Dalam satu seminar sehari di kantor pendidikan menengah di Bandung tentang budaya Sunda, saya menyebut ungkapan populer di Sunda, yaitu Tekad-Ucap-Lampah. Dalam salah satu tanggapan oleh tokoh Sunda, beliau mengatakan bahwa Tekad-Ucap-Lampah lebih sangat dipahami oleh orang Sunda. Mungkin beliau tahu bahwa saya orang Jawa. Suatu reaksi yang wajar, karena saya juga ingat pernah menyangsikan ucapan kritikus sastra asal Kalimantan yang menjadi dosen di Gajah Mada, Faruk H.Y yang mengatakan orang Jawa suka yang serba tua. Tahu apa dia tentang Jawa. Tapi lama kemudian Faruk ada benarnya, sebab orang Jawa kalau masak suka memakai tempe bosok yang berbau busuk. Suka ikan peda, teri yang juga ada unsur pembusukan. Faruk ternyata menyadarkan kejawaan saya yang melihat ada unsur kesukaan yang serba busuk atau tua pada orang Jawa. Mungkin yang ribut soal identitas budaya lama dalam sastra di Indonesia bermula dari orang Jawa. Bung Karno sering menghidupkan wayang dalam pidatonya, tetapi Bung Hatta dan Bung Syahrir yang Melayu tidak, bahkan akrab dengan pemikiran barat mutakhir.
Kembali pada ungkapan Sunda Tekad-Ucap-Lampah, sebenarnya dikenal juga oleh orang Jawa dalam bentuk : niat-ilmu-laku. Dan di Bali dikenal : Hidap-Sabda-Bayu yang juga dikenal di Sunda kuno sebagai Hedap-Sabda-Bayu. Dengan demikian memahami kejawaan saya tak cukup dengan pengalaman hidup sehari-hari Jawa, tetapi juga masa lalunya yang panjang. Tak cukup dengan itu, tetapi juga perbandingan dengan suku-suku lain. Rupanya kesamaan itu berasal dari zaman Hindu-Indonesia yang berkembang di Sunda, Jawa dan Bali. Sedang di Sumatra berkembang Kerajaan Sriwijaya yang Budha.
Kembali pada Tekad-Ucap-Lampah di Sunda berasal dari kepercayaan Baduy menurut manuskrip Soeria Sapoetra, yaitu mitologi ketuhanan Sunda primordial. Pada mulanya yang ada hanya kehampaan. Awang-awang uwung-uwungan. Dari sumber kehampaan muncul tiga batara yaitu Batara Keresa (tekad), Batara Kawasa (lampah, perbuatan, tenaga), dan Batara Bima Makarana (ucap, pikiran, sebab), lalu ketiganya menyatu dalam bentuk Batara Tunggal. Dengan demikian Batara Keresa disebut yang pertama; kedua tenaga ketiga pikiran. Ucap, Lampah, Ucap. Bukan Tekad, Ucap, Lampah.Urutan Tekad-Ucap-Lampah berlaku bagi manusia pada umumnya. Ucap untuk manusia sempurna atau dewa-kamanusan (orang suci) yang sakti mandraguna, pembuat mujizat yang tak bisa dijelaskan dengan hukum sebab akibat manusia. Apa yang dia inginkan langsung terjadi.
Dalam buku Sunda lama Sewaka Darma, dijelaskan bahwa urutan Lampah-Ucap-Tekad hanya berlaku bagi Tuhan yang disebut Sang Hyang Hurip. Segala yang hidup yang bertumbuh dan berubah selalu mengandung kesatuan tiga potensi itu, yakni keinginan, pemikiran dan tenaga. Yang tumbuh dan berubah itu ada di jenis tumbuhan, hewan dan manusia karena nyata terbentuk. Dalam buku Garry Zukav, The Seat of the Soul (1990) dinyatakan bahwa hewan juga punya urutan tersebut, hanya tingkat pemikirannya kolektif, bukan tanggung jawab individual seperti manusia. Pada jenis tumbuhan tingkat pemikiran tak ada. Pada tumbuhan dan hewan tak kenal dosa.
Pola tiga berupa Tekad-Lampah-Ucap, Tekad-Ucap-Lampah dan Lampah-Ucap-Tekad merupakan dasar filosofis Sunda. Karena orang Indonesia tak kenal filsafat (philo sophie) sejak dulu, kecuali yang dinamakan filsafat itu dapat dipraktekkan dalam hidup kerohaniannya. Itulah sebabnya praktek hidup masyarakat Sunda banyak berdasarkan filsafat itu. Hidup akan selamat di dunia ini kalau Lampah-Ucap-Tekad atau Sang Hyang Hurip dihadirkan dalam diri mereka dalam semua kegiatan hidup.
Dalam membangun rumah, pola tiga ini dilaksanakan dalam bentuk tiga atap yang melindungi tiga ruang rumah. Atap belakang melindungi dapur dan goah (penyimpan beras) yang merupakan daerah perempuan yang bernilai Tekad. Kedudukan perempuan Sunda adalah sebagai Tekad. Kepala rumah tangga modern, bapak, tak dapat memutuskan hal penting tanpa persetujuan perempuan. Rumah itu sendiri bernilai perempuan. Di kampung adat Ciptagelar, seorang lelaki yang belum menikah tak boleh punya rumah. Kalau sudah beristri baru boleh punya rumah. Dan kalau mereka cerai maka rumah milik istri. Itulah adatnya, tetapi sekarang dapat berbeda karena filosofi adatnya tak pernah diajarkan.
Bentuk kampung juga berfilosofi Lampah-Ucap-Tekad. Kampung Tekad mengurusi adat (kabuyutan kampung biasanya dekat kampung adat ini), biasanya jauh dari dua kampung yang lain, yakni kampung Ucap yang mengurusi pemerintahan kampung, dan kampung Lampah yang mengurusi keamanan dan hubungan dengan Kampung lain. Kesatuan tiga kampung itu juga harus terletak di antara dua sungai yang bertemu yang melahirkan sungai ketiga yang perpaduan dua sungai tersebut.
Dasar filosofi ini adalah bahwa manusia harus punya kehendak yang benar dan baik, jadi bukan pemikirannya yang cerdas. Kalau punya kehendak baik maka dasar untuk menjadi manusia sempurna sudah dekat. Mungkin itulah sebabnya orang Baduy menolak sekolah. Pikiran pintar dan banyak omong itu membahayakan manusia. Manusia baik adalah manusia dengan tekad yang baik. Tekad yang baik itu dekat dengan Sang Hyang Hurip. Tekad Sang Hyang Hurip itu tersembunyi dalam ciptaannya berupa alam semesta ini.
Alam ini adalah Sabda Sang Hyang Hurip. Alam ini adalah Lampah Sanghyang Urip. Kitab suci adat ini adalah alam. Itulah sebabnya banyak pepatah dan peribahasa adat yang bertolak dari alam. Tiada rotan akar berguna. Atau dalam pantun Melayu, alam dilukiskan lebih dahulu agar manusia dapat belajar dari kebenarannya. Alam terkembang menjadi guru.
Jacob Sumardjo