TIGA DASAR MEMBUAT TANDA SALIB PADA AWAL KIDUNG ZAKHARIA DAN KIDUNG MARIA

Membuat tanda salib pada awal Kidung Zakharia dalam Ibadat pagi dan pada Kidung Maria dalam Ibadat sore, untuk beberapa kelompok religius, kaum klerus atau kelompok awam yang mendoakan offisi khususnya di Indonesia akan terasa aneh karena menjadi suatu ritus yang tampaknya baru. Padahal, ritus tersebut sebenarnya sudah ada sejak awal pada saat pedoman atau aturan yang berlaku dipugar. Oleh karena itu, perlulah mengetahui tiga dasar utama membuat tanda salib di awal kidung Zakharia dalam Ibadat pagi dan di awal kidung Maria dalam Ibadat sore. Ketiga dasar tersebut bersumber pada pedoman ibadat harian, tradisi Gereja dan pendapat para ahli, serta dasar unitas dan universalitas Liturgi. 

Pedoman Ibadat Harian

Dasar yang pertama adalah pedoman ibadat harian. Kita bisa saja berpendapat bahwa membuat tanda salib pada liturgia horarum (liturgi harian) atau sering kita sebut dengan istilah ibadat harian khususnya dalam laudes (ibadat pagi) dan vesper (ibadat sore), adalah tindakan yang kontra-produktif. Kita tahu bahwa sejak Konsili Vatican II, ritus membuat tanda salib baik pada Liturgi Sakramen, Liturgi Sakramentali, dan Liturgi Harian jelas-jelas mengalami pengurangan yang cukup signifikan yakni cukup membuat tanda salib dua kali saja: di bagian awal dan bagian akhir perayaan. Hanya saja, perlu diingat bahwa ada tambahan yakni membuat 3 tanda salib kecil pada Perayaan Ekaristi khususnya pada ritus “Bacaan Injil”. Bacaan Injil menjadi puncak dari Liturgi Sabda. Itu sebabnya, ada beberapa bentuk penghormatan yang secara istimewa pada ritus tersebut dan salah satunya adalah dengan membuat tanda salib. Hal yang sama juga terjadi dalam Liturgi Harian yakni membuat tanda salib pada saat membacakan Injil. Akan tetapi, jika kita perhatikan dengan baik, kita tidak pernah menemukan ritus bacaan Injil dalam Liturgi Harian. Satu-satunya ritus bacaan Injil yang kita temukan adalah pada saat menyanyikan kidung Zakharia dan kidung Maria.

Institutio Generalis De Liturgia Horarum 1971 (diterjemahkan dengan Pedoman Ibadat Harian) nomor 138 menjelaskan bahwa kidung-kidung dari Injil yaitu Benedictus (kidung Zakharia), Magnificat (kidung Maria), dan Nunc Dimittis (kidung Simeon) didaraskan secara meriah dan penuh hormat, sebagaimana layaknya pada teks Injil. Hal ini dipertegas lagi oleh pedoman ibadat harian no. 266 b: “Semua membuat tanda salib dari dahi ke dada dan dari bahu kiri ke kanan pada permulaan kidung Zakharia, kidung Maria dan kidung Simeon”. Dengan demikian, perlulah membuat tanda salib sesuai anjuran pedoman yang berlaku. 

Tradisi Gereja dan Pendapat Para Ahli 

Dasar yang kedua adalah tradisi Gereja dan pendapat para ahli Liturgi. Kehidupan berliturgi saat ini, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari tradisi yang telah dihidupi oleh Gereja selama berabad-abad. Beberapa pandangan ahli yang mendukung berikut ini dapat dijadikan pendasaran terhadap praktik membuat tanda salib di awal kidung Zakharia dalam ibadat pagi dan kidung Maria dalam ibadat sore: Vincenzo Raffa, seorang ahli liturgi dan pernah menjabat sebagai sekretaris komisi yang membahas tentang reformasi brevir menegaskan bahwa Benedictus (kidung Zakharia) dan Magnificat (kidung Maria) memiliki martabat dan keagungan yang sama dengan bacaan Injil dalam Misa. Oleh karena itu, penghormatan yang sama dengan membuat tanda salib pada ritus tersebut adalah tindakan yang pantas. Jungmann mempertegas gagasan ini dengan mengatakan bahwa ritus yang setara dengan bacaan Injil dalam Misa seperti kidung Zakharia dan kidung Maria memiliki kedudukan yang sama dan dapat dihormati dengan yang sama pula (bdk. Jungmann, Missarum Sollemnia I, 107). Bahkan Pedoman Ibadat Harian no. 261 menambahkan bahwa tidak hanya dengan membuat tanda salib saja tetapi juga selama kidung Zakharia dan kidung Maria dinyanyikan, altar dapat didupai. Tindakan simbolis ini mau memperlihatkan bahwa kidung Zakharia dan kidung Maria mendapatkan perlakuan yang khusus. Kendati dalam sejarah liturgi, tindakan membuat tanda salib pernah hilang akan tetapi sampai sekarang ritus tersebut dipertahankan sebagai kekayaan Gereja (bdk. M. Righetti, Storia Liturgica I, 372-373).

