Tanggung Jawab Gereja dalam Membentuk Karakter Bangsa

Dalam alinea pertama Dekrit Konsili Vatikan Kedua tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes (1965), para Bapak Sinode menulis: “Gereja diutus oleh Allah untuk menjadi “sakramen universal keselamatan. Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hakiki sifat katoliknya, menaati perintah Pendirinya (lih. Mrk 16:16), Gereja sungguh-sungguh berusaha mewartakan Injil kepada semua orang. Sebab para Rasul sendiri, yang menjadi dasar bagi Gereja, mengikuti jejak Kristus, “mewartakan sabda kebenaran dan melahirkan Gereja-Gereja”. Adalah tugas para pengganti mereka melestarikan karya itu, supaya “sabda Allah terus maju dan dimuliakan” (2Tes 3:1), dan Kerajaan Allah diwartakan dan dibangun di mana-mana.”

Melalui Ad Gentes, kita diingatkan akan hakikat misioner Gereja untuk menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan melalui karya pewartaan Injil kepada semua orang sebagaimana diamanatkan Yesus. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mrk 16: 15) Perintah ini kiranya merupakan amanat perutusan bagi para murid Kristus untuk meneruskan karya pewartaan dan pelayanan Yesus yang senantiasa mewartakan Kerajaan Allah dan berkeliling berbuat baik. Lewat karyaNya, Yesus hendak memulihkan kodrat manusia sebagai citra Allah yang telah dirusak dosa, mengembalikan martabat bangsa terpilih sebagai umat Allah, dan memanusiakan (menyelamatkan) manusia melalui jalan pertobatan dan penyembuhan.

Memulihkan kodrat, mengembalikan martabat, dan memanusiakan manusia sebagai tindakan karya penyelamatan dapat diwujudkan melalui banyak jalan sesuai dengan situasi dan kondisi di mana Gereja, kita semua, berada. Gereja dipanggil untuk terlibat dalam karya penyelamatan dengan bersentuhan langsung dengan manusia dan bangsa serta bahasa dan budaya setempat. Agar karya penyelamatan dapat terlaksana dengan baik, kita dituntut dengan rendah hati bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik.

Salah satu karya keselamatan adalah membentuk karakter bangsa yang luhur sesuai dengan nilai-nilai manusia dan kristiani. Dalam konteks Indonesia, Gereja diutus untuk berperan aktif dalam membentuk karakter bangsa yang Pancasilais. Kalau kita memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Dasar Negara, kita pasti mengamini nilai-nilai tersebut dengan sepenuh hati karena nilai-nilai tersebut sejalan dengan nilai-nilai Kristiani yang dalam bahasa Ad Gentes, sesuai “tuntutan-tuntutan hakiki sifat katoliknya.” Semakin orang hidup berdasarkan nilai-nilai Kristiani, seharusnya ia makin Pancasilais. Demikianlah kian orang mampu mewujudkan nilai-nilai dari kelima sila Pancasila, seharusnya ia semakin Kristiani.

Melalui karya pendidikan, kesehatan, pelayanan karitatif, serta dialog antar agama dan budaya, Gereja berusaha membangun karakter bangsa. Makin orang terdidik, semoga ia semakin manusiawi. Makin orang sehat, semoga ia semakin selamat. Makin orang mendapat bantuan karitatif, semoga ia semakin sejahtera dan mampu mandiri. Makin orang bergaul dengan sesama antara agama dan budaya, semoga ia semakin nasionalis. Walau semua karya keselamatan tersebut sudah dilakukan Gereja, pembangunan karakter bangsa belumlah tercapai sesuai harapan. Mentalitas dan moralitas sebagian warga negara masih memprihatinkan. Di situlah Gereja diajak untuk lebih fokus lagi pada pembangunan karakter bangsa, yang Pancasilais.

Salah satu peran Gereja dalam membangun karakter bangsa adalah juga menjadi teladan dalam menghidupi nilai-nilai Pancasila. Agar dapat menjadi saksi luhur akan nilai Pancasila yang sejalan dengan nilai Injil, kita diundang untuk menampilkan kehidupan yang berdasarkan hati nurani melalui perkataan dan perbuatan yang bermoral dan beretika. Sikap moral dan pandangan etis tidak dipahami secara sama oleh setiap orang. Masing-masing mempunyai perspektifnya sendiri dalam menyikapi moralitas universal dan etika objektif. Untuk itulah, kita harus berani menyuarakan tuntutan etis dan ajakan moral objektif sekalipun mungkin ada yang melecehkannya karena pengaruh virus individualistik, materialistik, dan konsumeristik. Belum lagi, ada sikap politik oportunis yang menghalalkan segala hal hingga tega melanggar norma etis. Perbedaan pendapat berkaitan dengan moralitas dan etika ini juga di antara para warga Gereja. Ada umat yang berbeda pandangan dengan ajaran Gereja dan kebijakan para gembalanya.

Salah satu masalah moral yang menghambat atau mencoreng proses pembangungan karakter bangsa adalah korupsi. Konferensi Waligereja Indonesia membuat Nota Pastoral tentang Korupsi dengan judul: “Mencegah dan Memberantas Korupsi” (2017) yang merupakan kelanjutan dari Seruan Pastoral Sidang KWI 2016 “Stop Korupsi: Mencegah dan Membedah Perilaku Koruptif.” Dalam Notal Pastoral 2017, pada bagian ketiga diuraikan ajaran Gereja mengenai korupsi, di mana Paus Fransiskus menegaskan bahwa seorang Kristen yang terlibat dalam korupsi bukan seorang Kristiani. Pada bagian keempat, kita diajak untuk berkomitmen baik secara personal maupun komunal dalam memberantas korupsi di dalam lingkup keluarga, sekolah, tempat kerja serta di lingkungan Gereja. Akhirnya, para Bapak Uskup mengajak kita semua untuk mengembangkan pendidikan dan gerakan antikorupsi agar menjadi habitus baru dalam diri setiap orang Katolik. Inilah salah satu contoh bagaimana Gereja turut berperan dalam membentuk karakter bangsa dengan cara memperbaiki dan mengembangkan karakter orang Katolik sendiri.

Agar Gereja makin efektif berperan dalam membangun bangsa, semua orang Katolik dipanggil untuk hidup, berkarya, dan bersaksi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan ajaran Gereja dengan sukarela dan sukacita melibatkan diri dalam pelayanan kemasyaratan dan kebangsaan sesuai posisi dan fungsi masing-masing. Keterlibatan para anggota Gereja dalam membangun bangsa juga ditegaskan dalam Nota Pastoral KWI tahun 2018 “Panggilan Gereja dalam Hidup Berbangsa, Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan.” yang berfungsi sebagai pedoman gerak bersama bagi umat Katolik yang berwawasan kebangsaan. Seluruh umat Katolik diajak untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman kehidupan bersama. Iman harus diwujudkan dalam kasih Kristiani dan dibuktikan dalam kehidupan sesuai nilai-nilai Pancasila. Dengan begitu setiap orang Katolik sadar akan dirinya sebagai umat Gereja dan warga negara.

Masih ada banyak Nota Pastoral KWI lain misalnya yang berkaitan dengan pendidikan, kejahatan sosial narkoba, dan lingkungan. Semua tulisan yang terbatas ini merupakan ungkapan tak terbatas dari iman pada Allah dan komitmen Gereja dalam mewujudkan Kerajaan Allah di Indonesia sebagai partisipasi dalam membangun karakter bangsa. Peranan Gereja dalam membangun karakter bangsa tidak dibatasi oleh tulisan Surat Gembala atau Nota Pastoral, tetapi dalam gagasan, kesadaran, dan Gerakan bersama mewujudkan nilai-nilai Kristiani dan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Ut diligatis invicem,

Antonius Subianto Bunjamin, OSC