Solidaritas Pangan: Semakin Peduli dan Murah Hati

GERAKAN HARI PANGAN SEDUNIA

Tanggal 16 Oktober Tahun 2022


PENGANTAR

Setiap tahun pada tanggal 16 Oktober masyarakat dunia memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS). Demikian pula Gereja Katolik Indonesia memperingatinya sebagai bentuk nyata keterlibatan dalam hidup bermasyarakat (bdk.GS 1). Tema Hari Pangan Sedunia (HPS) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2022 adalah “Solidaritas Pangan” (Semakin Peduli dan Murah Hati). Tema ini dibicarakan dalam konteks saat ini di mana dunia dan juga Indonesia sedang menghadapi tantangan dan masalah pangan, seperti pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia belum sepenuhnya teratasi, konflik perang Rusia dan Ukraina, perubahan iklim, serta tidak stabilnya harga pangan.

Dalam kondisi demikian tentu timbul pertanyaan: Apa yang mesti kita lakukan untuk meringankan beban bersama, khususnya saudara kita yang berkekurangan, sebagai wujud keterlibatan dan kepedulian kita? Pertanyaan ini dapat membantu kita untuk merenungkan sejauh mana kita sudah berusaha untuk mengasihi, untuk peduli dan menjadi berkat bagi sesama (bersolidaritas). Gerakan HPS Gereja Katolik adalah gerakan iman oleh karena itu tema “Solidaritas Pangan” ini dibahas dan ditempatkan dalam terang Injil, keutamaan teologis dan prinsip-prinsip ajaran sosial Gereja.

TANTANGAN DAN HARAPAN

Persoalan pangan yang terus menerus muncul dalam pembicaraan adalah kemiskinan dan kelaparan, kekurangan gizi, stunting dan berbagai penyakit lainnya, pemborosan makanan (sampah makanan), perubahan iklim yang mempengaruhi ketersedian dan kualitas pangan, konflik atau perang antar negara, persoalan perdagangan bahan pangan dst. (bdk. Pesan Paus dan tema HPS dari FAO, setiap tahun). Misalnya di Indonesia menurut data Kementerian Lingkungan Hidup pada 2020 menyebutkan bahwa sampah makanan 39,8 persen dari seluruh jenis sampah yang dihasilkan oleh masyarkat, padahal masih ada 8,34 persen penduduk masih mengalami kekurangan makanan. (bdk. kompas.com 27/10/2021)

Akar persoalan fenomena kelaparan yang terjadi di dunia bukanlah persoalan materi atau ekonomi belaka, melainkan persoalan moral. Oleh karena itu, Paus Yohanes Paulus II, dalam Redemtoris Hominis menegaskan bahwa perkembangan manusia yang otentik memiliki karakter moral. Hal ini mengandaikan rasa hormat yang penuh kepada pribadi manusia. Tetapi juga harus memperhatikan dunia sekitar dan memperhitungkan sifat setiap makhluk serta relasi timbal balik dalam sistem yang teratur. Paus Benediktus XVI menunjukkan bahwa tidak terpenuhinya hak atas pangan bukan hanya karena sebab alami, tetapi situasi yang dipicu oleh perilaku laki-laki dan perempuan yang mengarah pada kemerosotan standar sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Oleh karena kemiskinan dan konflik berdarah, banyak orang terpaksa meninggalkan rumah dan mencari dukungan di luar negerinya sendiri untuk menggapai hidup yang lebih baik. (bdk. Yohanes W.P.OFM, Ha katas Pangan Dalam Perspektif Ajaran Sosial gereja, 28/01/2022 dan World Food Day, 2007)

Para Bapak Gereja, selalu mengingatkan bahwa dampak krisis pangan dan ekonomi mempengaruhi kebutuhan primer termasuk hak dasar setiap orang atas pangan yang cukup dan sehat. Kondisi ini memperparah khususnya situasi mereka yang hidup dalam kondisi kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka yang miskin dan terdampak itu di dalamnya ada orang tua renta, para ibu-ibu yang hamil, bayi dan anak-anak, mereka yang rentan sakit dst. Fakta bahwa masih adanya kemiskinan dan kelaparan dan persoalan pangan lainnya yang mengurangi kehidupan jutaan orang merupakan ancaman bagi kehidupan serta martabat manusia dan menuntut tanggapan dari setiap orang. (bdk. World Food Day 2012-2022)

Paus Fransiskus mengingatkan kita bahwa “banyak yang terus makan dengan cara yang tidak sehat dan cukup. Ini adalah kenyataan yang kejam, tidak adil dan paradoks bahwa, saat ini, ada makanan untuk semua orang namun tidak semua orang memiliki akses ke sana, dan bahwa di beberapa wilayah di dunia makanan terbuang dan dikonsumsi secara berlebihan, atau ditujukan untuk tujuan lain daripada kebutuhan akan nutrisi. Untuk melepaskan diri dari spiral masalah pangan ini, kita perlu mempromosikan

“lembaga ekonomi dan inisiatif sosial yang dapat memberikan akses reguler kepada masyarakat miskin ke sumber daya dasar pangan” (LS 109). (World Food Day, 2019)


MEMBANGUN SOLIDARITAS PANGAN

Kita dapat belajar bersama dari pengalaman dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang begitu dahsyat terjadi 2020-2021. Pandemi ini menyingkapkan betapa kita ini rentan dan saling terhubung satu sama lain. Jika kita tidak saling mempedulikan satu sama lain, mulai dari yang paling lemah, dengan mereka yang paling terkena, termasuk ciptaan, kita tidak dapat memulihkan kehidupan dari pandemic dan krisis lainnya. Dalam saat mengalami penderitaan karena pandemi Covid-19 itu, telah tumbuh perasaan bersama saling peduli satu sama lain, saling prihatin dan saling berbagi serta saling meneguhkan. Ada banyak contoh pengalaman baik seperti berbagi makanan, finansial dan menghibur yang berduka. Itulah semangat solidaritas. Untuk merawat dan mengembangkan keutamaan solidaritas, diperlukan inspirasi iman, tidak cukup hanya motivasi. Inspirasi itu dapat kita temukan dalam sabda Tuhan dan ajaran kristiani (bdk. Pesan HPS Keuskupan Agung Jakarta, 2021).

Solidaritas adalah salah satu prinsip dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG) Katolik. Yang dimaksud Solidaritas adalah “ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk membaktikan diri pada kesejahteraan umum, yaitu pada kebaikan semua orang dan setiap individu” (SRS art. 38). Secara antropologis, prinsip solidaritas mencakup keyakinan bahwa setiap pribadi membutuhkan sesama dan setiap pribadi bertanggung-jawab terhadap perkembangan diri dan hidup bersama. (lih. B. Kieser, Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, 14). Dalam perspektif ASG, solidaritas merupakan panggilan setiap orang untuk mewujudkan tanggungjawab sosial dalam mengembangkan hidup bersama secara manusiawi dan menyeluruh. (lih. CB. Mulyono, Solidaritas dan Perdamaian Dunia Dalam Sollicitudo Rei Socialis. Journal Teologi, Vo.04, No.02, Nov. 2015, 121-132).

Solidaritas terkait erat dengan kesejahteraan bersama. Yang dimaksud kesejahteraan bersama adalah “… keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih leluasa mencapai kesempurnaan mereka sendiri.” (GS art. 26) Kondisi-kondisi tersebut adalah berbagai fasilitas vital dan penting yang dibutuhkan untuk perkembangan manusia, termasuk pangan di dalamnya. Maka tujuan solidaritas adalah membangun kesejahteraan bersama. Solidaritas itu ada bila mereka yang terlibat dalam suatu gerakan solidaritas mengusahakan kesejahteraan umum untuk semua pihak. Kesejahteraan bersama adalah tanggung jawab bersama pula. (lih. M. Rudy Hermawan CM, Ajaran Sosial Gereja tentang Solidaritas. dalam RUDHER’s Pages, 2012).

