Nikah Beda Agama: Menyesal Seumur Hidup?


Pertanyaan

Romo Postinus, perkenankan saya untuk bertanya terkait anulasi pernikahan. Saya seorang Katolik dan istri adalah seorang Muslim. Sebelum kami memutuskan menikah secara Katolik, istri sudah hamil 4 bulan. Namun, maaf saya tidak menyampaikan hal tersebut saat penyelidikan kanonik dengan Romo Paroki. Akhir-akhir ini di antara kami sering terjadi perselisihan dan kami sudah pisah rumah sejak 3 bulan yang lalu. Beberapa kali istri menyampaikan bahwa ia terpaksa untuk melakukan pernikahan secara Katolik. 

Romo, saya sudah melakukan semua usaha yang saya bisa, agar kehidupan perkawinan kami membaik kembali. Saya sudah bawakan dalam doa, mengajak istri berunding, berkomunikasi dengan mertua, dan lain sebagainya, namun hasilnya nihil semua. Komunikasi kami juga menjadi satu arah, hanya dari saya. Bahkan untuk bertemu anak saja menjadi sangat susah. Romo, saya sudah putus asa dan menyerah. Saya menyesal seumur hidup bahwa saya menikah beda agama. Dulu, saya kurang mempertimbangkan banyak hal. Terkait pernikahan kami ini, pihak keluarga istri selalu menyampaikan ajaran dari sudut pandang Islam, yang saya sangat tidak mengerti. Romo, pertanyaan saya: Pertama, apakah pernikahan kami ini bisa dianulasi? Kedua, apakah keterpaksaan istri untuk menikah secara Katolik menjadi alasan anulasi? Ketiga, apakah saya mengajukan perceraian sipil terlebih dahulu sehingga gampang mengajukan anulasi? Atau saya menunggu saja istri yang berinisiatif untuk menceraikan saya secara sipil? Semoga Romo Postinus berkenan memberikan tanggapan terhadap kasus perkawinan kami ini. Terima kasih Romo. 

Dari Bapak FH (melalui direct message akun Twitter)

Jawaban

Bapak FH yang baik, saya bisa merasakan betapa hancurnya hati Bapak atas kasus perkawinan ini. Sejak membaca kisah perkawinan Bapak FH dengan istri, beberapa kali saya mendoakan Bapak FH dalam intensi Misa yang saya pimpin. Kita mengimani kuasa Tuhan bekerja dalam setiap pengalaman kita. Harapan dan iman semacam ini yang dapat menguatkan kita, saat menghadapi pengalaman pahit.

Biasanya, sebelum memberikan tanggapan atas sebuah kasus perkawinan, saya membutuhkan informasi yang memadai dan berimbang dari berbagai pihak. Oleh karena itu, atas kasus ini pun sebenarnya perlu didalami informasi lain dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Namun demikian, baiklah saya memberikan tanggapan, sekaligus berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan Bapak FH.

Perkawinan Dibentuk Seumur Hidup

Seorang Katolik yang menikah dengan seorang Islam termasuk menikah beda agama. Jadi, perkawinan beda agama itu merupakan perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan seorang non-baptis (seperti Islam, Buddha, Hindu, Konghucu). Dalam kasus ini, Bapak FH menikah beda agama dengan istrinya yang beragama Muslim. Rupanya mereka sudah mendapatkan dispensasi nikah beda agama sebelum menikah secara Katolik. Oleh karena itu, keduanya menikah sah secara Katolik.

Perlu dicermati bahwa perkawinan beda agama tidak termasuk sebagai sakramen. Sebab, salah satu di antara pasangan, tidak dibaptis. Sementara perkawinan di antara orang yang telah dibaptis merupakan sakramen. Perkawinan sah di antara yang dibaptis dan telah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum), hanya kematian yang memisahkan keduanya (bdk. Kanon 1141; Mat 19: 5-6; Mark. 10: 7-9). Dengan kata lain, tidak ada kuasa manusia mana pun yang dapat memutus ikatan perkawinan mereka.

Diputus Ikatan Nikah?

