Saya bersyukur bahwa pada usia 12 tahun saya boleh menjadi seorang misdinar (pelayan misa) atau putera altar. Berdasarkan istilah bahasa Belanda misdienaar, yaitu pelayan (dienaar) misa (mis), saya dibiasakan untuk melayani misa. Dengan melayani misa, secara tak langsung saya diajak untuk masuk dalam misteri Ekaristi; apa itu hakikat misa dan bagaimana harus bersikap dalam misa apalagi saat melayani misa. Di situ sadar atau tak sadar terjadi formasi iman dan kecintaan akan liturgi dalam diri saya. Berdasarkan sebutan putera altar, yaitu seorang anak yang berada di sekitar altar, saya tumbuh dan berkembang di seputar altar. Siapakah Sang Altar dan siapakah yang mengorbankan diri di atas Altar kalau bukan Yesus sendiri? Maka, menjadi putera altar berarti juga formasi seseorang menjadi anak Tuhan Yesus yang adalah Sang Imam, Altar, dan Korban.
Dalam formasi itu, saya mengalami adanya pertumbuhan iman dan pengetahuan tentang liturgi, teristimewa perayaan Ekaristi. Dari motivasi awal, karena ingin ikut terlibat, tampil, dan “mejeng” di depan sewaktu misa, dengan tempat duduk khusus yang pasti selalu di depan, meningkat menjadi motivasi ingin merayakan Ekaristi sekalipun tanpa bertugas sebagai pelayan misa. Maka, sejak menjadi putera altar walau pun tak bertugas saya pergi ke Gereja mengikuti misa. Kedekatan dengan altar dan ekaristi rupanya menumbuhkan panggilan Tuhan apakah saya juga tidak terpanggil untuk melayani Tuhan secara lebih dekat lagi; bukan hanya sebagai pelayan misa, putera altar, tetapi menjadi imam yang bertindak dalam pribadi Kristus (in persona Christi) yang menghadirkan korban Kristus yang disalib di atas altar. Rupanya panggilan saya menjadi imam tumbuh di sekitar altar saat menjadi pelayan misa.
Pelayan misa adalah orang yang dianggerahi rahmat istimewa sebagai buah dari anugerah baptisan, sebagai anak Allah. Menjadi pelayan misa kiranya bukanlah sekedar tugas membantu imam dalam merayakan misa, tetapi merupakan panggilan Tuhan kepada setiap orang untuk makin kudus, yaitu makin dekat altar dan makin akrab dengan Ekaristi yang adalah sumber dan puncak iman kita. Menjadi pelayan misa adalah anugerah istimewa yang diberikan Tuhan kepada orang tertentu yang telah dibaptis. Maka, sebaiknya pelayan misa adalah seorang yang telah dibaptis agar ia pun bisa ikut ambil bagian secara penuh dalam perayaan Ekaristi dengan menyambut Tubuh Kristus.
Pelayan misa bukanlah sekedar petugas atau pekerja yang memperlancar misa, tetapi seorang yang mendapat kesempatan merayakan Ekaristi dari sekitar altar dengan turut terlibat membantu imam dalam merayakan Ekaristi. Kalau sekedar petugas, tidak harus seorang yang sudah dibaptis atau bahkan ekstremnya tidak harus seorang Katolik. Karena pelayan misa bukanlah sekedar petugas, tetapi pelayan yang merayakan Ekaristi bersama imam agar perayaan Ekaristi berjalan dengan hikmat sesuai amanat Tuhan. Pelayanan yang dilakukan seorang pelayan misa adalah perayaan sebagaimana sang imam merayakan ekaritis bukan sekedar melakukan “pekerjaan” Ekaristi. Maka, saat melayani misa, seorang pelayan misa merayakan dengan hati, budi, dan energi yang tertuju kepada Tuhan yang korban di atas salibnya dihadirkan di atas altar. Untuk itulah, semua pelayan misa (yang diandaikan sudah dibaptis) dianjurkan menyambut komuni sekalipun telah melayani lebih dari satu kali dalam satu hari.