Setiap pribadi mengemban tugas, amanat, dan tanggung-jawab mengembangkan hidup bersama sebagai wujud nyata keterlibatan pada rencana dan program Allah untuk mewujud-kan keselamatan dan damai sejahtera bagi dunia. Solidaritas merupakan tuntutan hidup bermasyarakat yang didasarkan pada solidaritas kasih Allah pada manusia dan bukan sekedar sebuah sistem sosial atau ideologi politik tertentu. (bdk. B. Kieser, Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, 181). Solidaritas merupakan dasar untuk mewujudkan hidup dan pelayanan kasih, rekonsiliasi dan persahabatan. Terutama kasih kepada mereka yang miskin/marginal. Orang-orang miskin perlu mendapatkan perhatian khusus. Para korban ketidakadilan dan struktur yang menindas layak perlu mendapatkan perhatian dalam proses pembangunan (SRS 42).

Mengapa kita mesti membangun solidaritas pangan? Hak atas pangan merupakan acuan doktrinal dan tindakan praktis yang diambil Gereja Katolik. Karena Gereja Katolik senantiasa memusatkan perhatian pada persoalan kemiskinan seperti kekurangan makanan. Perjuangan melawan kemiskinan merupakan kasih istimewa Gereja yang diajarkan oleh Yesus. Dalam Matius 25:35-36 dikatakan, “sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” (lih. Yohanes W.P, OFM, ibid). Banyak orang menyalahartikan bahwa pilihan keberpihakan kasih kepada mereka yang miskin merupakan tugas bagi beberapa orang saja. Pada hal ini adalah tugas perutusan Gereja sebagai keseluruhan, sebagaimana telah dikatakan oleh Santo Yohanes Paulus II (lih. SRS 42). “Setiap pribadi umat Kristiani dan setiap komunitas dipanggil menjadi alat Allah bagi pembebasan dan pembelaan pada masyarakat miskin” (EG, 187).

INSPIRASI BIBLIS TINDAKAN SOLIDARITAS

Teladan Solidaritas dapat kita ambil dari Orang Samaria yang baik hati (Luk.10:25-37). Penginjil Lukas memperlihatkkan bagaimana cinta kasih secara konkret dipraktekkan, dan hal itu menuntut pengorbanan yang tidak sedikit, juga berkaitan dengan harta milik. Sikap “berbelas kasih” orang Samaria ini mencerminkan sikap hati yang lazimnya dikaitkan dengan Allah (bdk. Luk 1:78) dan Yesus (Luk. 7:13). Pesan Injil Lukas dalam kisah ini adalah di mana ada penderitaan, orang miskin dan melarat, siapapun dia bahkan musuh sekalipun, di sana ada kesempatan untuk mengabdikan diri dan harta demi cinta kasih dan solidaritas terhadap sesama. Pesan ini berlaku umum dan untuk semua umat beriman, Orang Samaria yang baik hati ini menjadi model bagi kita semua, yang tidak dapat mengelak perintah Yesus pada akhir cerita ditegaskan: “Pergilah dan perbuatlah demikian” (ay 37b). (Hortensius F.Mandaru, Lic.Bib. Lukas: Injil Solidaritas, dalam DIAKONIA GEREJA. Pelayanan kasih Bagi Orang Miskin dan Marginal, hal. 20dst)

Prinsip berbagi dan solidaritas itu juga dilakukan dalam komunitas (Kis.2:41-47) dan Kis.4:32-39), Lukas menampilkan hidup berjemaat dari sudut ekonomi, yaitu “semua milik Bersama. Ideal “milik Bersama” ini adalah buah dari persekutuan iman (koinonia) yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam jemaat (bdk.43-47). Dalam Kis.2:45 ditegaskaan bahwa setiap kali ada kebutuhan yang mendesak, selalu ada anggota jemaat yang menjual harta miliknya dan hasilnya dibagikan kepada semua jemaat sesuai dengan kebutuhannya. Ini kebiasaan dalam masyarakat yang dilakukan secara sukarela. Satu dalam iman berarti juga satu dalam solidaritas. Sebuah tindakan kesaksian hidup terhadap dunia, sebab dengan itu “mereka disukai oleh semua orang” (2:47). Ibid

