Tiga Poin Penting  Munculnya tata Perayaan Ekaristi 2020

Buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) 2020 untuk imam sebagai Buku Misa pengganti TPE 2025 dalam bahasa Indonesia telah terbit dan resmi boleh dipakai sejak di-launching dan diperkenalkan pada 7 Mei 2021 yang lalu, meskipun batas akhir dari pemakaian TPE 2005 di seluruh di Indonesia adalah sebelum tanggal 1 November yakni pada Misa Hari Raya Semua Orang Kudus. Buku TPE 2020 untuk umat diperkirakan akan terbit pada bulan Juli sehingga dapat disosialisasikan kepada semua umat.

Ada beberapa perubahan yang terjadi jika kita membandingkan TPE 2020 dengan TPE 2005. Alasan mendasar perubahan di antara kedua TPE tersebut adalah karena pendasaran terjemahan yang berbeda pula: TPE 2020 berdasarkan terjemahan dari Missale Romanum (MR) tahun 2008 versi bahasa Latin sedangkan TPE 2005 berdasarkan terjemahan dari MR tahun 2002. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, kita akan menggali tiga poin penting munculnya TPE 2020 yakni sacramentum unitatis, processus translationis,  dan per liturgiam ad Christum. 


Sacramentum Unitatis 

Poin penting yang pertama adalah sacramentum unitatis atau sakramen kesatuan. Kehadiran TPE 2020 pada akhirnya dapat menyatukan kita semua dari berbagai keuskupan, paroki, stasi, tempat kategorial tertentu di manapun kita berada dalam liturgi yang satu. Terlepas dari semua keterbatasan yang ada dalam TPE 2020, kita patut bersyukur karena melalui proses yang panjang: diskusi, perdebatan, perbedaan pendapat dari beberapa ahli, dan berbagai kekurangan lainnya, kita merayakan sakramen Ekaristi dari sumber yang sama. Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) no 91 menegaskan bahwa Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus dan Gereja sebagai “sakramen kesatuan,” yakni umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para uskup. Oleh karena itu, perayaan Ekaristi berkaitan dengan seluruh Tubuh Gereja, mengungkapkan dan mempengaruhinya. Setiap orang yang turut merayakan Ekaristi mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi secara aktif, masing-masing menurut cara yang sesuai dengan kedudukan dan tugasnya”.

TPE 2020 dapat dijadikan sebagai sarana kesatuan liturgis yang mempersatukan kita satu sama lain untuk mengungkapkan penghormatan yang tulus dan khidmat dalam Gereja. Melalui TPE 2020, kesatuan umat beriman dapat dilakukan khususnya pada saat memanjatkan doa yang sama kepada Bapa surgawi, dengan pengantaraan Yesus Kristus, Imam Agung kita, dan dalam Roh Kudus: doa yang melebihi harumnya dupa mana pun (bdk. Pengantar PUMR). Selain itu, PUMR juga menegaskan bahwa hendaknya asas kesatuan Gereja partikular dipertahankan dengan Gereja universal, bukan hanya dalam ajaran iman dan tanda-tanda sakramental, tetapi juga dalam kebiasaan yang diikuti seluruh Gereja sebagai bagian dari tradisi rasuli yang tak terputuskan. Ini semua harus dipertahankan bukan hanya untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan, tetapi juga supaya khazanah iman dapat diwariskan secara utuh sehingga lex orandi atau tata doa Gereja tetap selaras dengan lex credendi atau tata iman (bdk. PUMR 397).

 

Processus Translationis

Poin penting yang kedua adalah processus translationis atau proses terjemahan. Pada dasarnya tim penerjemah menggunakan prinsip ad litteram (secara harfiah) untuk menerjemahkan Missale Romanum (MR) 2008 versi bahasa Latin ke dalam bahasa Indonesia. Prinsip ad litteram adalah prinsip penerjemahan secara harfiah, kata per kata, kalimat per kalimat sesuai dengan teks asli. Prinsip ad litteram yang digunakan ini berdasarkan dokumen Liturgiam Authenticam (2021) terutama no 20-21 yang menuntut agar terjemahan lebih bersifat harfiah dan sedapat mungkin mempertahankan struktur dan tanda baca teks Latin, gaya dengan ungkapan simbolis asli teks Latin, istilah Latin, Yunani, atau Ibrani yang dipakai dalam Misa. 

Apabila terjemahan ad litteram dirasa terlalu kaku, tidak lancar dan bahkan tidak dapat dimengerti, maka dipakai prinsip ad sensum (berdasarkan makna) yakni prinsip penerjemahan berdasarkan maksud dan makna teks asli sehingga kata-kata dalam teks asli diubah menjadi beberapa kata agar mudah dipahami dan dicerna sesuai dengan bahasa yang dipakai. Prinsip ad sensum, meskipun bukan dalam arti sepenuhnya, dapat digunakan berdasarkan dokumen Comme le prévoit (1969) yang menuntut terjemahan idiomatis dengan padanan dinamis atau terjemahan tidak harafiah dari naskah asli agar lebih mudah dipahami isi dan maknanya.

Ada istilah Italia yang mengatakan tradurre è tradire atau “menerjemahkan itu mengkhianati”, artinya dalam proses menerjemahkan teks, kita sering mengalami keterbatasan pada bahasa kita karena tidak menemukan kata yang sepadan dengan teks asli. Keterbatasan kosa kata, konteks, kultur, sejarah bahasa, makna kata, pemakaian kata dan lain-lain mau tidak mau menghasilkan terjemahan yang tidak sempurna. Oleh karena itu, prinsip ad appropinquantem (untuk mendekati) dapat digunakan yakni menerjemahkan teks Misa ke dalam bahasa yang dipakai dengan berusaha sedapat mungkin mendekati teks asli. Terjemahan Misa dari beberapa bahasa seperti Inggris, Italia, Prancis, dan lain-lain dijadikan pertimbangan dalam proses penerjemahan versi bahasa Indonesia.


Per Liturgiam ad Christum

Poin penting yang ketiga adalah per liturgiam ad Christum atau melalui liturgi menuju Kristus. Dengan munculnya TPE 2020 maka para imam diminta untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Mudah-mudahan di setiap keuskupan ada sosialisasi yang digerakkan oleh Komisi Liturgi masing-masing keuskupan untuk mengingatkan kita semua akan makna dan nilai dari setiap ritus yang kita rayakan. Tentu saja rubrik bukanlah hal yang paling utama tapi dengan mengikuti rubrik yang disediakan dalam TPE 2020, kita justru sangat terbantu untuk menghayati perayaan yang kita pimpin. Kesadaran untuk mendalami kembali makna ritus per ritus dalam TPE 2020 memungkinkan kita untuk membiasakan yang benar dan bukan membenarkan yang biasa.

Komisi Liturgi Keuskupan Bandung telah mengadakaan sosialisasi baik kepada para imam maupun kepada umat. Ada beberapa rubrik yang dengan sengaja dihapus pada TPE 2020 karena memang di teks asli bahasa Latin tidak ada, tetapi bukan berarti lantas tata gerak tersebut dihilangkan. Salah satu contoh adalah tata gerak umat membuat tanda salib kecil sebelum pembacaan Injil. Dalam rubrik TPE 2020 untuk imam, tata gerak tersebut dihapus, akan tetapi dalam PUMR 134, dikatakan dengan jelas bahwa dengan ibu jari imam membuat tanda salib pada Injil yang akan diwartakan, lalu pada dahi, mulut, dan dadanya. Hal yang sama juga dilakukan oleh umat. Jadi umat tetap melakukan tata gerak ini meskipun dalam TPE 2020 untuk Imam sudah dihapus. Harapan dari semua perubahan ini tentu saja harus dihubungkan dengan tujuan liturgi itu sendiri yakni membantu kita semua untuk sampai pada Kristus. Hal teknis dalam liturgi sedapat mungkin tidak mengganggu umat beriman tetapi justru sebaliknya membantu kita untuk menemukan Kristus dalam liturgi yang dirayakan.


Demikianlah ketiga poin penting yang dapat digali dengan munculnya TPE 2020. Semoga melalui TPE yang baru ini, kehidupan berliturgi kita semakin baik sehingga Allah semakin dimuliakan dan kita semua semakin dikuduskan.



RP. Riston Situmorang OSC

Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR