Pendidikan Iman Keluarga Katolik

Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Alasan mengapa pemahaman tentang istilah pendidikan ini penting untuk kita segarkan kembali yakni agar dapat menjadi arah refleksi kita tentang makna pendidikan itu sendiri. Dan, jika mengacu pada pemahaman bahwa pendidik pertama dan utama dalam proses pendidikan adalah orang tua, maka kita juga bisa mengatakan bahwa rumah adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Maka, secara sederhana kita memahami bahwa pendidikan keluarga adalah proses transformasi dari setiap pribadi yang terjadi di dalam dinamika hidup berkeluarga. Keluarga menjadi sekolah pendewasaan bagi setiap anggota keluarga. Adanya proses yang mengarah dari perilaku yang kurang baik menjadi baik dan benar sesuai dengan norma yang berlaku, baik nilai moral, sosial, dan religius.

Tulisan ini hendak menyegarkan kembali pemahaman kita tentang pendidikan iman Katolik di dalam keluarga, sehingga dalam hal ini tidak terkait dengan pendidikan intelektual formal. Tentang pendidikan iman, Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajarkan bahwa “Kesuburan cinta kasih suami isteri terlihat juga di dalam buah-buah kehidupan moral, rohani, dan adikodrati, yang orang tua lanjutkan kepada anak-anaknya melalui pendidikan. Orang tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting” (KGK 1653, bdk. Gravissimum Educationis, 3). Pemahaman ini hendak menandaskan bahwa 'kesuburan cinta kasih' suami isterilah yang menjadi roh dari pendidikan iman di dalam keluarga. Maka, pertanyaan yang sangat mendasar sebagai acuan refleksi bagi setiap keluarga: “Sungguhkah dasar cinta kasih suami isteri ini sudah menjadi aroma pendidikan di dalam keluarga?” Ataukah justru, yang tercipta adalah sebaliknya, nuansa keluarga diliputi oleh rasa kecewa, marah, benci satu sama lain yang diakibatkan oleh relasi suami isteri yang harus bergulat dengan banyak perselisihan tanpa adanya usaha saling mengampuni?

Iklim cinta kasih menjadi syarat mendasar dari pendidikan iman di dalam keluarga. Tahapan pendidikan iman hendaknya diasarkan atas pengalaman dicintai dan mencintai. Terlebih, di saat anak belum mampu berabstraksi tentang pemahaman (aspek intelektual), maka pengalaman dicintai dan mencintai akan menjadi sebuah metode pendidikan iman yang paling efektif. Dan setelah anak mengalami pertumbuhan secara intelektual, orang tua berusaha mengintegrasikan pengetahuan tentang iman dan praktiknya dalam hidup sehari-hari. Dalam hal ini saya sedang menggarisbawahi bahwa pendidikan iman di dalam keluarga bukan hanya sebatas mengajari anak berdoa dan menerima berbagai macam pengetahuan tentang iman Katolik melainkan juga bagaimana makna doa dan pengetahuan itu dipraktikan dalam kehidupan berkeluarga sehari-hari. Keteladanan yang baik dari orang tua adalah bentuk katekese atau pengajaran iman yang paling berkesan di hati anak.

Banyak orangtua yang sudah berusaha memenuhi kebutuhan anak akan pendidikan iman kekatolikannya. Mereka mengajarinya berdoa, mengajaknya hadir dalam perayaan Ekaristi, mendorong anaknya turut serta aktif dalam kegiatan sekolah Minggu, dan lain-lain. Tapi ada juga orang tua yang membekali pendidikan iman ini hanya saat anaknya mau baptis bayi atau baptis anak. Setelah itu menghilang. Dan ketika ada pengumuman tentang penerimaan Komuni Pertama, muncul untuk kedua kalinya. Lagi, ketika ada pengumuman untuk penerimaan Sakramen Krisma, orangtua ini mendaftarkan anaknya. Dan terakhir orangtua model ini akan muncul saat anaknya akan menikah. Sepenuhnya tidak salah, tetapi sangat jauh dari yang ideal. Komitmen orangtua dalam pendidikan anak kiranya perlu digali lebih dalam saat persiapan perkawinan. Persiapan perkawinan dan penyelidikan kanonik hendaknya menggali lebih dalam tentang yang dimaksud pendidikan anak. Orangtua hendaknya tidak memahaminya sebatas pendidikan kognisi, afeksi dan psikomotoriknya, tetapi harus terintegrasi dengan pendidikan iman.

Pendidikan iman Katolik pada hakikatnya adalah upaya mewujudnyatakan janji perkawinan suami isteri. Janji perkawinan ini merumuskan dan menggambarkan tentang suburnya cinta kasih suami isteri dalam membangun rumah tangga. Suami isteri meyakini bahwa mereka dipersatukan oleh kasih Yesus sendiri. Dan saat itu, mereka berkomitmen untuk mewujudkan cinta kasih dalam mengelola rumah tangga. Kasih Yesus telah membuat mereka menjadi satu kesatuan. “Mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat. 19:5). Mereka memiliki kehendak untuk merawat persatuan ini, tetap menjalani kebersamaan dalam suka maupun duka. Mereka berupaya setia memelihara; “Apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia” (Mat. 19:6). Juga, Adalah niat mereka, untuk melahirkan anak dan mendidiknya dengan penuh kasih, termasuk mendidiknya sesuai dengan iman Katolik.

