Perayaan Semua Umat Beriman

 

Sesuai tema partisipasi umat dalam liturgi yang diangkat pada bulan ini, Tim redaksi mendapatkan penjelasan dari Pastor Christophorus Harimanto Suryanugraha, OSC, praktisi dan pengajar liturgi di Fakultas Filsafat Unpar, tentang kaidah-kaidah umum dalam berliturgi serta prinsip yang perlu dipegang dalam penyesuaian liturgi. Uraian tulisan berikut merupakan rangkuman dari penjelasan Pst. Harimanto, OSC tersebut.

Fenomena tarik ulur antara ketetapan berliturgi dan kebutuhan umat beriman pada umumnya marak terjadi di era modern, terutama setelah Konsili Vatikan II (KV II). Konsili Vatikan II sendiri terkenal dengan gagasan “Gereja yang membuka jendela”. Artinya, Gereja menjadi semakin terbuka terhadap hal-hal di luar dirinya, yang mungkin justru akan berguna bagi Gereja sendiri. Salah satu implikasi dari gagasan tersebut ada pada wilayah liturgi. Contoh yang paling tampak adalah penyesuaian busana liturgi untuk para imam dan uskup. Apabila dibandingkan dengan periode setelah KV II, busana liturgi untuk para imam dan uskup di periode sebelum KV II akan tampak lebih detail dan 'meriah'.

Contoh lainnya adalah ketika Kitab Suci diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Seiring dengannya, liturgi juga mulai terbuka pada tradisi dan kebiasaan lokal. Di sini, muncul fenomena tarik ulur antara ketetapan berliturgi dan kebutuhan umat. Di satu sisi, liturgi merupakan sesuatu yang telah diatur sedemikian rupa oleh Gereja Katolik. Di lain sisi, penghayatan umat beriman terhadap liturgi yang demikian ternyata tidak selalu lancar. Ada kalanya umat beriman dapat lebih menghayati liturgi yang diselenggarakan sesuai dengan kebiasaan dan tradisinya. Penyesuaian antara liturgi yang cenderung baku dengan kebutuhan umat tentu tidak terjadi dalam waktu yang singkat; diperlukan sebuah tinjauan yang bersifat komprehensif, yang mampu mengakomodasi kedua sisi.

Di titik ini, ada baiknya untuk memiliki pemahaman yang benar tentang liturgi. Istilah 'liturgi' sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni 'leitourgia'. Dalam bahasa Indonesia, leitourgia berarti bekerja secara bersama-sama. Dalam berliturgi, karakter bekerja secara bersama-sama ini begitu ditekankan. Keliru apabila menganggap bahwa liturgi adalah urusan para imam, lektor, asisten imam, misdinar, atau petugas paduan suara belaka. Semua yang hadir pada suatu perayaan liturgis memiliki kewajiban untuk berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itu, apabila dicermati secara sungguh, buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) memuat hal-hal yang harus dilakukan oleh umat beriman selama mengikuti perayaan liturgis. Umat beriman tidak akan duduk diam dari awal hingga akhir, melainkan ikut berdiri, berlutut, menyembah, dan sebagainya.

Perlu diperhatikan pula bahwa ada dua 'gerak' yang terjadi dalam suatu perayaan liturgis, yaitu glorifikasi dan sanktifikasi. Glorifikasi terjadi ketika umat beriman memuliakan Allah lewat sikap-sikap tertentu. Sikap-sikap tersebut termuat dalam buku TPE; mencakup tindakan hingga perkataan. Di lain sisi, sementara umat beriman memuliakan Allah, Allah sendiri hadir dalam perayaan liturgis tersebut dan menguduskannya. Ini merupakan gerak sanktifikasi. Di sini, perayaan liturgis mendapatkan karakternya yang kudus karena Allah turut berpartisipasi di dalamnya. Karena kudus pula, perlakuan terhadap perayan liturgis harus diistimewakan dan tidak dapat dicampuradukkan dengan perayaan non-liturgis.

Keistimewaan liturgi lantas berimplikasi pada tata caranya yang cenderung baku. Dalam penetapan liturgi, sekurang-kurangnya ada tiga pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu Tahta Suci (Kepausan), Konferensi Para Uskup, dan Uskup Diosesan. Tahta Suci memiliki kewenangan untuk mengatur dan menetapkan liturgi, menerbitkan buku-buku liturgis, memeriksa terjemahan ke bahasa lokal dan memberikan persetujuan atasnya, dan meninjau pelaksanaannya. Konferensi Para Uskup bertugas untuk mempersiapkan terjemahan ke bahasa lokal dan meminta persetujuan dari Takhta Suci serta memberlakukan penyesuaian yang wajar dengan konteks lokal. Uskup Diosesan berpartisipasi dalam tugas Konferensi Para Uskup, yaitu memberlakukan penyesuaian dengan konteks lokal sejauh itu tidak bertentangan dengan norma yang telah dikeluarkan oleh Takhta Suci.