Gereja Katolik membuka kemungkinan bahwa Tahta Suci dapat memutus ikatan perkawinan (dissolutio vinculi) beda agama yang dilangsungkan sah dan sudah consummatum (bersetubuh)Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. Pertama, terjadi konflik besar di antara keduanya secara terus-menerus. Kedua, perkawinan telah bubar. Dalam arti sudah berpisah dan bahkan cerai sipil. Ketiga, penyebab bubarnya perkawinan adalah pihak yang tidak dibaptis. Keempat, pihak yang tidak dibaptis tetap tidak dibaptis sebelum, selama perkawinan, dan setelah perceraian sipil.

Dasar hukum pemutusan ikatan nikah semacam ini adalah Instruksi “Potestas Ecclesiae”, yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman pada 30 April 2001. Otoritas yang memutus adalah Tahta Suci, yakni Bapak Paus melalui Dikasteri untuk Ajaran Iman. Paus memutus ikatan perkawinan demi iman pihak Katolik (dissolutio in favorem fidei). Dalam proses pembuktian kasus, ada dua hal penting yang mesti dibuktikan. Pertama, penyebab bubarnya perkawinan adalah pihak tidak dibaptis. Kedua, pihak yang tidak dibaptis tetap tidak dibaptis sebelum, selama perkawinan dan setelah perceraian sipil.

Namun demikian, prosesnya sangat panjang dan tentu juga lama. Surat gugat (libellus) harus ditujukan kepada Bapak Paus di Roma melalui Tribunal Keuskupan. Ada dua tahap untuk memproses kasus semacam ini. Tahap pertama: di Tribunal Keuskupan. Di sini, hakim Tribunal melakukan pengumpulan bukti-bukti, memanggil pihak-pihak terkait, menghimpun berbagai informasi, votum (pernyataan) Uskup, dan pendapat Defensor Vinculi (Pembela Ikatan Perkawinan). Tahap kedua: di Tahta Suci. Pada tahap ini, terjadi proses diskusi di antara hakim. Jika ada hal-hal yang diragukan, mereka akan menghubungi hakim Tribunal Keuskupan. Setelah hakim memperoleh kapastian moral (bdk. Kanon 1608), barulah mengeluarkan putusan: menerima permohonan pemutusan ikatan nikah atau menolaknya.

Dalam kasus ini, apakah terbukti bahwa istri Bapak FH yang notabene beragama Islam yang menjadi penyebab dominan bubarnya perkawinan? Apakah pihak non-baptis ini juga terbukti tidak pernah menerima baptisan, baik sebelum, selama menikah maupun setelah perceraian sipil? Ini yang perlu ditelusuri.

 Bisakah Dianulasi?

Kita perlu memahami secara benar tentang anulasi perkawinan. Anulasi perkawinan adalah pembatalan perkawinan yang sejak semula tidak sah (void ab initio). Artinya, sebelum menikah ada hal yang membuat perkawinan tidak sah. Penyebab perkawinan tidak sah, yakni: a) terkena salah satu halangan nikah; b) cacat kesepakatan nikah dan c) cacat bentuk perayaan perkawinan secara kanonik (forma canonica). Apakah hamil di luar nikah menjadi penyebab perkawinan tidak sah? Jawaban: belum tentu. Jika karena hamil di luar nikah membuat saudara atau orangtua perempuan ini memaksa untuk menikah, barulah menjadi pertimbangan sebagai landasan anulasi.

Apakah keterpaksaan istri menikah secara Katolik bisa menjadi landasan anulasi? Dalam ajaran Gereja Katolik, ‘terpaksa’ itu tidak sama dengan ‘merasa tidak enak, atau merasa sungkan, atau merasa malu karena telah hamil’. Tidak demikian. Ini semua berasal dari dalam (internal). Terpaksa yang menyebabkan kesepakatan cacat hanyalah keadaan terpaksa yang berasal dari luar dirinya.

Penjelasan yang memadai terkait “terpaksa” ini dapat kita temukan dalam paparan ahli hukum Gereja PJ. Viladrich dalam buku Exegetical Commentary on the Code of Canon Law, vol. III/2 (2004: 1411-1432). Menurut Viladrich, keterpaksaan yang membuat perkawinan tidak sah, umumnya bersifat “terpaksa secara fisik” dan “terpaksa secara moral”.