Itulah indahnya perkawinan Katolik. Dan karena betapa indahnya, maka kita dapat juga membayangkan terwujudnya pendidikan iman anak di dalam keluarga akan terjadi dalam nuansa kasih. Namun, di sinilah titik penting untuk kita refleksikan bersama. Bercermin dari dokumen Anjuran Apostolik Amoris Laetitia, kita tidak memungkiri bahwa dari perkawinan Katolik ada banyak yang menjadi potret buram bagi orang muda. Dengan demikian, kita dapat membayangkan betapa buramnya pula pendidikan iman Katolik. Anak-anak yang tumbuh berkembang di dalam keluarga yang mengalami krisis cinta kasih. Memudarnya janji perkawinan Katolik suami isteri adalah akar sulitnya pendidikan iman anak terwujud dalam nuansa cinta. Anak-anak menjadi sedemikian miskin dalam pengalaman kasih, dicintai dan mencintai. Anak-anak tidak dapat mencium aroma cinta di dalam rumah. Dalam keseharian, anak-anak lebih banyak mencium aroma perselisihan, kebencian, dendam, caci maki, dan ketidaksetiaan. Akhirnya, seringkali mereka tumbuh berkembang dalam suasana banyak tekanan. Belum lagi anak-anak mendapat tekanan di lingkungan sosialnya.

Inilah kiranya yang sangat penting untuk direfleksikan oleh suami isteri. Nuansa pendidikan yang beraroma kasih bukan berarti tidak terjadinya perselisihan. Namun, aroma kasih, yang sungguh dijadikan sebagai pegangan bersama bagi semua anggota keluarga, akan mampu mengatasi setiap kesulitan. Setiap anggota keluarga hendaknya membangun diri untuk memiliki cinta yang altruis, cinta yang didasarkan untuk rela berkorban demi keutuhan keluarga. Cinta yang menjauh dari sikap egoisme dan menempatkan satu sama lain berharga bagi kehidupan bersama. Betapapun derasnya arus perubahan zaman, namun jika keluarga tetap berpedoman pada pondasi cinta kasih yang tertuang dalam janji perkawinan, maka kesatuan dan keharmonisan keluarga dapat tetap terjaga. Maka dengan demikian juga, pendidikan iman Katolik dalam keluarga dapat terwujud dalam aroma kasih.

Setiap keluarga kiranya menyadari tentang adanya keterbatasan dari masing-masing anggota keluarganya. Maka, setiap anggota keluarga hendaknya bersama-sama mewujudkan iklim saling memaafkan, saling mengampuni tanpa syarat dan tak terbatas. Juga disadari adanya keterbatasan-keterbatasan akan wawasan dan pengalaman yang memadai dalam mengelola hidup berkeluarga. Untuk itu, bagi para orang tua, selain mendorong dan mengajak anak-anaknya untuk aktif dalam kehidupan menggereja, para orang tua juga hendaknya menyegarkan kembali komitmen mereka atas perjanjian perkawinannya. Gereja telah berusaha memfasilitasi atas kebutuhan ini. Ada banyak bentuk kegiatan teritorial parokial maupun kategorial yang memberi perhatian pada indahnya hidup berkeluarga. Dalam ruang lingkup teritorial parokial, gereja mengajak para suami isteri utuk menyiram dan menyegarkan kembali hidup perkawinan melalui kegiatan lingkungan. Jangan terlalu mudah menganggap sederhana tentang kegiatan lingkungan. Bagi para suami isteri yang paham, kegiatan lingkungan adalah sarana untuk menimba wawasan melalui sharing pengalaman dari keluarga-keluarga lainnya. Kegiatan bersama di lingkungan juga akan turut merawat dan menguatkan kesetiaan para suami isteri.

Komisi Keluarga Keuskupan dan paroki-paroki pun terus berupaya untuk memfasilitasi suami isteri dalam upaya merawat dan menyegarkan kesetiaan perkawinan. Unit Keluarga Muda, usia perkawinan 0-10 tahun. Keluarga Medior, usia perkawinan 11-25 tahun. Dan Unit Senior, usia perkawinan 25 tahun lebih (Kakek-Nenek dan Lansia). Selain menjalankan Pembinaan Persiapan Perkawinan (PPP) Gereja juga berusaha mengedukasi kaum muda tentang makna perkawinan Katolik. Unit yang berkatekese tentang makna perkawinan Katolik adalah Unit Pranikah. Jika dilihat dari upaya Gereja dalam membangun dan merawat perkawinan, kiranya bisa dianggap sudah memadai. Yang menjadi persoalan adalah seringkali para suami isteri, yang mungkin punya alasan 'sibuk' merasa tidak perlu membina diri dalam memelihara kesetiaan janji perkawinan. Seringkali beranggapan bahwa soal hidup berkeluarga akan berjalan dengan baik-baik saja. Namun dalam kenyataan, zaman yang sedemikian dinamis dan minimnya wawasan tentang merawat kesetiaan perkawinan, menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi para suami isteri. Untuk itu, marilah kita berjalan bersama untuk saling meneguhkan janji perkawinan melalui komunitas-komunitas yang ada. Terpeliharanya janji setia perkawinan maka pendidikan iman Katolik di dalam keluarga pun dapat berlangsung dengan beraromakan cinta.***

RP. Yohanes Sumardi, OSC, Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Bandung