Ada legenda kuno tentang Petrus, yang menjadi dasar novel Polandia Quo Vadis yang ditulis Henryk Sienkievicz antara tahun 1895-1896. Tulisan itu difilmkan pada 1951. Pada saat penganiayaan besar-besaran di bawah pemerintahan Nero, umat Kristen di Roma mendesak pergi dari kota Roma. “Anda terlalu berharga untuk mati akibat penganiayaan itu,” kata mereka. “Pergilah dari kota ini! Temukanlah tempat persembunyian demi keamanan Anda! Pergilah ke tempat lain dan beritakan Injil di tempat yang lebih aman.” Petrus buru-buru bergegas keluar kota secepat yang dapat dilakukannya.
Akan tetapi, saat bergegas menyusuri Via Appia, menjauh dari Kota Abadi, ia berjumpa dengan Kristus. Kristus sedang berjalan menuju arah yang berlawanan darinya, yaitu menuju ke kota Roma. Petrus bertanya kepadanya dalam bahasa Latin, “Quo vadis, Domine?” “Mau ke mana, Tuhan?” Yesus menjawab, “Kembali ke Roma, untuk disalib untuk kedua kalinya bersama umat-Ku yang teraniaya.” Yesus balik bertanya kepada Petrus, “Mau ke mana kamu akan pergi, Petrus?” Mata Petrus langsung berkaca-kaca penuh penyesalan. Seketika itu juga Petrus berbalik dan berjalan kembali ke Roma.
Di sanalah menurut tradisi, Petrus disalib dengan kepala berada di bawah karena merasa tidak layak untuk mati dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Tuhannya. Pertanyaan Yesus kepada Petrus juga terlintas di benak kita: “Quo vadis?” “Ke mana kamu pergi?” Apakah kita akan mengikuti Kristus atau menjauh dari Dia dan salib-Nya? Itu adalah pertanyaan yang sangat penting. Tidak peduli seberapa jauh kita telah melakukan perjalanan. Yang penting adalah arah yang kita tuju, yaitu searah dengan jalan Kristus.
Perjanjian keselamatan
Setiap orang yang pernah membeli polis asuransi atau menandatangani kontrak mengetahui bahwa ia harus membaca semua ketentuan, bahkan yang tercantum dalam cetakan-cetakan kecilnya. Allah telah membuat kontrak dengan kita. Akan tetapi, kita menyebutnya bukan kontrak, melainkan perjanjian. Sama seperti kontrak, perjanjian Allah dengan diri kita itu juga mendesak kita untuk membaca semua ketentuan kontrak. Semua ketentuan itu ada pada Kitab Suci. Kitab Suci, yang menceritakan semua tindakan Kristus, menyajikan kepada kita dengan huruf tebal, yang harus kita ketahui tentang perjanjian kita dengan Allah. Dengan membaca itu, kita lantas mengetahui bahwa kontrak diikat hukum sipil. Sedangkan, perjanjian diikat oleh kasih. Ikatan perjanjian Allah dengan kita tampak jelas dalam Gereja. Kekuatan pengikat perjanjian antara Allah dengan kita dalam Gereja adalah kasih Allah, yang ditanggapi dengan kasih kita.
Sebuah kontrak menunjukkan dan menegaskan kewajiban kedua belah pihak. Ketentuan-ketentuan kewajiban itu dicetak jelas pada kertas, ditandatangani, dan disegel atau dimeteraikan. Perjanjian Allah dengan kita diungkapkan dalam diri seseorang. Seseorang itu adalah Yesus Kristus. Di dalam diri-Nya ada kasih Allah yang bersifat Ilahi. Sekaligus, di dalam dalam kemanusiaan-Nya, terdapat kasih kita. Ini berarti bahwa untuk memahami perjanjian kasih antara Allah dan kita sebagai manausia, pertama-tama kita harus mengikuti Yesus Kristus.
Injil hari ini mengungkapkan bahwa Yesus menunjukkan kewajiban-Nya dalam perjanjian. Ia akan pergi ke Yerusalem. Di sana Ia akan menderita dan wafat untuk menebus dosa kita. Ia akan memeteraikan perjanjian kasih itu, bukan dalam bentuk tanda tangan atau meterai sepuluh ribu, melainkan dengan darah-Nya sendiri. Selanjutnya, Ia menunjukkan kewajiban Allah Bapa dalam perjanjian itu. Kewajiban itu adalah bahwa dengan menerima kasih yang diungkapkan dalam kematian Putra-Nya, Allah Bapa akan mengangkatnya ke kehidupan baru.
Pertanyaannya, apa kewajiban kita dalam perjanjian? Yesus menyatakannya seperti ini. “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Lukas 9:23). Kewajiban itu mungkin tampak seperti kasih yang aneh karena harus menyangkal diri dan memikul salib untuk mencapai kepenuhan hidup. Akan tetapi, itulah hikmat Tuhan. Kita menyebut hikmat itu sebagai Misteri Paskah. Misteri itu tidak mudah untuk dipahami, apalagi dihayati. Jangankan kita manusia biasa, nabi besar Yeremia pun berjuang untuk memahami hikmat Allah itu. Yeremia tidak segan-segan mengeluh. “Engkau telah membujuk aku ya Tuhan dan aku telah membiarkan diriku Kaubujuk” (Yeremia 20:7). Hanya atas bujukan Allah, Yeremia menerima perutusan dan tugasnya sebagai nabi untuk menyampaikan firman Allah. Tak lama setelah melaksanakn tugas dan perannya itu, Yeremia mengungkapkan bahwa “Firman itu telah menjadi cela dan cemooh bagi dirinya sepanjang hari. Akan tetapi, ia mau berlelah-lelah untuk menahannya, karena ada sesuatu seperti api yang menyala-nyala yang membuatnya sanggup bertahan” (Yeremia 20:9).
Persembahan yang hidup
Rasul Paulus dengan wahyu lebih lengkap yang diterimanya, memiliki pemahaman yang lebih baik tentang Misteri Paskah itu. Pada suratnya kepada jemaat Roma (Roma 8:8-11) Paulus mendesak jemaat Roma untuk menanggapi kasih Allah dengan mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. Itulah ibadah yang sejati! Kita mendapat undangan untuk mengikuti desakan itu dengan berpartisipasi dalam setiap perayaan Sakramen secara pantas, terutama Sakramen Ekaristi. Itu akan menjadi cara kita meneguhkan perjanjian kita dengan Bapa, suatu perjanjian yang dibuat dalam darah Kristus, darah perjanjian yang baru dan abadi.
Kita harus terus merenungkan syarat-syarat perjanjian kasih antara Allah dengan kita. Dengan iman dan kemurahan Allah, kita akan sanggup menerima syarat itu dengan suka hati karena dengan demikian kita mempersatukan diri kita dengan Yesus Kristus, Anak Allah yang akan menuntun kita pada kepenuhan kasih yang merupakan makna sesungguhnya dari perjanjian kita dengan Allah.