Kisah Novel berjudul Siti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli (1922) menjadi legenda kehidupan berkeluarga, terutama saat ada perkawinan yang berada di luar kehendak yang bersangkutan. Di sana pria atau (terutama) wanita terpaksa untuk hidup berkeluarga entah karena terdesak situasi seperti hutang ayah Siti Nurbaya atau kondisi tertentu seperti perkawinan akibat kehamilan atau karena ada alasan lain. Pada umumnya, mudah-mudahan tidak semua, perkawinan terpaksa semacam ini diliputi dengan kekerasan entah secara fisik ataupun secara psikis. Dalam kisah Siti Nurbaya, sang suami, yaitu Datuk Maringgih menekan ayahnya yang berhutang hingga Siti Nurbaya mau menikah dengan Datuk Maringgih demi menyelamatkan ayahnya sekalipun Siti Nurbaya tidak mencintai Datuk Maringgih. Siti Nurbaya dikisahkan menerima tindak kekerasan dari Datuk Maringgih yang menyebabkan Siti Nurbaya bergelimang air mata dan berkubang penderitaan hingga akhirnya wafat dengan mengenaskan, diracun oleh suaminya sendiri.
Untuk menghindari kejadian seperti ini, Gereja Katolik dengan sangat teliti membantu pasangan yang hendak menikah secara Katolik melalui wawancara terdokumentasi tertulis yang disebut penyelidikan kanonik. Imam menyelidiki pasangan yang hendak menikah apakah mereka dengan bebas tanpa paksaan apapun hendak menikah sebagai salah satu syarat utama sahnya perkawinan Katolik. Untuk itulah, kesepakatan yang mengadaikan adanya kebebasan hati tanpa syarat dalam perkawinan Katolik menjadi syarat utama adanya perkawinan Katolik yang tak terceraikan. “Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang menurut hukum mampu, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.” (Kan. 1057 § 1) Karena ada kebebasan (suka sama suka; sayang sama sayang), pasangan saling menyerahkan diri. “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.” (Kan. 1057 § 2) Di situ sikap saling mencintai membuat pasangan saling menyerahkan diri satu sama lain. Larangan (beda gereja) bisa diberi ijindan dan halangan (beda agama) bisa diberi dispensasi, sedangkan kesepakatan bebas tak ada dispensasi apapun. Kalau imam yakin bahwa di sana ada kebebasan yang memadai untuk membentuk seluruh persekutuan hidup yang “terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak,” (Kan. 1055 § 1) barulah imam mengabulkan permohonan mereka untuk menikah secara Katolik.
Kalau persiapan perkawinan Katolik itu demikian ketat, diandaikan bahwa pasangan Katolik akan hidup rukun dan damai sejahtera karena dilandasi oleh sikap saling mengasihi satu sama lain demi kebahagiaan pasangan. Dalam perkawinan semacam itu, pasti tak ada kekerasan sekalipun mungkin konflik tak terhindarkan dalam kehidupan keluarga. Nyatanya perkawinan Katolik yang bebas dari paksaan dan dilaksanakan dengan kesepakatan tulus karena saling mengasihi pun bisa dipenuhi berbagai praktek kekerasan entah secara verbal lewat kata-kata, secara mental lewat keadaan yang menekan perasaan, maupun secara manual dengan menggunakan tangan. Ujung-ujungnya adalah keinginan untuk pisah karena salah satu atau keduanya sudah tak tahan lagi.
Kalau perkawinan yang dilakukan secara bebas dan sepakat saja ternyata rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, bagaimana perkawinan yang dipaksakan tanpa adanya perasaan saling mengasihi satu sama lain. Tentu kemungkinan terjadi kekerasan lebih lagi. Nyatanya masih ada juga perkawinan ala Siti Nurbaya di zaman now ini yang sangat rentan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Gereja terpanggil untuk memberi perhatian khusus pada kehidupan berkeluarga. Untuk itulah dalam tujuh tahun terakhir, Gereja giat meningkatkan pastoral keluarga. Bapa Suci Fransiskus mengundang Sinode Luar Biasa Para Uskup pada Oktober 2014 dan Sinode Biasa Para Uskup pada Oktober 2015 di Roma dengan tema keluarga yang kemudian membuahkan Anjuran Apostolik Amoris Laetitia (AL, 19 Maret 2016). Keprihatinan tentang keluarga ini disambut oleh KWI dengan mengadakan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI, November 2015) di Cimacan yang bertemakan: "Keluarga Katolik: Sukacita Injil. Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk." Keuskupan Bandung pun sigap memberi fokus pastoral pada keluarga dengan menetapkan Tahun Keluarga selama tiga tahun berturut-turut (2016, 2017, 2018). Semua usaha ini dilakukan guna meningkatkan perhatian dan pelayanan pada keluarga yang membutuhkan pertobatan pastoral kita pada pelayanan keluarga.
Berhadapan dengan keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan untuk mempertahankan kekudusan sakramen perkawinan dan keutuhan keluarga, Gereja terpanggil untuk mencari, menyapa, mendengarkan dan bersehati. Dalam situasi tersebut, "Gereja harus memahami, menyejukkan, dan menerima daripada langsung menyajikan serangkaian aturan yang hanya menyebabkan orang merasa dihakimi dan ditinggalkan oleh Ibunya sendiri yang dipanggil untuk memperlihatkan belas kasih Allah." (AL 49) “Gereja terpanggil untuk bersama-sama mencari, menyapa, mendengarkan dan bersehati dengan keluarga yang sedang menghadapi tantangan, termasuk mereka yang tidak sanggup mempertahankan nilai-nilai hidup perkawinan dan keluarga. Di sinilah Gereja hadir untuk menampilkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih, terutama bagi keluarga yang berada dalam situasi sulit. Dalam kemurahan dan belas kasih Allah, keluarga-keluarga tidak akan mengalami kebuntuan dalam perjalanannya meraih kebahagiaan.” (SAGKI 2015, No. 11) Hal ini juga ditegaskan dalam Pokok-Pokok Sinode Para Uskup XIV (Roma, 4-25 Oktober 2015): "Pasangan suami istri yang memiliki kesulitan dalam hubungan mereka harus dapat mengandalkan bantuan dan bimbingan Gereja. Karya pastoral belas kasih berusaha untuk membantu orang-orang memperbaiki dan memulihkan hubungan. ("Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Dunia Zaman Sekarang", Lineamenta Sinode Para Uskup XIV, No. 44)
Pastoran keluarga yang berorientasi pada belas kasih inilah yang kiranya diperlukan dalam membantu mengatasi kekerasan dalam rumah tangga. Kita dapat melibatkan komunitas-komunitas yang secara khusus memusatkan perhatian pada pastoral keluarga seperti ME (Marriage Encounter), CFC (Couple for Christ), CFM (Catholic Family Ministry), dan Retrouvaille Indonesia (baru dirintis di Keuskupan Bandung guna menangani keluarga yang berada dalam ‘keretakan’ atau ‘kekerasan’), serta kelompok-kelompok lain dan pasutri berpengalaman yang juga terlibat dalam pastoral keluarga yang bekerja sama dengan Komisi Keluarga. Marilah kita mengatasi kekerasan dalam rumah tangga melalui pastoral keluarga yang berorientasi belas kasih.
Ut diligatis invicem,
Antonius Subianto B OSC