Sidang KWI 2019 : “Persaudaraan Insani untuk Indonesia Damai”

Agenda utama Hari Studi (04-05/11) yang mengawali Sidang KWI 2019 adalah mendalami Dokumen Abu Dhabi dengan tema “Persaudaraan Insani untuk Indonesia Damai”.  Dalam hari studi ini diundang beberapa tokoh sebagai narasumber, baik dari intern KWI sendiri maupun dari luar.

Sebagai pengantar untuk mengarahkan hari studi ini,  Mgr. Harun Yuwono (Uskup Keuskupan Tanjung Karang dan Ketua Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI) menyampaikan latar belakang dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani Paus Fransiskus bersama Dr Ahmed At-Tayyeb (Imam Besar Al Azhar). Ada 12 poin penting berkaitan dengan dokumen Persaudaraan Manusia ini. Diharapkan dokumen ini bukan sekadar milik tokoh tertentu, melainkan perlu dikatekesekan kepada umat. Semoga umat dapat merayakan kegembiraan anak bangsa dan Gereja sebagai perekat kebhinekaan bersama.



Dalam hari studi hari pertama (04/11), Mgr. Paulinus Yan Olla MSF (Uskup Keuskupan Tanjung Selor) didaulat sebagai moderator. Dua orang narasumber dalam sesi I adalah Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D (Imam Besar Istiqlal) dan Mgr. Christophorus Tri Harsono (Uskup Keuskupan Purwokerto) .

Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D (Imam Besar Istiqlal) menyampaikan berbagai macam situasi yang berkembang di Indonesia khususnya menyangkut gerakan-gerakan intoleransi dan radikalisme. Ia mengharapkan pentingnya memberikan anotasi (penjelasan yang kredibel atas poin-poin yang lebih konkret dan referensi yang melibatkan banyak pihak). Selain itu ia menyampaikan daftar persoalan kemanusiaan masa kini serta motivasi dan rekomendasi untuk menyebarkan pesan damai dokumen Abu Dhabi.

Sementara itu Mgr. Christophorus Tri Harsono (Uskup Keuskupan Purwokerto) menegaskan bahwa makna toleransi “bukan mencari kesamaan, melainkan melihat realitas perbedaan orang lain. Walaupun hal ini sebuah keniscayaan yang semu. “ Selain itu, Mgr Tri berharap agar human fraternity dapat dibangun dalam keluarga serta bagi orang lemah dan tersisihkan.



Pada sesi II tampil sebagai narasumber adalah Dr.  Wachid Ridwan dengan moderator Mgr. Robertus Rubyatmoko (Uskup Keuskupan Agung Semarang). Dalam sesi ini Dr.  Wachid Ridwan menyampaikan gagasan berdasarkan disertasinya: “Dinamika Sistem Kontra-terorisme dan Keberagaman di Indonesia.” Suatu metode analisis system dynamic untuk “mengurai” paham radikalisme. Toleransi dapat dibangun lewat partisipasi masyarakat, bekerja dengan diam, saling menghormati satu sama lain.



Pada hari kedua Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFM.Cap (Uskup Keuskupan Padang) tampil sebagai moderator dengan narasumber RD. Damianus Fadjar Tedjo Soekarno (Imam Diosesan Keuskupan Malang) bertema “Gereja Mencari Raga.” Pastor Fadjar, demikian sapaan akrabnya menyampaikan sharing pengalaman pribadi sejak menjadi imam 20 tahun yang lalu. Terinspirasi dari pengalaman pastoralnya di gereja Situbondo yang pernah dibakar massa (10/10/96). Pastor Fadjar menyampaikan sebuah pertanyaan reflektif: Mengapa gereja ini dibakar? Hasil permenungannya menyatakan bahwa Gereja harus memperkenalkan diri pada manusia, budaya yang sudah ada, orang beragama lain agar Gereja mewujudkan budaya damai. Budaya damai juga dibangun melalui Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI).

Pastor Fadjar mensharingkan pengalaman dan kesaksian hidupnya di Komunitas Osing, yang menjadi satu dari tiga suku terasing di Pulau Jawa, selain Suku Tengger dan Suku Baduy. Suatu pengalaman yang dialami penuh tantangan dan dirasakan sebagai sebuah tugas berat. Pastor Fajar diterima komunitas Osing bahkan memperoleh status sebagai pemimpin adat karena aksi dan kata. Bahkan Alm. Mgr Pandoyo dapat diterima sebagai sesepuh adat Osing. Maka toleransi bukan berhenti pada pemahaman, tetapi harus sampai pada pengalaman.

Dengan berbagai macam pendekatan dan usaha yang dilakukannya, tak dipungkiri bahwa ia sering mengalami kesendirian dan disudutkan bahkan oleh sesama imam. Bahkan mendapat selentingan tuduhan “sinkretisme”. Menurut Pastor Fadjar kekuatan yang melandasi pastoralnya demikian juga dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada adalah Ekaristi. Baginya Ekaristi adalah inti dari semua pelayanan yang dibangun, untuk kemanusiaan (lahir batin, jasmani rohani, dunia akhirat).



Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM (Uskup Keuskupan Bogor) bertindak selaku moderator pada sesi terakhir hari studi dengan narasumber Alissa Q. Munawaroh Rahman. Alissa Wahid, demikian sapaan akrabnya menyampaikan sharing pengalaman membangun komunitas Gusdurian. Komunitas ini terbentuk atas komitmen tentang nilai-nilai dasar yang diperjuangkan Gus Dur selama hidupnya. Sembilan nilai yang ditemukan: spiritualitas, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, kesederhanaan, kekastriaan, dan Kearifan Tradisional. Gus Dur meyakini bahwa dirinya mesti mewujudkan diri sebagai “citra Allah” di bumi dan bahwa Islam mesti menjadi rahmat bagi dunia. Misi Kelompok diungkap dalam “Purpose, Program, Principles.” Pencapaian tujuan agar memperoleh kepercayaan publik dalam menyebarkan isi dokumen Persaudaraan Insani dengan “mental model” dibangun dengan kredibilitas, kompetensi dan integritas. Hal ini terlihat dari semangat responsif, infklusif dan solider dengan sesama yang menderita, dalam hal bencana alam dan bencana sosial. Jaringan ini dibangun berdasar gagasan dari bawah ke atas, lintas batas, 120 ribu jejaring, komunitas ini berkembang di lima negara (Arab Saudi, Iran, Inggris, Malaysia, dan Thailand).

Dalam penutupan hari studi, para uskup berdiskusi dalam kelompok regio, kemudian hasilnya dipresentasikan dalam pleno. Selanjutnya, tim perumus menyampaikan Rencana Tindak Lanjut (RTL), sebagai berikut:

1.      Keuskupan mensosialisasikan dokumen Persaudaraan Insani supaya sampai diketahui dan dihidupi umat di  tingkat akar rumput beserta jejaring lintas iman.

2.      Keuskupan mendorong  para imam dan umatnya untuk berjejaring dengan kelompok nasionalis, prularis, seperti misalnya: Gusdurian.

3.      Gereja Katolik menjadi promotor dan inisiator Persaudaraan Insani, dengan menyelenggarakan perayaan nasional maupun keagamaan yang mengundang dan melibatkan lintas iman.

4.      Rumpun Kemasyarakatan dan Dokpen, bekerja sama dengan Prof. Nasaruddin / Quraish Shihab, FUKRI, dan pihak terkait akan membuat buku penjelasan  sehubungan dokumen Persaudaran Insani.  ***

Edy Suryatno