mengenai sinodalitas dalam Gereja itu mengemuka. Bahkan, dalam sudah sejak Dokumen Ravenna 2007, telah ada diskusi mendalam antara Gereja Katolik Roma dengan Gereja Ortodoks yang mengarah pada pentingnya sinodalitas dalam eklesiologi.
Pokok-Pokok Gagasan Sinodalitas
Sejak awal masa pontifikatnya, Paus Fransiskus melihat pentingnya membangun gereja yang sungguh-sungguh sinodal. Selain karena dorongan dari Konsili Vatikan II, bagi Paus asal Argentina ini, sinodalitas itu juga penting terutama untuk misi Gereja. Gereja yang demikian ialah Gereja yang mengikuti Kristus yang bangkit dalam karya pelayanan kasih penyelamatan terutama kepada mereka yang terluka dan lemah dalam dunia.
Sinodalitas ialah jalan untuk mengejawantahkan aneka kurnia Roh Kudus melalui karya misi sekaligus cara untuk menyembuhkan luka-luka di dalam Gereja itu sendiri. Semakin Gereja mampu menghidupi sinodalitas, semakin pula ia mampu menjadi tanda solidaritas untuk semakin banyak orang, termasuk menjadi semakin memiliki kepedulian ekologis. Gagasan ini tentu bukan sekadar mengawang-awang. Ini gagasan yang tumbuh dari iman pada Kristus, yang mengorbankan diri agar kehidupan tetap lestari. Gereja sungguh sadar bahwa segenap umat manusia tak akan mampu mencapai tujuan yang dikehendaki Allah tanpa ada kerjasama dengan rahmat Allah.
Sinodalitas bukanlah sekadar salah satu cara untuk mengorganisasi Gereja secara lebih efisien berdasarkan konsultasi dengan banyak pihak dan tata-kelola yang baik, melainkan adalah ekspresi dari eksistensi dan misi Gereja yang berdasarkan pada misteri Tritunggal Mahakudus. Sinodalitas itu ujung-ujungnya akan merujuk pada gagasan «communio» segenap ciptaan, yang tak akan pernah bisa terjadi tanpa «communio» di antara segenap umat manusia. Pada saatnya nanti, Kristuslah yang akan menyatukan semua dan menjaga kesatuan tersebut (bdk. Ef. 1:10).
Dalam pada itu, gagasan dari seorang teolog asal Kanada, Bernard Lonergan, akan membantu mencerahkan proses Gereja menghidupi sinodalitas. Bagi Lonergan, Gereja itu terbentuk berdasarkan komunikasi diri Allah dalam sejarah, yaitu melalui peristiwa inkarnasi. Sesudah terbentuk secara konkrit, Gereja terus-menerus membentuk dirinya (self-constitution) dengan cara tiada hentinya menciptakan makna bersama (common meanings) di antara para anggota yang kemudian juga dibawa keluar kepada segenap umat manusia. Proses yang demikian mengandaikan para anggotanya memiliki keterbukaan pada Allah yang berkarya dalam dinamika hidup pribadi yang mendalam dan terus-menerus bergerak berdasarkan dorongan Roh Kudus yang membuat manusia terus ingin mengetahui dan terus mengkritisi situasi diri sendiri dan dunianya. Proses itu terjadi dalam tahap-tahap kesadaran manusia yang bertingkat: tahap mengalami, tahap mengerti, tahap memutuskan, dan tahap melaksakanan. Pada tahap pengalaman, orang diajak untuk peka pada apa yang dirasakan pada pada tingkat eksternal maupun desir-desir kedalaman batin diri sendiri. Pada tahap pengertian, orang diundang untuk berani membuka diri pada aneka gagasan untuk bisa mendudukkan secara jernih apa yang telah dialami pada tingkat pengalaman. Pada tahap memutuskan, orang ditantang untuk berani menyatakan sesuatu itu benar atau salah. Akhirnya, orang mesti bertanggung-jawab untuk mengejawantahkan dalam peri-hidup apa yang telah direnungkan dalam ketiga langkah sebelumnya.
Spiritualitas Sinodal
Proses sinodal mengajak kita semua untuk masuk pada dinamika pertobatan: keberanian untuk mengikuti dorongan Roh Kudus yang hidup dalam diri kita masing-masing dan dalam komunitas Gereja. Dorongan Roh Kudus seringkali tak sama dengan agenda yang diusung oleh masing- masing pihak. Dorongan Roh Kudus seringkali menantang kita untuk berlapang-dada menerima bahwa usul yang kita sampaikan ternyata bukan kehendak Allah. Proses sinode panjang yang sedang dijalankan oleh Vatikan dan diharapkan menyentuh segenap lapisan Gereja bukan hanya menyangkut perkembangan dan perubahan di dalam Gereja melainkan menyangkut upaya agar Gereja semakin otentik, semakin hidup sesuai dengan panggilannya sebagai mempelai Kristus.
