Ketahanan Pangan

Mewujudkan Ketahanan Pangan

di Masa Pandemi

RD. Agustinus Darwanto*

Solidaritas Gereja pada Persoalan Pangan Pandemi Covid-19 masih belum teratasi. Pandemi ini memunculkan kekhawatiran di dalam masyarakat terkait dengan ketersediaan pangan. Kekhawatiran itu didasari dari beberapa kenyataan seperti: merosotnya ekonomi, terganggunya penghasilan, terganggunya pasar oleh karena merosotnya daya beli dan ketersediaan barang. Kekhawatiran akan ketersediaan pangan ini menjadi perhatian banyak pihak. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, FAO (Food and Agriculture Organization)  memberikan pernyataan bahwa pandemi covid-19 akan dapat menimbulkan krisis pangan baru yang akan mempengaruhi ketahanan pangan suatu negara, terutama negara miskin dan negara berkembang.

Bagaimana sikap Gereja Katolik terhadap issue ketahanan pangan? Gereja Katolik memiliki perhatian yang serius akan persoalan ketersediaan pangan sebagai hak setiap orang bukan baru muncul pada saat pandemi ini. Gereja Katolik sudah sejak lama memberikan perhatian pada isu pangan sebagai hak setiap orang.

Perhatian Gereja Katolik pada persoalan pangan diawali dengan gerakan Hari Pangan Sedunia (HPS). Munculnya gerakan HPS berawal dari konferensi FAO ke-20, pada bulan November 1976 di Roma. Salah satu hasil konferensi itu adalah ditetapkannya Hari Pangan Sedunia (resolusi no. 179). Hari Pangan Sedunia diirayakan setiap tanggal 16 Oktober. Dari gerkan HPS ini, Gereja Katolik Indonesia dari tahun 1982 berperan aktif peringatan HPS. HPS merupakan gerakan kemanusiaan, kesejahteraan, dan solidaritas pangan. Gereja Katolik Indonesia diutus membangun gerakan iman untuk membangun perilaku manusia untuk bertanggung jawab dan menghargai pangan dan kehidupan.

Perhatian dan solidaritas Gereja Katolik tentu tidak sekedar dipicu oleh gerakan bersama berkaitan dengan solidaritas pangan. Gerakan Gereja digerakkan oleh kesadaran dan tanggung jawab sebagai orang beriman. Gereja mengimani bahwa sejak awal, makanan untuk kehidupan sudah direncanakan oleh Allah. Dalam Kitab Kejadian, Allah menciptakan sumber-sumber makanan sebelum menciptakan manusia ( Kej 1:29, 30; 2: 16). Kitab Suci juga mencatat sikap yang bijaksana dalam mengelola pangan. Dalam peristiwa paceklik dan kelaparan yang terjadi di Mesir, Yusuf menggunakan lumbung-lumbung gandum untuk memenuhi kebutuhan mereka yang memerlukan (Kej 41: 37-57). Pengelolaan dan ketersediaan pangan yang cukup menjadi langkah untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi pada masa itu. 

Kesadaran bahwa pangan menjadi hak setiap orang juga menjadi semangat dalam kehidupan Gereja. Paus Fransiskus melalui Laudato Si menegaskan kembali Centisimus Annus “ Allah menganugerahkan bumi kepada manusia, agar menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga.” (LS 93). Kitab Suci dan magisterium yangmenjadi semangat dasar Gereja Katolik dalam membangun sikap pada ketersediaan pangan yang menjadi hak setiap manusia.

KETAHANAN PANGAN

Apa itu ketahanan pangan? Berdasarkan UU No. 18/2012 tentang Pangan disebutkan bahwa Ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan". Dengan kata lain, ketahanan pangan terjadi saat semua orang, kapan saja, memiliki akses fisik dan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi makanan yang aman dan bergizi dengan cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.

Untuk mengukur ketahanan pangan, ada empat indikator yang bisa digunakan. Pertama, adanya ketersediaan pangan secara fisik. Kedua, akses secara ekonomi  dan fisik untuk mendapatkan bahan pangan. Ketiga, kemampuan pemanfaatan bahan pangan. Dan keempat, adanya stabilitas tiga indikator sebelumnya.

Apabila dicermati dari empat indikator tersebut, untuk menjaga ketahanan pangan, tidak cukup jika hanya menitikberatkan pada masyarakat atau pemerintah. Perlu ada sinergi dan usaha mulai dari tingkat individu, rumah tangga, masyarakat, sektor privat (perusahaan), dan pemerintahan sebagai pemangku kebijakan.

Fakta yang ada di dalam situasi pandemi, ketahanan pangan ini menjadi persoalan bagi sebagian besar masyarakat. Berkurangnya penghasilan akibat pemotongan gaji, kebijakan tempat kerja yang merumahkan para karyawan, berhentinya usaha, matinya konsumen di bidang jasa,  melemahnya daya beli, dan lainnya, menjadi persoalan yang nyata di tengah masyarakat kita.

AKSI YANG BISA DILAKUKAN

Gereja sebagai bagian dari masyarakat tentu ada dalam keprihatinan yang sama. Dalam situasi yang sulit ini, Gereja Keuskupan Bandung ikut ambil bagian dalam aksi menjaga ketahanan pangan. Selama masa pandemi, gerakan sosial dengan memberikan bantuan pangan kepada yang membutuhkan terjadi diparoki-paroki. Bantuan pangan yang diberikan oleh Gereja tentu akan berdampak langsung pada pemenuhan kebutuhan dasar bagi mereka yang kesulitan untuk memenuhinya oleh karena faktor ekonomi. 

Di dalam aksi sosial memberikan bantuan pangan, khususnya bantuan beras, Gereja mengambil langkah dengan membeli beras langsung dari petani. Langkah ini dipilih karena akan memiliki dampak baik bagi lebih banyak penerima manfaat. Pertama, dampak langsung bagi penerima bantuan pangan (beras). Mereka mendapatkan beras untuk memenuhi kebutuhan. Kedua, dampak bagi petani yang terbantu dalam pemasaran hasil produksi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa pada bulan Mei 2020 terjadi penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) sebesar 0.85% . NTP merupakan indikator untuk mengukur tingkat daya beli petani di perdesaan, juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Dampak dari pandemi, petani kesulitan untuk memasarkan hasil produksinya sehingga mereka juga akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya dan melanjutkan keberlanjutan produksi usaha tani mereka. Pilihan langkah ini sebenarnya mengarah pada usaha untuk membangun sinergitas dalam masyarakat. Kegiatan-kegiatan sosial yang  iinisiasi oleh masyarakat maupun Gereja dengan bantuan pangan untuk yang membutuhkan membantu terjaganya sistem permintaan dan ketersediaan (suplai).

Pada awal pandemi, terjadi kelangkaan beberapa bahan kebutuhan pokok di pasar. Kelangkaan barang tersebut terjadi sebagai akibat adanya panic buying. Panic buying membawa dampak pada terjadinya ketidakseimbangan permintaan dan suplai. Dampak lain yang muncul dari panic buying khususnya untuk makan yang berumur simpan pendek akan berdampak pada lingkungan, yaitu meningkatnya limbah dari makanan yang tidak dapat dikonsumsi lagi karena sudah kadaluarsa.

Usaha untuk menjaga ketahanan pangan tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah, Gereja, masyarakat, ataupun komunitas, tetapi juga dapat dilakukan oleh keluarga dan individu. Praktek baik yang banyak ditemukan diberbagai tempat adalah dengan penanaman sayur atau ternak (pada umumnya jenis ikan) dalam skala rumah tangga. Keluarga memanfaatkan lingkungan rumah untuk memproduksi pangan atau ternak untuk membantu pemenuhan pangan keluarga.

Bulan Oktober ini Gereja memperingati Hari Pangan Sedunia. Tema HPS tahun 2020 adalah “Gerakan Kemandirian Pangan (Cintailah Produk- Produk Lokal)". Gereja mengajak kita untuk melakukan aksi konkret dalam usaha membangun kemandirian pangan. Salah satu aksi konkret yang mungkin bisa kita wujudkan adalah memanfaatkan lingkungan rumah untuk tanaman produktif untuk konsumsi keluarga. Selain itu kita juga tetap membangun semangat solidaritas kepada sesama kita yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan.***

*Direktur Caritas Bandung, Koordinator Tim Pastoral Care Covid-19 Keuskupan Bandung