“Terpaksa secara fisik” terjadi jika calon suami atau calon istri tidak berdaya menentang kekuatan fisik dari luar dirinya. Akibatnya, ia tidak mempunyai pilihan lain untuk menghindari paksaan ini selain menikah. Sementara “terpaksa secara moral” terjadi jika calon suami atau calon istri sebenarnya tidak mau menikah. Akan tetapi, oleh karena ia diancam agar harus menikah, maka ia terpaksa menikah. Tidak ada pilihan lain selain menikah!

Sementara dalam buku New Commentary on the Code of Canon Law, ahli Hukum Gereja John P. Beal mengatakan bahwa “keterpaksaan” (vis) tak bisa dipisahkan dari “ketakutan” (metus) sehingga membuat cacat kesepakatan nikah. Hal ini bisa kita baca dalam pendapat lengkap John P. Beal: “Force (vis) is physical or moral coercion brought to bear on another person; fear (metus) is the result of this force on the one on whom it is inflicted. If the force exerted is irresistible …, the resulting marriage is invalid. Outside such cases of irresistible force, fear must be grave, extrinsic, and causative to invalidate a marriage” (J.P. Beal: 1320).

Pendapat John P. Beal di atas dapat diterjemahkan secara bebas: “Pemaksaan (vis) merupakan paksaan fisik atau moral yang dilakukan terhadap orang lain; ketakutan (metus) adalah hasil dari pemaksaan kepada sesorang sehingga mengalami ketakutan. Jika pemaksaan yang diberikan tidak dapat ditolak …, perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Di luar kasus-kasus pemaksaan yang tak dapat ditolak seperti itu, ketakutan haruslah serius dan ekstrinsik, sehingga menjadi penyebab untuk membatalkan pernikahan”.

Jadi, kalau melihat paparan ini, maka “keterpaksaan” istri dalam kasus perkawinan Bapak FH ini belum terpenuhi. Oleh karena itu, sangat sulit menjadi landasan anulasi perkawinan.

Gereja Sudah Mengingatkan Umat

Ajaran Gereja dari zaman ke zaman sudah mengingatkan umat Katolik bahwa kalau terjadi perkawinan beda agama, tak jarang terjadi berbagai masalah. Perbedaan pandangan agama-agama dapat menghambat pasangan suami-istri untuk membangun dan mempertahankan persekutuan perkawinan untuk seumur hidup; anak-anak akan sulit dibaptis dan dididik secara Katolik (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 1634).

Umat Katolik perlu mempertimbangkan secara sungguh-sungguh jika mau menikah beda agama dengan mereka yang non-baptis. Dalam agama yang dianut oleh istri Bapak FH ini diperbolehkan terjadinya perceraian. Oleh karena itu, kalau muncul masalah dalam rumah tangga, kadang tidak diselesaikan agar bersatu kembali, tetapi malah bertindak sebaliknya, yakni bercerai. Sementara Gereja Katolik selalu mengajarkan bahwa perkawinan harus dibentuk seumur hidup, haya kematian yang memisahkan pasangan suami-istri yang telah menikah sah (ratum) dan telah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum). Gereja Katolik juga tidak pernah mengakui dan tidak mendukung perceraian sipil.

Romo Tidak Boleh Menyarankan Perceraian

Bapak FH meminta pendapat saya sebagai Romo terkait perceraian sipil. Jawaban saya begini, terkait perceraian sipil, para imam atau Romo, tidak boleh menyarankan. Para imam juga tidak boleh mendukung perceraian pasangan suami-istri. Tugas para imam itu adalah mendukung umat mempertahankan perkawinan. Itu sebabnya dalam setiap Tribunal (Pengadilan Gereja Katolik), selalu diusahakan agar ada Romo yang bertugas sebagai “Defensor Vinculi” (Pembela Ikatan Perkawinan). Jadi, tidaklah bijak jika umat meminta pendapat, dukungan seorang imam atau Romo pada saat dia mau merencanakan perceraian sipil.

Demikian jawaban dan tanggapan saya terhadap kasus ini. Sebelum saya tutup tulisan ini, saya ingat harapan Gereja terhadap pasangan suami-istri melalui kanon 1151: “Pasangan mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan ….”.

R.P. Postinus Gulö, OSC

*Pengajar Hukum Gereja di FF Unpar; Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022).