Penekanan Paus Fransiskus pada perlunya sinode yang melibatkan segenap anggora Gereja bukan sekedar preferensi personal. Penekanan ini sealur dengan tradisi teologi terutama yang terbangun sejak Konsili Vatikan II. Paus Fransiskus menyadari bahwa pertama-tama gerak sinode adalah gerak Roh Kudus sendiri, yang secara eksplisit aktif dalam diri segenap anggota Gereja. Adalah tugas dari para pejabat Gereja untuk terus bertumbuh dalam kerendahan hati dan mau memberi ruang pada kebebasan hembusan nafas Roh Kudus. Karena itulah, Paus sangat menekankan pentingnya sensus fidelium, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai segenap gagasan dan cita-rasa semua umat sejauh mereka menghidupi dinamika imannya. Salah satu dasar gagasan ini bisa kita temukan dalam Lumen Gentium 12 yang menyatakan bahwa keseluruhan kaum beriman yang telah diurapi oleh Roh Kudus (bdk. 1 Yoh. 2: 20.27) tidak akan sesat dalam beriman manakala semuanya -mulai dari uskup sampai ke seluruh umat- bersepakat untuk perkara-perkara iman dan moral bedasarkan sensus fidelium yang ada dalam diri masing-masing.
Sungguh mendasarlah untuk selalu ingat bahwa kendatipun LG menyebut demikian, proses sinodalitas tidak sama dengan proses berdemokrasi dalam dunia politik, dimana segalanya diputuskan melalui suara terbanyak, yang belakangan kita saksikan ternyata suara terbanyak itu bisa dimanipulasi secara licik dengan bantuan aneka media sosial yang mengombang-ambingkan gagasan orang sehingga khalayak ramai bisa terbodohi oleh aneka berita sesat demi kepentingan politik pihak tertentu. Proses bersinode membutuhkan kapasitas berdialog: keberanian untuk ber- discernment (membedakan dan menegaskan gerak Roh Kudus) bersama. LG 12 memberikan arahan yang cukup tegas. Pertama, ada anugerah untuk bisa ber-discernment yang diberikan kepada segenap anggota Gereja. Kedua, dalam proses itu diperlukan adanya kesepakatan bersama. Ketiga, dalam proses menuju kesepakatan perlulah ada dinamika tegangan yang kreatif dan sehat di antara mereka yang mempunyai kuasa mengajar dan memimpin (magisterium berikut segenap kaum tertahbis) dan segenap umat beriman tak tertahbis. Keempat, proses ber- discernment bersama mesti ditempatkan dalam tradisi apostolik dan kesaksian bersama sebagai satu Gereja. Kelima, proses ini akan menjadi sebuah dinamika yang menjadikan Gereja semakin setia pada identitasnya: objektif sekaligus historis dan peka zaman.
Dalam kerangka pemahaman yang demikian, proses sinode para uskup yang tengah berlangsung menjadi tanda adanya komunio, partisipasi, dan misi Gereja. Komunio terjalin karena seluruh pihak terlibat dalam prosesnya sebagai sesama kaum yang ditandai oleh sensus fidelium yang sama. Partisipasi ditunjukkan dalam kerelaan untuk memberi sumbangsih dalam menyuarakan keprihatinan secara tulus. Manakala keduanya terjadi, Gereja akan semakin punya pijakan kokoh melanjutkan misinya: menjadi tanda penebusan dan terus-menerus mengejawantahkan proses penebusan yang nyata dalam sejarah.
Proses Sinode
Secara konkrit, sinode para uskup kali ini berjalan dalam sejumlah tahap. Dalam petunjuk pelaksanaan yang disampaikan oleh sekretariat jendral sinode para uskup, disebutkan dengan jelas bahwa yang pertama-tama disasar bukanlah penerbitan dokumen di penghujung sinode nanti melainkan segenap proses yang berjalan selama 2021-2003. Secara ringkas, proses yang terjadi bisa dirumuskan sebagai berikut.
Sekretariat jendral, yang diketuai oleh Cardinal Mario Grech, berdasarkan aneka konsultasi dengan banyak pihak, menerbitkan dokumen persiapan (preparatory document) dan petunjuk pelaksanaan (vademecum) pada bulan September 2021. Keduanya digunakan sebagai untuk semua keuskupan: proses bersinode pada tingkat keuskupan, mendengarkan aneka sukacita dan kegelisahan yang konkret terjadi di kalangan umat. Setelah dokumen itu diedarkan selama satu bulan, pada Oktober 2021, diadakanlah pembukaan proses sinode di Roma dan diharapkan juga di tiap-tiap keuskupan di seluruh dunia. Di bulan April 2022, diharapkan sudah ada aneka masukan dari seluruh keuskupan di seluruh dunia dan bahan itu bisa diolah menjadi sintesis. Sekretariat jendral, pada September 2022, berdasarkan sintesis yang ada, akan menerbitkan Instrumentum Laboris 1, yaitu bahan untuk dibicarakan lebih lanjut pada tingkat benua. Diharapkan proses tingkat benua bisa dijalankan sebelum bulan Maret 2023. Berdasarkan pertemuan para uskup di masing-masing benua akan diterbitkanlah, pada Juni 2023, Instrumentum Laboris 2, yang hendak digunakan sebagai bahan sinode para uskup sedunia. Sinodenya sendiri akan berlangsung pada Oktober 2023.