AKSI SOLIDARITAS PANGAN

Paus Fransiskus dalam beberapa pesannya menyambut HPS mengajak umat dan masyarakat dunia melakukan tindakan dan aksi nyata, karena tindakan kita sekarang ini menentukan masa depan (lih. World Food Day, 2019-2021). Baiklah beberapa ajakan tersebut kita perhatikan dan lakukan:

  1. Mengusahakan pola makan dan gaya hidup sedehana dan bersahaja. Tidak memboroskan sumber daya pangan (air, keanekaragaman hayati dst), tidak membuang makanan dan tidak mengkonsumsi pangan berlebihan dan tidak sehat. Memelihara lingkungan hidup sebagai sumber daya pangan.
  2. Menjadi penggerak dan pelopor dalam mempromosikan dan menganimasi masyarakat berkaitan dengan pola makan sehat, cukup, beragam dan pola hidup sederhana/bersahaja melalui berbagai kesempatan dan menggunakan media infromasi sosial. Masing-masing dari kita dapat memainkan peran dalam tujuan mulia ini, dimulai dengan kehidupan kita sehari-hari dan dengan gerakan yang paling sederhana.
  3. Pandemi memberi kita kesempatan untuk mengubah arah dan berinvestasi dalam sistem pangan global yang dapat menangani krisis di masa depan dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, kontribusi berharga dari produsen skala kecil sangat penting, memfasilitasi akses mereka terhadap inovasi yang ada. Ketika diterapkan pada sektor pertanian maka dapat memperkuat ketahanan pangan terhadap perubahan iklim, meningkatkan produksi pangan dan mendukung mereka yang bekerja dalam rantai nilai pangan.
  4. Salah satu wujud solidaritas, perbuatan baik atau hati yang tergerak adalah berbagi makanan sehat. Ini adalah inisiatif dan gerakan tiada putus yang sudah terjadi baik ditujukan kepada saudari-saudara kita yang masih terdampak oleh wabah corona 19 maupun saudari-saudara kita yang terdampak krisis pangan. Gerakan solidaritas berbagi makanan sehat bisa kita maknai sebagai salah satu upaya untuk memajukan kesejahteraan umum dan mengangkat serta menjunjung tinggi martabat manusia.
  5. Perjuangan melawan kelaparan menuntut kita mengatasi logika dingin pasar, yang dengan rakus berfokus pada keuntungan ekonomi belaka dan pengurangan pangan menjadi komoditas, seperti banyak komoditas lainnya. Kita diajak untuk membangun dan memperkuat logika solidaritas.
  6. Menghidupkan kembali nilai-nilai budaya lokal dalam membangun ketahanan dan solidaritas pangan serta konsumsi makanan berbasis alami. misalnya membangun lumbung padi dan pangan lainnya bersama-sama, menghidupkan semangat gotong royong dalam pekerjaan pertanian sawah, kebun dll.

PENUTUP

Solidaritas pangan dalam bentuk kecukupan pangan dan ketersediaan pangan yang sehat dan lestari menjadi tujuan usaha bersama semua orang. Mengembangkan sumber daya pangan yang ada, mengelolanya dengan baik dalam semangat cinta kasih sehingga semua memproleh makanan yang cukup adalah upaya kita mewujudkan kesejahteraan bagi semua. Dengan demikian, tidak ada lagi orang yang kelaparan karena tidak dapat memperoleh makanan. Yesus mengingatkan kita semua, supaya kita memberi makan kepada mereka yang lapar (Mrk.6:34-44). Harapannya, semoga tema HPS 2022, “SOLIDARITAS PANGAN” (Semakin Peduli dan Murah Hati) ini berguna bagi refleksi iman dan penataan kehidupan bersama dalam masyarakat agar terang Injil semakin terpancar dan pesannya terwujud.

Selamat Merayakan Hari Pangan Sedunia

“Semoga Tuhan memberkati manusia dan bumi dan segala isinya. Amin.”


Download Leaflet HPS 2022: Leaflet HPS 2022.pdf

Download Poster HPS 2022: Poster HPS 2022.jpg