Kidung Zakharia dan kidung Maria pertama kali dikidungkan dalam offisi sejak dimasukkan dalam Regula St. Benediktus yang dipopulerkan oleh Amalarius sekitar tahun 850 dalam offisi romawi kuno (bdk. Amalario, Offisi IV, 7, 19). Dalam offisi tersebut fungsi kidung Zakharia dan kidung Maria adalah sebagai suatu pemuliaan, madah syukur, dan pujian bagi Allah demi penebusan manusia. Origenes berkata bahwa benedictus secara khusus merupakan kemuliaan akan Kristus sebagai Fajar Timur yang menerangi orang-orang yang berada dalam kegelapan dan dalam bahaya kematian. Dengan membuat tanda salib pada kata-kata awal: Benedictus Dominus, Deus Israel (Terpujilah Tuhan, Allah Israel), kita mengenangkan Kristus, Sang Terang, yang menang atas kuasa maut (bdk. Patrologia Greca 12, 513-515). Magnificat secara khusus merupakan kidung Maria yang dalam arti tertentu menghadirkan semua orang yang diselamatkan dan diberkati oleh Allah. St. Beda berkata bahwa sangat baik menyanyikan kidung Maria setiap hari pada ibadat sore dalam Gereja secara teratur. Karena dengan demikian, kita diingatkan akan misteri inkarnasi sebagai bentuk cinta kasih Allah pada manusia (bdk. Corpus Christianorum, series Latina 122, 30). Dengan membuat tanda salib pada kata-kata awal: Magnificat anima mea Dominum (sejak lama diterjemahkan dengan Aku mengangungkan Tuhan), kita mengenangkan penderitaan Kristus sekaligus tanda penerimaan akan Yesus yang menjadi manusia dan berkurban untuk kita. Dengan membuat tanda salib, kita sebagai manusia ikut berpartisipasi atas penderitaan-Nya, siap merangkul sengsara-Nya dan berbagi penderitaan dalam dan dengan Kristus. Dengan demikian, pada akhirnya kita juga siap untuk ikut bangkit bersama Kristus.

Dasar Universalitas dan Unitas Liturgi

Dasar yang ketiga adalah universalitas dan unitas Liturgi. Ibadat harian atau doa brevir atau doa offisi baik pagi maupun sore merupakan bagian dari Liturgi. Oleh karena itu, dasar atau prinsip liturgis yang berlaku secara universal juga berlaku pada saat mendoakan ibadat harian. Prinsip universalitas berarti Liturgi yang dirayakan di suatu tempat berlaku sama dengan perayaan di tempat lain meskipun berbeda negara, keuskupan, paroki, stasi, atau lingkungan. Praktik berliturgi termasuk ritus-ritus di dalamnya secara universal berlaku sama dan dilakukan oleh siapapun di seluruh penjuru dunia. 

Selain itu, dasar atau prinsip Liturgi yang unitas juga berlaku dalam ibadat harian yang kita rayakan. Prinsip unitas berarti Liturgi dirayakan dalam kesatuan dengan sumber-sumber teks resmi Vatican tetapi juga memiliki kesatuan tata cara yang erat di antara kelompok-kelompok lokal yang ada. Prinsip ini membutuhkan sacramentum unitatis yaitu sesuatu yang menunjukkan kesatuan dengan syarat seragam dan sama. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin seluruh jemaat yang sama pula untuk merayakan Liturgi kudus (bdk. PUMR 42). Dengan dasar atau prinsip universalitas dan unitas Liturgi, maka praktik membuat tanda salib di awal kidung Zakharia dalam Ibadat pagi dan di awal kidung Maria dalam Ibadat sore perlu ditetapkan dan dilakukan termasuk di Indonesia. Dengan demikian, tidak ada perbedaan praktik ini lagi pada saat kita pergi dan tinggal di mana saja.

Demikian penjelasan singkat tentang perubahan ritus pada saat awal menyanyikan kidung Zakharia dan kidung Maria. Semoga kita yang merayakannya baik klerus maupun awam semakin tercerahi oleh tradisi Gereja yang sarat makna. Dengan membuat tanda salib kita telah mencerminkan dan membangun sikap batin akan iman yang sama pula.

RP. Riston Situmorang OSC

Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR