Tiga Tradisi Liturgi dalam Hidup Komunitas awal Kekristenan 

Perayaan Liturgi termasuk perayaan Ekaristi yang kita rayakan tentu saja berasal dari tradisi dan kekayaan Gereja yang luar biasa pada masa lampau. Gereja merayakan karya penebusan Yesus Kristus dan setia mengenangkannya sehingga peristiwa keselamatan tersebut dapat dirasakan terus menerus di setiap zaman. Gereja berupaya untuk menyempurnakan pembinaan umat beriman akan misteri Kristus dalam berbagai masa yang diwariskan sejak dalam komunitas awal kekristenan. Sekurang-kurangnya ada tiga tradisi Liturgi dalam hidup komunitas awal kekristenan yang menjadi pilar dan fundasi kita untuk berliturgi hingga sekarang ini. Ketiga tradisi tersebut adalah tradisi Liturgi komunitas para rasul, tradisi Liturgi katedral, dan tradisi Liturgi monastik.

 

Tradisi Liturgi Dalam Komunitas Para Rasul

Tradisi Liturgi yang pertama adalah tradisi Liturgi dalam komunitas para rasul. Liturgi dan hidup komunitas awal kekristenan dimulai dari komunitas para rasul sebab tindakan Yesus diwariskan pertama-tama kepada para Rasul, Gereja perdana dan selanjutnya sampai pada kita melalui Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Maka patut dimengerti bahwa praktek Yesus dalam Liturgi tidak bisa dilepaskan dari latar belakang sosio-religio-kultural Yahudi pada saat Yesus hidup. Sekurang-kurangnya ada empat elemen yang esensial dalam Liturgi pada masa itu: doa, waktu, ritus dan tempat (spasi). Jadi, Liturgi adalah doa yang dirayakan dengan ritus di dalam waktu dan tempat. Beberapa contoh bentuk Liturgi yang berasal dari dan sudah ada sejak Gereja para rasul adalah pembaptisan, perjamuan malam terakhir, dan berbagai jenis doa.

Ritus baptis yang dilakukan tentu saja adalah ritus yang digunakan oleh para rasul dalam konteks kultur Yahudi (bdk. Kis 10:48; 19:5). Pembaptisan ini selalu memiliki dimensi trinitarian yakni pembaptisan dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Kesaksian Didaché (Ajaran dua belas Rasul) bab 7 menjelaskan tradisi baptis para Rasul. “Berkaitan dengan pembaptisan, baptislah dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus, dalam air yang hidup/mengalir; Tapi apabila kamu tidak memiliki air yang mengalir, baptislah dengan air yang lain, dan apabila kamu tidak dapat membaptis dalam air yang dingin, baptislah dalam air yang hangat.Tapi apabila kamu tidak memiliki kedua-duanya, tuangkanlah air tiga kali di kepala, dengan mengucapkan dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” (Didaché 7: 1-3).

Dalam Perjamuan malam terakhir, Yesus mengumpulkan para Rasul untuk makan bersama menurut ritus Yahudi dan meminta mereka untuk melakukannya sebagai kenangan akan sengsara dan kebangkitan-Nya. Maka para Rasul serta umat Kristiani berkumpul secara periodik untuk merayakan Ekaristi “dalam pemecahan roti dan doa-doa” (Kis 2:42; 20:7.11; 1 Kor 10:16; 11-26; Didaché 14). Memang ada anggapan bahwa pada masa para rasul ini hanya ada ritus roti yang dinamai fractio panis atau “pemecahan roti”, namun ada bukti lain yakni teks-teks yang menyatakan bahwa pada saat itu pun dirayakan ritus anggur (Kis 2:46, 27:35-36, Lk 20:30,35, 1 Kor 10:16, Didaché 9:3-10). Jadi perayaan fractio panis itu mencakup ritus konsekrasi atas roti dan ritus konsekrasi atas anggur untuk menjadikannya tubuh dan darah Tuhan dalam komuni (1 Kor 10:16). Perayaan fractio panis  adalah kenangan akan Kristus dan akan misteri Paskah-Nya (1 Kor 11:26).

Doa ritual Yahudi pada masa Yesus bersumber dari Kitab Suci dan Mishna (komposisi rabbinik yang mengumpulkan tradisi lisan dari para rabi). Menurut para rabi, doa liturgis berakar pada abad sebelum penghancuran bait Allah yang kedua (sekitar tahun 70). Doa Yahudi biasanya berdasarkan pengaturan jam dan diatur dengan stabil. Doa Kristiani melanjutkan karakter doa seperti ini. Doa liturgi untuk orang Yahudi memiliki dasar dan tujuan pedagogis yakni mengarahkan hidup doa mereka menuju hal yang transendental. Pada masa Yesus ada lima jenis doa yakni doa harian; doa ma’amad, doa meriah atau tambahan; doa perjamuan; dan doa kelompok religius.

Pada awalnya, komunitas Kristiani tidak mempunyai satu struktur doa yang khusus. Kisah para Rasul bersaksi bahwa orang Kristiani hadir dan berdoa di Bait Suci. Dalam Kis 3:11 dikatakan bahwa orang Kristiani berkumpul di Bait Suci tetapi di serambi Salomo. Hal ini mengungkapkan adanya satu kelompok yang mulai menunjukkan identitasnya. Orang-orang Kristiani menghidupkan struktur doa yang sudah teratur. Mereka berdoa setiap hari (Kis 2:46), terus menerus (1 Tes 1:2), baik didoakan sendiri maupun dalam kelompok, di dalam Bait Suci maupun di sinagoga, mereka menyanyikan mazmur dan kidung. Dalam Kis 3:1 dikatakan bahwa Petrus dan Yohanes naik ke Bait Allah kira-kira pukul 3 petang sedangkan dalam Kis 10:9, Petrus naik ke atas rumah sekitar siang hari untuk berdoa.


Tradisi Liturgi Katedral

Tradisi Liturgi yang kedua adalah tradisi Liturgi Katedral. Sekitar abad ke-4, Anton Baumstarck membedakan dua jenis Liturgi yakni Katedral yakni mengumpulkan komunitas parokial yang berdoa bersama uskup dan Monastik yang terdiri dari beberapa biara. Meskipun ada perbedaan struktur dalam doa-doa tetapi secara umum ide dasarnya sama yakni berdoa terus menerus dan mengekspresikan doa bersama dalam komunitas Kristiani. Dalam tradisi Katedral, mazmur dalam ibadat harian adalah doa pujian dan syukur yang dipanjatkan kepada Kristus melalui diri-Nya kepada Allah sendiri.

Kedua bentuk tradisi yang berbeda ini adalah tanda dialog yang lancar antara Allah dan manusia: oleh Allah yang menawarkan pertama-tama sabda-Nya (tradisi Monastik), dan manusia menanggapinya dengan mazmur-mazmur, madah dan kidung (tradisi Katedral). Semua umat Allah merasakan sebagai sebuah kewajiban untuk mengambil bagian dari doa Kristiani ini sekurang-kurangnya pada pagi dan sore hari. Kesaksian pertama datang dari Eusebius dari Caesarea yang menyatakan bahwa dalam Gereja Allah, Liturgi itu didoakan baik pagi maupun sore hari. Umat beriman pada masa itu berkumpul dan berdoa pada pagi dan sore sore hari dan bahkan vigili pada hari minggu dan pesta. Yang penting dari tradisi ini adalah peran dari umat yang ikut berpartisipasi dalam doa bersama. Kekhasan yang lain adalah pada saat vigili pada hari Minggu pertama untuk merayakan kebangkitan Tuhan.


Tradisi Liturgi Monastik

Tradisi Liturgi yang ketiga adalah tradisi Liturgi Monastik. Tradisi ini lahir dan berkembang dalam komunitas monastik, yang mengutamakan hidup untuk berdoa. Didoakan secara lancar dan mazmur yang didoakan pun lebih panjang. Yang kurang dari tradisi ini adalah elemen ritual-seremonial sebab semuanya didasarkan pada ketenangan asketis layaknya hidup membiara pada saat itu. Tidak ada umat yang hadir karena semua petugas liturgi dibawakan oleh para biarawan dan didasarkan pada kebutuhan para biarawan juga. Mazmur-mazmur yang yang dinyanyikan pada malam hari adalah mazmur-mazmur dengan unsur alleluia sebagai vigili untuk menantikan dan merayakan cahaya Kristus yang bangkit.


Demikianlah tiga tradisi Liturgi yang memperkaya perayaan kita hingga sekarang dijelaskan secara singkat. Semoga tradisi liturgi yang kita peroleh dapat kita pertahankan dan disesuaikan dengan zaman dan tempat kita masing-masing sesuai dengan aturan yang berlaku.




RP. Riston Situmorang OSC

Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR