TIGA RITUS KHAS RABU ABU

Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen mengeluarkan dokumen tentang Rabu Abu untuk mengatur ritus penerimaan abu di masa pandemi yang dirayakan pada tanggal 17 Februari 2021. Perubahan dilakukan untuk mematuhi protokol kesehatan yang berlaku dan ada jaminan untuk menjaga jarak selama ritus berlangsung. Dari sisi historis, para Bapa Gereja seperti St. Tertulianus dan St. Ciprianus sejak abad III seringkali menghubungkan pertobatan dengan praktek mengenakan kain kabung dan menerima abu sama seperti yang dilakukan oleh Yudit sebelum memulai tugas berat untuk membebaskan Betulia. “Yudit menaburi kepalanya dengan abu dan mengenakan kain kabung, bersujud di hadapan Tuhan dan berdoa” (Yudit 9: 1). Pada abad IV dan V, Gereja menerapkan penerimaan abu dan pemakaian kain kabung sebagai tanda pertobatan yang dilakukan dalam tobat publik artinya bukan dalam bentuk pengakuan pribadi yang sakramental termasuk untuk dosa-dosa berat.

Di Roma sekitar abad VII, umat beriman yang mengaku dosa kepada para imam, menerima kain kabung yang ditaburi abu. Banyak umat mengaku dosa di awal masa Prapaskah tidak hanya untuk memurnikan jiwa mereka tetapi juga agar pantas menerima Komuni dan mereka memohon ditandai abu sebagai tanda kerendahan hati untuk menerima absolusi. Pada tahun 1091, Paus Urbanus II memberlakukan praktek tersebut baik untuk klerus maupun untuk awam. Akibatnya, ritus pemberkatan dan penerimaan abu menjadi hal yang sangat penting. Sampai abad IX, ritus ini masih terpisah dari Misa, lantas kemudian masuk dalam Misa pada abad XII. Pada awalnya, laki-laki menerima abu di atas kepala sedangkan untuk para wanita menerima abu di dahi dalam bentuk salib. Perbedaan ini muncul karena pada masa itu, para wanita yang datang ke gereja menutup kepala mereka dengan kain mantilla. Akan tetapi, kedua praktek ini masih berlaku hingga sekarang tanpa membedakan antara laki-laki dan wanita (bdk M. Righetti, L’anno liturgico, 153-155). Dengan mendalami sejarah liturgi Rabu Abu sebagai hari pertama masa Prapaskah, kita dapat melihat bahwa ada tiga ritus khas yang masih berlaku menurut Missale Romanum 2008. Ketiga ritus tersebut adalah processio paenitentiae atau prosesi tobat, benedictio et impositio cinerum atau pemberkatan dan penerimaan abu, dan oratio super populum atau doa atas umat.

Processio paenitentiae

Ritus khas yang pertama adalah processio paenitentiae atau prosesi tobat. Ritus ini bersifat fakultatif sehingga tidak wajib untuk dilakukan apalagi pada masa pandemi sekarang ini. Ritus ini diawali dengan kebiasaan menghimpun umat setempat seturut pola “stasi-stasi” di Roma yang dilestarikan terutama pada masa Prapaskah. Praktek yang masih berlangsung sampai tahun lalu adalah perarakan yang dipimpin oleh Paus sebagai selebran utama mulai dari Gereja Sant’Anselmo menuju Basilika Santa Sabina. Selama prosesi tobat dinyanyikan litani Orang Kudus. Dalam litani tersebut, dapat pula disisipkan seruan-seruan kepada santo pelindung atau pendiri gereja dan Orang-orang Kudus dari keuskupan yang bersangkutan.

Periode 40 hari adalah simbol peziarahan bangsa Israel yang bebas dari perbudakan Mesir dan melewati padang gurun; simbol perjalanan nabi Elia menuju gunung Tuhan yakni Sinai; dan terutama simbol 40 hari Yesus berdoa, berpantang dan berpuasa, serta bermatiraga. Dan untuk melewati semua peristiwa dalam periode tersebut, peranan orang Kudus ikut serta membantu kita melalui doa dan permohonan mereka agar kita sungguh-sungguh pantas merayakan misteri Paskah. Orang Kudus Allah menyertai kita selama masih berziarah menuju Yerusalem surgawi.

Benedictio et impositio cinerum 

Ritus khas yang kedua adalah benedictio et impositio cinerum atau pemberkatan dan penerimaan abu. Rumusan pemberkatan abu pertama kali dipakai dalam liturgi pada pertengahan abad IX dalam buku Pontificale Romanum-Germanicum. Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, dikatakan bahwa sesudah homili, imam berdiri, dan dengan tangan terkatup berkata: “Saudara-saudari terkasih, dengan rendah hati marilah kita mohon kepada Allah Bapa supaya Ia berkenan memberkati abu ini, yang dengan kelimpahan rahmat-Nya, akan diterimakan pada kepala kita sebagai tanda pertobatan”. Lalu, imam mengucapkan doa untuk memberkati abu dan ia mereciki abu dengan air suci tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian Imam hanya mengucapkan satu kali formula untuk semua yang hadir sebagaimana menurut Misale Romawi: “Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil” atau “Ingatlah, manusia, sebab engkau adalah abu, dan engkau akan kembali menjadi abu”. Kemudian, imam membersihkan tangannya, mengenakan masker wajah dan membagikan abu kepada umat yang datang kepadanya atau, jika memungkinkan, imam mendatangi umat yang berdiri di tempat masing-masing. Imam mengambil abu dan menaburkannya di kepala masing-masing umat tanpa mengatakan apa-apa.

Biasanya pemberkatan dan penerimaan abu dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi, tetapi bisa juga dilakukan dalam ibadat Sabda persisnya setelah homili dan sebelum doa umat. Ritus Tobat dihilangkan karena diganti dengan pemberkatan dan penerimaan abu. Abu yang diberkati berasal dari daun-daun palma atau daun zaitun yang diberkati dan digunakan dalam perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Penerimaan abu bagi umat beriman merupakan simbol kerapuhan dan kefanaan serta menandakan perlunya manusia ditebus oleh belas kasih Allah sebagai seorang pendosa. Gereja mempertahankan penggunaan abu untuk melambangkan sikap tobat batin danmenyiapkan diri untuk membarui komitmen Paskah bahwa Allah mengampuni kita dengan kebangkitan Putra-Nya (bdk. Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi, Asas-asas dan Pedoman no. 125).

Oratio super populum

Ritus khas yang ketiga adalah oratio super populum. Ritus ini juga menjadi unsur khas untuk seluruh hari selama Prapaskah (40 hari). Istilah oratio super populum (doa atas umat) atau disebut juga oratio ad populum (doa untuk umat) adalah doa yang sangat kuno dalam Ritus Romawi yang ditempatkan pada bagian akhir Ritus Penutup yakni setelah “doa sesudah komuni”. Tradisi oratio super populum sudah mulai digunakan sejak abad ketiga yang dijadikan sebagai doa untuk menguatkan banyak umat agar mampu melewati masa-masa pertobatan selama masa Prapaskah. Doa ini diperlukan sebagai persiapan “perang” dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita mampu mempertahankan tujuan pertobatan dan kita mampu “menang” mengatasi perangkap musuh dan segala pencobaan.

Pada bagian pengutusan, sambil berdiri menghadap umat, dan merentangkan tangan ke atas mereka, imam mengucapkan doa ini: Super inclinántes se tuæ maiestáti, Deus, spíritum compunctiónis propítius effúnde, et præmia pæniténtibus repromíssa misericórditer cónsequi mereántur. Per Christum. Doa ini dapat diterjemahkan dengan “Ya Allah, curahkanlah semangat penyesalan ke atas umat yang tunduk menghormati keagungan-Mu, semoga karena belaskasih-Mu, mereka pantas memperoleh anugerah yang dijanjikan bagi orang-orang yang bertobat. Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami”.

Demikianlah ketiga ritus khas Rabu Abu dijelaskan secara ringkas. Semoga pembaruan tata cara penerimaan abu yang dianjurkan pada masa pandemi ini, dapat kita lakukan dan kita rayakan tanpa mengurangi penghayatan kita selama masa tobat ini.


RP. Riston Situmorang OSC

Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR