SAAT TEDUH: ENERGI BAGI PERJALANAN TENANG

Kesuksesan zaman sekarang sering diukur dengan kesibukan seseorang yang diperlihatkan oleh saratnya agenda, banyaknya aktivitas, dan padatnya perjalanan. Akibatnya, penghargaan terhadap orang yang bekerja di rumah atau duduk diam menbaca, apalagi berdoa, dan bermeditasi kurang. Orang tergoda untuk selalu beranjak dari tempat duduk, pergi dari rumah tinggal, dan melancong berpindah-pindah tanpa fokus dan komitmen yang utuh. Situasi ini menyebabkan orang tidak lagi mampu untuk mengambil fokus tertentu dalam hidupnya: mana yang paling penting, apa sungguh menyelamatkan? Ritme hidup yang sibuk dengan diri sendiri dan mabuk dengan pekerjaan atau kegiatan bisa membuat orang tiba-tiba goyah mengalami gelombang tantangan dan rintangan yang menghadang hingga orang mengalami keletihan dan ketak-berdayaan. Untuk apa semua yang dilakukan dan didapatkan selama ini, kalau akhirnya hanya membawa kepedihan tanpa sukacita? Di situ orang mengutamakan suasana hiruk-pikuk dan ramai di sana sini. Kebisingan menghantui danmenguasinya. Padahal kita butuh keheningan, yaitu saat tenang untuk berdiam diri dan merenungkan apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan serta saat teduh untuk menikmati kehadiran dan kasih Allah dalam semua ciptaan dan segala peristiwa.

Konon Bunda Teresa dari Calcuta meminta para susternya untuk mempunyai saat teduh, yaitu waktu adorasi di hadapan sakramen mahakudus minimal 1 jam sehari agar dapat melaksanakan evangelisasi & misi kemanusiaan membantu mereka yang menderita. Saat teduh menjadi energi agar perjalanan berikutnya tenang. Itulah yang dikisahkan Injil Mat. 8:23-27. Para murid mengikuti Yesus masuk ke dalam perahu. Tujuan perjalanan tersebut bukan untuk rekreasi, tetapi misi yang didahului saat teduh, yaitu meditasi dan komunikasi yang lebih intens dengan Yesus agar berhasil baik dalam evangelisasi dan dedikasi pada sesama. Rupanya para murid sibuk sendiri dengan urusan masing-masing hingga tak fokus pada Yesus yang sebetulnya menjadi alasan mengapa mereka ada bersama dalam perahu. Saat teduh terganggu. Para murid ada bersama Yesus, tetapi rupanya hati dan budinya ada di mana-mana hingga mereka tak mempedulikan kehadiran Yesus.Pada saat itu, gelombang tiba. Ancaman datang. Ini sebenarnya biasa. Sebagian besar dari mereka adalah nelayan yang berpengalaman. Namun, rupanya setelah berusaha keras dengan berbagai kemampuannya, para murid tak mampu mengendalikan perahu. Mereka panik hingga berteriak- teriak. Anehnya, Yesus tetap tidur. Ia tenang. Ia berada dalam saat teduh. Untunglah mereka ingat bahwa mereka pergi bersama Yesus. Kini mereka memalingkan diri para Yesus. Mereka mulai fokus lagi pada Yesus. Mereka membangunkan Yesus dan berseru: "Tuhan tolonglah..., kita binasa!" Bagaimana mungkin para nelayan meminta tolong kepada tukang kayu dalam mengatasi badai kalau bukan karena percaya bahwa Yesus bukan manusia biasa, tukang kayu, tetapi orang yang mengandal Allah hingga mempunyai kuasa menyembuhkan dan mengusir setan serta orang yang diandalkan Allah untuk mewujudkan rencana Allah. Kini Ia berhadapan dengan amukan danau yang membuat nelayan pun panik. Sebelum bertindak, Yesus menyadarkan mereka akan kesalahan mereka hingga panik karena melalaikan saat teduh. Gelombang itu biasa dan bisa terjadi kapan pun, tetapi kalau orang percaya pada Yesus, tetap fokus pada Yesus, dan mempunyai saat teduh, hati dan budinya tidak mendua (memberhalakan diri dan karya hingga mengesampingkan Yesus), pasti akan tetap tenang bahkan akan tidur nyenyak juga di tengah amukan badai. Mereka kurang percaya. Mau mengikuti Yesus, tetapi tak mempercayakan diri padaNya; tak mau dan mampu bercengkrama dengan Yesus. Mereka rupanya sedang berkarya dan mengikuti Yesus, tetapi tak betah untuk duduk diam bersama Yesus (Bdk kisah Maria-Marta pada Luk 10: 38-42), tak senang saat teduh. Yesus menghardik angin dan danau. Danau pun menjadi teduh sekali hingga aman dan nyaman diarungi. Itulah saat teduh agar dapat menjalankan misi di seberang danau. 

Masa pandemi Covid-19 yang datang tiba-tiba bagai angin sakal menggoyang perahu hidup kita. Reaksi spontan adalah panik dan takut bahkan bisa membuat orang pesimis dan apatis untuk apa berjuang lagi. Itulah reaksi orang seperti tak berTuhan. Itulah reaksi orang yang mengandalkan kekuatan sendiri hingga saat pandemi membelenggu dirinya seakan tak ada kekuatan lain yang jauh lebih berkuasa, yaitu Allah. Kalau kita sudah terbiasa dengan saat teduh, kita langsung akan  berseru: “Tuhan tolong kami!” Kita akan meminta Tuhan dan mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki agar kita selamat. Orang yang biasa dengan saat teduh dengan kreatif akan mencari cara untuk mengatasi gelombang angin sakal.

Marilah kita mengusahakan saat teduh setiap hari, yaitu waktu tenang untuk duduk diam berdoa pribadi, membaca Kitab Suci atau mendaraskan doa Rosario. Saat teduh yang utama adalah beradorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, di mana kita berjumpa langsung dengan Tuhan Yesus. Di situ kita bisa bercengkrama seperti Maria yang telah memilih bagian yang terbaik dalam hidup dengan duduk diam mendengarkan di bawah kaki Yesus (Bdk Luk 10: 42). Perayaan Ekaristi, yaitu pesta perjamuan Tuhan adalah puncak saat teduh kita. Sekalipun bentuknya perayaan, tetapi hakikatnya adalah saat teduh, yaitu duduk diam fokus pada Tuhan yang karena kasihNya mengorbankan diri di atas salib untuk kita dan dihadirkan kembali di atas altar. Itulah yang disampaikan oleh Yesus kepada para muridNya: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu… Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15: 4-5).

Kalau mengikuti Yesus, janganlah sekedar badannya saja, tetapi hati dan budinya pun harus berada bersama Yesus, hingga seluruh materi dan energi pun dimanfaatkan untuk perutusan Yesus. Kalau mengikuti Yesus, janganlah sekedar pakaiannya saja (Katolik), tetapi juga hidupnya harus menunjukkan kebersamaan dengan Yesus; hidupnya sebagai tanda kehadiran dan kasih Yesus. Tanpa saat teduh, ketakutan-kepanikan akan menghantui perjalanan hidup kita. Bersama Yesus, perjalanan akan teduh: aman dan nyaman sekalipun ada gelombang. Saat teduh dibutuhkan agar hidup kita tetap terasa teduh sekalipun kita dihembus angin sakal.

Ut diligatis invicem,

Antonius Subianto B OSC