Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allah. Baik bagi Gereja universal dan Gereja partikular, maupun bagi setiap orang beriman, Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan kristiani. Perayaan Ekaristi merupakan puncak karya Allah menguduskan dunia, dan puncak karya manusia memuliakan Bapa melalui Kristus, Putra Allah, dalam Roh Kudus (bdk. Sacrosanctum Concilium 10, Lumen Gentium 11, dan Pedoman Umum Misale Romawi 16). Oleh karena itu, kita memanjatkan doa kepada Bapa surgawi, dengan pengantaraan Yesus Kristus, Imam Agung kita, dan dalam Roh Kudus: doa yang melebihi harumnya dupa mana pun. Unsur dupa dalam liturgi romawi sebelum Konsili Vatican II merupakan hal yang wajib ada dalam Missa sollemnis yakni Misa meriah atau Misa agung. Akan tetapi, sekarang ini pendupaan bersifat fakultatif dan bukan suatu keharusan. Merayakan Misa dengan pendupaan menunjukkan kemeriahan Misa yang berlangsung dan memperlihatkan tingkatan Misa yang dirayakan.
Penggunaan dupa pertama-tama bukan berasal dari tradisi Yahudi melainkan sudah ada jauh sebelumnya yakni dalam traditio paganis atau tradisi penyembahan berhala. Secara berangsur-angsur, kebiasaan ini diterima dan dimasukkan dalam bagian Gereja romawi kuno meskipun dengan makna dan fungsi yang berbeda. Di Roma, pendupaan muncul pertama kali dalam perayaan Ekaristi sekitar abad VII-VIII, yang merupakan simbol penghormatan yang diberikan kepada Paus sebagai in persona Christi (dalam pribadi Kristus) dan kepada kitab Injil sebagai simbol Kristus juga. Pada abad IX, pendupaan altar dilakukan untuk pertama kalinya dalam Misa, yang dilanjutkan dengan pendupaan untuk para klerus, serta mendupai bahan persembahan. Selain itu, mendupai altar pada saat menyanyikan Kidung Zakharia dan Kidung Maria dalam Ibadat Harian, juga sudah dimulai pada abad ini dan berlaku secara umum pada abad XI.
Dalam ritus Romawi, penggunaan dupa dalam liturgi tidak seistimewa dalam ritus Timur yang bahkan menjadikan pendupaan sebagai salah satu simbol utama dan ciri khas dalam liturgi mereka. Dupa dan aroma lainnya yang dibakar di depan altar pada dasarnya bertujuan untuk membangkitkan jiwa umat beriman agar berdoa dengan khidmat: “Dirigatur, Domine, oratio mea, sicut incensum, in conspectu tuo” yang dapat diartikan dengan “Tuhan, semoga doaku sama seperti dupa yang terarah kepada-Mu (bdk Mzm 141:1-2). Dalam tradisi Yahudi, wewangian dupa dapat menutupi efek bau yang tidak menyenangkan dari hewan persembahan dan darah kurban sehingga mereka dapat mengarahkan hati kepada Tuhan. Maka, pada kesempatan kali ini, kita akan mendalami tiga catatan penting tentang pendupaan dalam Misa berdasarkan sejarah singkat liturgi: significatio incensi, utilitas incensi, dan modus incensi.
Significatio Incensi
Catatan penting yang pertama tentang pendupaan adalah significatio incensi atau makna dari pendupaan. Makna dupa yang pertama adalah bentuk doa. Dupa yang dibakar pada pedupaan atau turibulum menghasilkan kepulan asap yang harum mewangi dan terarah ke atas sebagai gambaran doa orang percaya yang naik ke surga. Ke atas merupakan “tempat simbolis” tempat tinggal Allah atau “doa-doa orang kudus” yang naik takhta (bdk. Why 8:1-4). Makna dupa yang lain adalah tanda penghormatan. Sebagai tanda penghormatan, imam dan diakon mencium altar; dan sesuai dengan tingkat perayaan, imam dapat juga mendupai salib dan altar karena merupakan simbol Kristus (bdk. PUMR 49). Selain itu, dalam ritus persembahan, Imam dapat mendupai bahan persembahan yang telah disiapkan di atas altar; kemudian imam juga mendupai salib dan altar sendiri. Pendupaan itu melambangkan persembahan dan doa Gereja yang naik ke hadirat Allah. Sesudah itu, imam dan umat pun dapat didupai oleh diakon atau pelayan lain; imam didupai karena pelayanan kudus yang ia sandang sedangkan umat didupai karena martabat luhur yang mereka peroleh melalui pembaptisan (bdk. PUMR 75).
Utilitas Incensi
Catatan penting yang kedua tentang pendupaan adalah utilitas incensi atau penggunaan pendupaan dalam liturgi. Pemakaian dupa secara detail diatur dalam PUMR 276-277 dan Caeremoniale Episcoporum 84-98. Dalam setiap bentuk Misa boleh digunakan dupa: selama perarakan masuk; pada permulaan Misa untuk menghormati salib dan altar; waktu perarakan dan pewartaan Injil; sesudah roti dan anggur disiapkan di altar, bahan persembahan, salib, dan altar didupai; juga imam dan umat; pada waktu hosti dan piala diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing.
Selain itu, pendupaan dapat dipakai juga dalam ritus dedikasi gereja atau altar; dalam ritus pemberkatan minyak dan konsekrasi minyak krisma, sementara minyak yang sudah diberkati dan minyak krisma yang telah dikonsekrasi dibawa pergi; dalam pentakhtaan Sakramen Mahakudus, ketika monstrans digunakan; dan termasuk dalam ritus pemakaman. Di samping itu, dupa menurut aturannya juga dapat digunakan selama prosesi-prosesi untuk pesta Penampakan Tuhan, Minggu Palma, Misa Perjamuan Terakhir, Malam Paskah, hari raya Tubuh dan Darah Kristus, perayaan meriah pemindahan relikui dan, secara umum, dalam setiap prosesi meriah lainnya.
Modus Incensi
Catatan penting yang ketiga tentang pendupaan adalah modus incensi atau cara pendupaan yang secara detail dijelaskan dalam PUMR 277 dan CE 91-95. Beberapa cara dapat dilakukan sebagai berikut: sesudah mengisi pedupaan di awal Misa, imam memberkatinya dengan membuat tanda salib di atasnya, tanpa mengatakan apa-apa; Sebelum dan sesudah pendupaan, petugas membungkuk khidmat ke arah orang atau barang yang didupai, kecuali dalam pendupaan altar dan bahan persembahan untuk Ekaristi.
Pendupaan dilaksanakan dengan mengayunkan pedupaan ke depan dan ke belakang. Pedupaan diayunkan tiga kali untuk penghormatan: Sakramen Mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; bahan persembahan; salib altar, Kitab Injil, lilin paskah, imam dan umat. Pedupaan diayunkan dua kali untuk penghormatan: relikui dan patung orang kudus yang dipajang untuk dihormati secara publik. Semua ini didupai hanya pada awal perayaan Ekaristi, sesudah pendupaan altar. Altar didupai dengan serangkaian ayunan tunggal sebagai berikut: Kalau altar berdiri sendiri, imam mendupai altar sambil mengelilinginya; Kalau altar melekat pada dinding, maka imam mendupai sambil berjalan ke sisi kanan lalu ke sisi kirinya. Kalau ada salib di atas atau di dekat altar, maka salib itu didupai sebelum altar. Atau, imam mendupai salib pada saat ia melintas di depannya. Sebelum mendupai salib dan altar, imam mendupai bahan persembahan dengan mengayunkan pedupaan tiga kali atau dengan membuat tanda salib dengan pedupaan di atas bahan persembahan.
Demikianlah tiga catatan penting tentang pendupaan dalam Misa dijelaskan secara singkat. Semoga penjelasan ini dapat membantu pemahaman, makna, serta praktek pendupaan di paroki kita masing-masing sehingga meskipun bukan suatu keharusan alias fakultatif, penggunaan dupa dalam Misa dapat membuat suasana semakin meriah dan membantu kita menghayati kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi.
RP. Riston Situmorang OSC
Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR