Si Bangbalikan

Ungkapan puitis ini terdapat dalam cerita pantun Sunda, artinya kurang lebih “yang serba terbalik”. Isi lengkapnya seperti ini : cangkang reujeung eusina kudu sarua lobana”, (bungkus dan isinya harus sama besarnya). Isi bungkusan yang lebih besar dari isinya tentu akan cepat rusak, begitu pula sebaliknya. Dalam cerita pantun Panggung Karaton dari daerah Kuningan, terdapat sebuah puisi Sunda kuno yang lebih menjelaskan makna Si Bangbalikan itu. Kalau tak salah Saya pernah membahasnya dalam kolom ini. Tetapi karena muatan filosofisnya yang mendalam tak mengapa kalau saya ulangi di sini.
teras kangkung galeuh bitung

tapak meri dina leuwi

tapak soang dina bantar

tapak sireum dina batu

kalakay pare jumarum

sisir serit tanduk ucing


sisir badak tanduk kuda

kekemben layung ka sunten

Kurambuan kuwung-kuwung

tulis langit gurat mega

Panjangna sabudeur jagat

Inten dagede baligo


( Isi batang kangkung adalah isi bambu petung

tapak anak itik di air

tapak angsa di bantaran

tapak semut di batu

batang padi muda meruncing bagai jarum

sisisr rapat tanduk kucing


sisir jarang tanduk kuda

berkemben langit senja

Pelangi di angkasa raya

langit penuh tulisan mega penuh gambaran

panjangnya sebulat bumi

Intan sebesar buah semangka)


Tafsir saya sebagai berikut. Bait pertama menggambarkan dunia nampak ini yang sebetulnya kosong (isi batang kangkung yang di dalamnya berisi kekosongan yang lebih besar, yaitu sebesar isi bambu petung yang kosong juga). Yang nampaknya Ada ini sebenarnya kosong belaka (dalam spiritualitas). Sedang pada puisi kedua menggambarkan langit yang kosong namun justru isi yang sejatinya (spiritualitas ilahiah). Jadi mana bungkus dan mana isinya? Yang kosong (ketiadaan) justru isi, sedang yang nampaknya ada sebagai isi sebenarnya kosong melompong.
Cerita pantun sebenarnya produk kaum intelektual sunda di kraton-kraton Sunda. Sebagai negara kerajaan yang berdiri di zaman Hindu-Budha tentu mengenal literatur religi agama-agama itu. Dan kiranya kitab Upanisad yakni Brhat Aranyaka Upanisad, mereka kenal. Dalam bab Brahmana ketujuh ayat 18 disebutkan : “Dia yang bermukim pada mata, tetapi yang ada di dalam mata, yang mata tidak mengetahuinya, yang tubuhnya adalah mata, yang mengendalikan mata dari dalam, dialah atmanmu, pengendali dari dalam yang abadi”.
Yang tak nampak itulah eusi atau Isi, sedang tubuh ini hanya bungkus. Yang membuat mata bisa melihat adalah “atman” pengendali dari dalam yang abadi. Dalam tradisi Topeng Cirebon dikenal ungkapan “kuring di jero kurung, kurung di jero kuring”. “Kuring” adalah roh, “kurung” adalah tubuh manusia. tubuh manusia ini membungkus roh kita (kuring di jero kurung), tubuh adalah wadah yang membungkus roh (atman). Sebaliknya “kurung di jero kuring” berarti “roh yang membungkus tubuh saya”, yakni manusia rohaniah, manusia sempurna, manusia suci, dewa kemanusiaan. Jadi manusia biasa membiarkan rohnya dibungkus tubuh. Yang isi dibungkusnya yang kosong. Tetapi manusia suci membuat tubuhnya dibungkus roh ilahiyah. Kurung di jero kuring.
Roh tak terikat ruang dan waktu. Tubuh ini membenda yang terikat ruang dan waktu. Maka untuk membuat yang kosong sebagai bungkus, roh yang membungkus tubuh kita, maka sering terjadi tengah malam bangun untuk menghadap Tuhan. Malam dibuat siang. Tubuh perlu makan, maka untuk membuat roh membungkus tubuh kita harus puasa dan pantang jenis makanan enak. Tubuh ini mengenal laku seksual, sedang roh tak mengenal dualitas lagi perempuan dan tak mengenal seks. Itulah sebabnya agar roh yang kosong membungkus tubuh kita yang isi, maka harus aseksual alias tidak kawin atau puasa seks beberapa waktu.

Pertunjukan wayang kulit Jawa sebenarnya mengandung filosofi kosong dan isi atau isi dan bungkus. Kalau Anda menonton dari belakang dalang, maka akan melihat aneka warna-warna wayang tetapi bila anda sebagai tamu undangan harus nonton wayang di belakang layar yang hanya melihat bayangan wayang, hitam dan putih layar. Dalam pertunjukan itu tokoh-tokoh yang baik ada di kanan dalang, sedang yang jahat ada di kiri dalang. Bagaimana bagi tamu terhormat ? Si Bangbalikan. Yang baik di kiri, yang jahat ke kanan.
Si Bangbalikan mengajarkan pada kita bahwa yang rohani, yang tak tampak, yang ilahiah itu harus kita jadikan bungkus terhadap tubuh kita yang nyata ada ini. Itulah sebabnya kita harus banyak memberi, banyak puasa, harus rendah hati, sering puasa dan pantang, tidak seksual, dan banyak lagi yang intinya kita harus balik kanan dari cara hidup yang kita lakukan selama ini. Cukup berat untuk menjadi rohani. Badan dibungkus roh.Yang tidak ada membungkus yang ada ini. Cangkang reujeung eusina kudu sarua lobana.

Jakob Sumardjo