Karena pelayan misa bukanlah pekerja misa, tetapi umat (biasanya anak-anak, remaja, dan kaum muda) yang secara khusus ambil bagian dalam tata liturgi perayaan Ekaristi. Maka, pelayan misa dituntut lebih dari sekedar menjadi umat yang membantu imam, tetapi seorang umat yang mau mencurahkan dan menfokuskan hati, budi, dan energinya pada perayaan Ekaristi. Dengan begitu, pelayanan misa juga dipanggil menjadi orang yang dapat dilihat dengan jelas bagaimana mengikuti perayaan Ekaristi dengan baik. Ia adalah teladan yang patut dicontoh dan guru Ekaristi yang patut ditiru.
Pelayan misa kiranya mengambil bagian dalam karya pelayanan seorang akolit, yaitu seorang calon imam (frater) yang dilantik untuk menjadi pelayan misa sebagai tahap sebelum ditahbiskan menjadi seorang diakon. Melalui tugas pelayanan liturgi mulai dari sakristi hingga kembali ke sakristi, seorang akolit membantu imam dalam pelaksanaan liturgi dengan baik dan benar. Tindak-tanduknya dan gerak-geriknya harus memberi kesaksian pada misteri keselamatan yang dirayakan. Untuk itu, bukan hanya pelayanan praktis, tetapi juga pengalaman mistik karena boleh ambil bagian dalam perayaan misteri Paskah dan menghadirkan misteri keselamatan. Secara etimologis, kata ini berasal dari kata bahasa Yunani, akolouthein yang artinya mengikuti Yesus, yaitu hidup suci. Dalam konteks liturgi, pengertian ini menunjuk ke posisi seseorang akolit yang selalu dekat dengan pemimpin liturgi dan bertugas membantu pemimpin liturgi dalam perayaan.
Demikianpun seorang misdinar diharapkan membantu imam dalam misa secara baik dan benar. Maka tindak-tanduk dan gerak gerik seorang misdinar, pelayan misa harus memberi kesaksian iman akan perayaan Ekaristi yang dilayaninya. Panggilan menjadi misdinar adalah panggilan untuk mengikuti Kristus secara lebih dekat dengan cara hidup di sekitar altar; “bermain” di sekeliling altar hingga tumbuh dan berkembang berbau altar; siap dan rela berkorban diri seperti Korban Kristus disalib yang dihadirkan pada altar saat misa kudus. Untuk itulah pelayan misa, misdinar ini disebut juga putera-puteri altar, yaitu anak-anak Allah yang hidup dan berkembang disekitar altar hingga mempunyai keutamaan sebagaimana ditunjukkan Yesus dalam korban misa. Imannya berkembang dan kecintaan pada liturgi, terutama perayaan Ekaristi pun bertumbuh.
Pelayanan misdinar atau putera-puteri altar memberi manfaat pada formasi iman. Hidup spiritual, mental dan moral anak-anak, remaja, dan kaum muda dibentuk untuk makin menjadi seperti Kristus. Kesempatan melayani misa adalah rahmat untuk mengikuti Kristus dengan lebih dekat sebagai jalan menuju kekudusan. Menjadi pelayan misa adalah rahmat untuk dekat dengan Kristus. Menjadi pelayan misa adalah kesempatan untuk makin sering menyambut Tubuh Kristus, Roti Kehidupan.
Pelayanan di sekitar altar sebagai misdinar adalah salah satu jalan menuju kekudusan, di mana panggilan menjadi rohaniwan dan biarawan bisa tumbuh. Tidak sedikit anak muda tertarik menjadi frater, bruder, dan imam karena sukacita rahmat yang diterima sebagai misdinar. Banyak imam yang mengisahkan hidup panggilan berawal dari pelayanannya di sekitar altar saat masih remaja atau pemuda.
Ut diligatis invicem,
+ Antonius Subianto Bunjamin, OSC