Sajabaning Langit

Saya mengenal ungkapan itu pertama kali dalam cerita pantun Mundinglaya Dikusumah. Sajabaning langit adalah “di luar alam semesta”. Kisahnya Putera Prabu Siliwangi yang bernama Mundinglaya yang diminta oleh ibundanya, Fatmawati, untuk pergi  ke Sajabaning Langit dan mendapatkan Lalayang Salaka Domas yang akan membuat kerajaan Pajajaran subur makmur kerta raharja. Ibundanya amat percaya kepada anak bungsunya ini yang rajin olah spiritual. Berbeda dengan abangnya, Pangeran Sunten Jaya, yang lebih ke duniawian. Kakaknya inilah yang memfitnah Mundinglaya telah menggauli salah satu selir raja. Mundinglaya dihukum kurungan yang direndam di sungai. Meskipun demikian Mundinglaya menerima penderitaan ini tanpa protes. Baginya musibah dan keberuntungan diterima sama. Jiwanya telah mengesa, tak ada lagi dualitas segala sesuatu. Dipuja dan dicela diterima sama, tak bahagia dan tak menderita.
    Mundinglaya menyanggupi akan berangkat ke Sajabaning Langit. Sebelum berangkat ke Pulau Putri, sebuah pulau yang menghubungkan dunia ini dengan alam keilahian, mundinglaya menemui calon istrinya Dewi Asri, di negara Muara beres. Iya diikuti 2 pelayanan setianya,  Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Kidang Pananjung yang akan berjalan di depan dengan tugas memberantas semua halangan dalam perjalanan. Sedang Gelap Nyawang adalah penyusun strategi perjalanan. Mundinglaya sendiri cukup menentukan maksud tujuan perjalanan (tekad ada di Mundinglaya, ucap atau pikiran ada pada Gelap Nyawang, sedang Kidang Pananjung adalah lampah yang bertanggung jawab menyelesaikan segala rintangan perjalanan.)
    Sesampai di Pulau Puteri Mundinglaya harus menghadapi penjaga jalan menuju Sajabaning Langit, raksasa bernama Jonggrang Kalapetong. Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung tak bisa membantu, sebab jalan spiritual ini hanya dapat dilakukan secara individual. Mundinglaya berperang melawan Kalapetong yang berubah menjadi tujuh raksasa. Apakah ini bukan simbol perlawanan Mundinglaya melawan hawa nafsunya sendiri yang berupa tujuan dosa manusia, yaitu serakah, iri hati, sombong, pemalas, suka makan enak dan nafsu seksual. Mundinglaya berhasil menaklukkan tujuh penjelmaan Kalapetong dan berhasil sampai di batas Sajabaning Langit.
    Ketika ia memasuki gerbang Sajabaning Langit, tiba-tiba bertemu dengan neneknya yang sudah marhum, Wiru Mananggay. 

" Cucuku kamu belum waktunya berada di sajabaning langit. Kamu belum mati. Apa tujuanmu sampai di sini". 

“Saya mendapat tugas Sang Prabu untuk membawa Lalayang Saloka Domas ke Pajajaran".
”Lalayang itu dapat kamu peroleh tetapi harus secepatnya kembali ke dunia".
    Begitulah cerita pantun menuturkan bahwa alam illahiah itu ada di luar alam semesta ini. Neneknya Wiru Mananggay yang telah wafat berada di sana. Sajabaning Langit Setiap berarti di luar alam semesta ciptaan Yang Illahiah. Tentu saja Sang Pencipta ada di luar ciptaanNya.     Dalam buku Undang A Darsa dan Edi S Ekajati, Gambaran Kosmologi Sunda, Kiblat, 2006, menjelaskan adanya naskah Sunda yang menggambarkan Sajabaning Langit itu. Ada gambaran bahwa alam Sajabaning Langit itu merupakan alam yang sama sekali berbeda manusia di semesta ini. Ada yang mana mau makan naskah itu sebagai jatiraga. Sebenarnya di Jawa dan Sunda alam itu disebut awang-awang uwung-uwung atau awang uwung alias Suwung. Dalam bahasa Jawa yang disebut Suwung itu sedang tidak ada di situ. Kalau anda mau bertemu ke rumah saudara atau teman dan anda menemukan rumah itu sedang kosong tak ada penghuninya maka disebut Suwung. Sajabaning Langit Itu sesuatu yang Suwung. Kosong, padahal ada pemiliknya, hanya sedang tak di rumah.
    Itulah sebabnya kitab Jagaraga ini menyebut pemilik atau penghuni alam Suwung itu. Di Sunda di dalam Suwung itu ada Pribadinya yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Sedang di Jawa alam Suwung itu penghuninya Sang Hyang Waseso. 

Inilah yang disebut kitab Jatiraga tentang Si Ijunajati Nistemen yang di Sajabaning Langit itu :
Aku sempurna tanpa tujuan
Tanpa perlu lampah, ucap, tekad
Tanpa perlu surga
Tanpa perlu cerita
Tanpa perlu kebebasan
Tanpa perlu warna
Aku tak terkatakan
Tak terasakan
Tak terdengar, tak terlihat
Sebab lampahku tanpa tenaga
Ucapanku Tanpa Kata
Perasaanku tak bisa dirasakan
Tetapi lampahku lampah yang begini
Ucapku adalah ucapan yang begini
Perasaanku Adalah perasaan yang begini
Aku tak terkatakan
Tak terasakan
Tak terdengar
Tak terlihat
Aku adalah mustahilnya dari kemustahilan
Mungkinnyah dari kemungkinan
Sirnanya dari kesempurnaan
Aku yang ada tapi juga yang tiada
Tersembunyi tapi tak tersembunyi
Tidak rendah dan tidak tinggi

Buku ini masih muat banyak hal tentang Sajabaning Langit yang dihuni oleh Si Ijunajati Nistemen.***

Jacob Sumadjo