Titik temu antara ketetapan berliturgi dan kebutuhan umat dapat ditemukan di wilayah keindahan atau estetika liturgi. Secara umum dapat diterima bahwa dalam keindahan, ada daya yang menarik perhatian orang, membuat mereka merasa senang dan puas. St. Agustinus menyebutkan bahwa keindahan sejati itu tidak lain adalah Allah sendiri. Di dalam Allah, kepenuhan makna keindahan itu dapat ditemukan. Di sini, keindahan tidak hanya berupa hal-hal yang memunculkan sensasi, melainkan melibatkan hal-hal yang lebih mendalam, yakni kebaikan dan kebenaran. Allah adalah keindahan sejati karena di dalamnya umat beriman dapat menemukan kebaikan dan kebenaran. Karena Allah hadir pada perayaan liturgis, maka dapat disebut bahwa liturgi sebenarnya adalah pengalaman akan keindahan.

Secara lengkap liturgi dapat dipahami sebagai pengalaman akan keindahan yang membawa umat beriman pada pengalaman rohani, yaitu pengalaman akan kebenaran. Oleh karena kebenaran itu adalah Allah sendiri, maka pengalaman tersebut harus merupakan pengalaman perjumpaan dengan Allah. Pengalaman perjumpaan dengan Allah ini menjadi titik gravitasi dari perayaan liturgis. Semua unsur dalam liturgi dibuat seindah mungkin. Piranti liturgi, seperti piala, sibori, dan patena disepuh dengan emas sehingga menegaskan kesan indah. Altar dihias sedemikian rupa juga untuk menegaskan kesan indah. Pun sama halnya dengan lagu yang dipilih dan cara menyanyikannya. Pada akhirnya, tidak ketinggalan pula sikap umat yang hadir pada perayaan liturgis harus menegaskan kesan indah tersebut.

Melalui prinsip keindahan ini, kebutuhan umat beriman lantas dapat dipertimbangkan. Apabila umat beriman menghendaki perayaan liturgis yang terbuka pada konteks lokal, maka konteks lokal tersebut harus terarah pada keindahan. Pun keindahan tersebut harus ditujukan kepada Allah, bukan pertama-tama agar perayaannya sendiri terlihat meriah dan memukau umat beriman yang hadir. Sebaliknya, melalui penyesuaian tersebut, umat beriman diharapkan dapat sampai pada pengalaman bersama dengan Allah. Ada istilah dalam bahasa Latin yang menjadi prinsip dalam berliturgi, yakni “participatio actuosa et plena”. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut berarti partisipasi aktif dan berbuah. Partisipasi aktif merupakan karakteristik dalam berliturgi, di mana semua yang ada di dalamnya terlibat secara aktif. Partisipasi aktif tersebut lantas memberikan buah rohani kepada mereka, yakni perjumpaan dengan Allah.

Penyesuaian dalam berliturgi juga harus mempertimbangkan partisipasi umat beriman. Karena liturgi adalah sebuah “pekerjaan bersama”, semua yang hadir di dalamnya mesti ikut berpartisipasi. Hal yang mesti dihindari adalah apabila penyesuaian yang dilakukan malah membatasi partisipasi umat beriman. Misalnya, petugas paduan suara memilih lagu yang indah namun sulit untuk dinyanyikan oleh umat beriman. Karena sudah berlatih, petugas paduan suara memang dapat menyanyikan lagui tersebut dengan baik. Akan tetapi, umat beriman menjadi terdiam karena tidak bisa ikut menyanyikan lagu tersebut. Dengan demikian, pada akhirnya, perayaan liturgis malah menjadi sebuah pertunjukan paduan suara belaka. Di satu sisi, liturgi memang telah ditetapkan sedemikian rupa oleh Gereja Katolik. Akan tetapi, itu tidak menjadi halangan untuk memberlakukan sejumlah penyesuaian asalkan umat beriman memiliki pemahaman yang benar terhadap liturgi. Orientasinya pun mesti benar, yaitu pemuliaan Allah.***

disarikan oleh Fr. Marchelino Joshua